5 Tahun Pasca Perdamaian Aceh
17 Agustus 2010Sejak penandatanganan perjanjian damai Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka, 5 tahun lalu di Helsinki, Finlandia, kehidupan berlangsung normal di Aceh. Aktivitas warga bisa berlangsung hingga tengah malam, sesuatu yang tak bisa dinikmati pada masa konflik.
Kesepahaman tentang perdamaian di Aceh antara pemerintah Republik Indonesia dan GAM pada 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia, disaksikan mantan Presiden Finlandia yang menjadi fasilitator perundingan, Martti Ahtisaari. Peristiwa itu mendapat liputan sangat luas dari media massa. Sejumlah televisi di Indonesia bahkan menyiarkan langsung sehingga menjadi perhatian masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Agung Laksono, dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginandjar Kartasasmita, juga menyaksikan siaran langsung itu di Istana Merdeka. Penandatanganan MoU mengakhiri konflik bersenjata selama hampir 30 tahun yang telah merenggut nyawa sedikitnya 15.000 manusia Indonesia.
Saat itu, ribuan warga Aceh tumpah ruah di kompleks Masjid Raya Baiturrahman untuk mengikuti doa dan tausyiah, serta menyaksikan siaran langsung penandatanganan kesepakatan damai yang mereka tunggu-tunggu itu.
Pada 15 Agustus tahun ini genap 5 tahun perjanjian damai. Acara peringatan diadakan kembali di halaman Masjid Raya Baiturahman. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengharapkan agar masyarakat Aceh bersyukur atas perdamaian. Ia juga meminta semua pihak tidak larut dalam masa lalu dan tidak lagi ada upaya-upaya menciptakan konflik baru di Aceh.
Selain itu, menurut Irwandi Yusuf, proses perdamaian Aceh kini juga telah menjadi contoh bagi beberapa warga negara konflik di dunia.
Puncak peringatan lima tahun proses damai Aceh ini juga ditandai dengan melepaskan burung merpati, sebagai lambang perdamaian dan kegiatan buka puasa bersama.
Namun ditengah optimisme masih terdapat sejumlah ganjalan. Masih banyak butir dalam nota kesepahaman perdamaian yang belum terlaksana. Hal itu juga dipicu sikap Jakarta, yang belum menunjukkan komitmen dalam implementasi Undang-Undang no 11 tahun 2006 tentang pemerintah Aceh. Undang-undang tersebut memberikan status otonomi yang luas kepada Aceh. Menurut pakar hukum dari Universitas Syiah Kuala Dr. Mawardi Ismail belum terdapat persepsi yang sama dalam implementasi undang-undang tersebut, antara pemerintah Aceh dan pemerintah Pusat di Jakarta.
Walaupun demikian Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid berpendapat secara keseluruhan rakyat Aceh perlu bersatu untuk mengolah pekerjaan yang belum terselesaikan.
Dalam pidato di hadapan parlemen awal pekan ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menyatakan pemerintah akan mengalokasikan dana otonomi khusus lebih dari 4 trilyun untuk Aceh. Bagaimana realisasinya? Rakyat Aceh masih menunggu komitmen Jakarta.
Uzair
Editor: Pasuhuk