Presiden Baru Vietnam Bahayakan Relasi dengan Uni Eropa?
1 Agustus 2024Tidak seorangpun di pucuk pimpinan Vietnam, termasuk Presiden To Lam yang baru diangkat, ingin melanggar doktrin lama kebijakan luar negeri untuk selalu menyeimbangkan semua kekuatan di dunia, kata analis.
Namun, kurangnya pengalaman dalam diplomasi internasional, dan kemungkinan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia, dapat menghidupkan kembali perdebatan lama di Eropa tentang bagaimana memadu relasi dengan perekonomian yang berkembang pesat tetapi represif secara politik di negara satu partai Vietnam.
Suksesi di Hanoi terjadi secara mendadak setelah Sekretaris Jendral Partai Komunis Nguyen Phu Trong, yang sebelumnya 12 tahun berkuasa, meninggal dunia pada akhir Juli lalu.
Baik Brussels maupun Hanoi berupaya untuk memproyeksikan keberlanjutan. Josep Borrell, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa melakukan perjalanan ke Hanoi minggu lalu untuk menghadiri pemakaman kenegaraan Phu Trong.
Kunjungan Borrell menunjukkan "hubungan yang kuat" antara Brussels dan Vietnam, kata juru bicara Uni Eropa kepada DW.
Hubungan ini "ditopang" oleh beberapa perjanjian penting, seperti Perjanjian Kemitraan dan Kerja Sama, kesepakatan perdagangan bebas yang mulai berlaku pada tahun 2020, dan Perjanjian Kerangka Kerja Sama tentang perdamaian dan keamanan.
Komisi Eropa juga telah memperkuat hubungan melalui Kemitraan Transisi Energi yang Adil, sebuah struktur multilateral yang mendanai proyek-proyek ekologi di Vietnam.
"Uni Eropa akan berusaha untuk lebih meningkatkan" kemitraan ini, imbuh juru bicara tersebut.
Doktrin bebas merdeka
Vietnam menjadi salah satu ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di Asia. Pencapaian ini dibantu oleh banyaknya perusahaan internasional yang "mengalihdayakan" bisnisnya dari Cina. Perdagangan bilateral UE-Vietnam, misalnya, meningkat menjadi USD69,6 miliar tahun lalu, menurut data Komisi Eropa.
Strategi Hanoi berpegang pada keseimbangan hubungan internasional. Meskipun banyak berselisih dengan Beijing, kedua negara masih menjalin hubungan yang baik, tercermin dalam ragam program persahabatan antara kedua partai komunis yang berkuasa.
Pada saat yang sama, hubungan Vietnam dengan Barat kini telah membaik secara signifikan. Bulan ini, kantor berita Reuters melaporkan bahwa Washington dan Hanoi sedang menegosiasikan pembelian pesawat militer buatan AS oleh Vietnam, yang akan mengubah hubungan pertahanan Vietnam secara signifikan.
"Kebijakan luar negeri Vietnam dibuat secara kolektif oleh Politbiro. Oleh karena itu, munculnya faksi militer berjubah sipil ini tidak akan memengaruhi kebijakan luar negeri Vietnam," kata Le Hong Hiep, seorang peneliti senior di Program Studi Vietnam ISEAS – Yusof Ishak Institute di Singapura, kepada DW.
"Bahkan ketika To Lam menjadi ketua partai yang baru, prioritas kebijakan luar negerinya akan tetap menjaga keseimbangan antara kekuatan-kekuatan besar dan meningkatkan hubungan dengan para aktor global utama, termasuk Uni Eropa," tambahnya.
Kepentingan partai di atas segalanya
Nguyen Khac Giang, juga dari ISEAS – Yusof Ishak Institute, mengatakan kepada DW bahwa elit politik di Hanoi akan "berfokus" pada politik dalam negeri dalam beberapa bulan mendatang, sehingga tidak mungkin ada "implikasi jangka pendek apa pun pada kebijakan luar negeri dengan To Lam sebagai pemangku sementara jabatan sekretaris jenderal."
Jika berhasil, dia kemungkinan akan diangkat secara permanen sebagai sekjen Partai Komunis dalam Kongres Nasional berikutnya pada awal tahun 2026.
Para analis memperkirakan To Lam sebagai favorit untuk jabatan tertinggi di tubuh partai, tetapi dia menghadapi persaingan ketat dari Perdana Menteri Pham Minh Chinh, mantan kepala polisi Vietnam. Para elit komunis lainnya ingin memastikan, kekosongan pasca-Trong tidak mengarah pada perang pengaruh di dalam partai.
Penculikan di Jerman bebani To Lam
Namun, rekam jejak To Lam tidak lantas memudahkan relasi dengan Eropa, khususnya Jerman.
Pada tahun 2017, seorang mantan eksekutif perusahaan negara Vietnam, Trinh Xuan Thanh, yang dicari oleh otoritas Vietnam, diculik di jalan kota Berlin oleh dinas rahasia Vietnam.
Thanh kemudian dibawa secara paksa ke Slovakia, di mana dia diangkut kembali ke Hanoi dengan pesawat yang disediakan oleh pemerintah Slovakia untuk delegasi Vietnam pimpinan To Lam, yang saat itu menjabat sebagai menteri keamanan publik. Ada dugaan bahwa To Lam adalah dalang penculikan.
Pengadilan Jerman dan Slovakia telah memenjarakan beberapa orang atas penculikan tersebut. Insiden itu memicu ketegangan antara Berlin dan Hanoi, yang berujung pada pengusiran sejumlah pejabat di kedutaan Vietnam.
"Beberapa negara, khususnya Jerman, mungkin merasa agak tidak nyaman berurusan dengan To Lam, tetapi saya yakin ini bukan lagi masalah besar," kata Hiep kepada DW.
Pada bulan April, beberapa minggu sebelum To Lam menjadi presiden Vietnam, pemerintah Slovakia menangguhkan dakwaan terhadapnya atas perannya dalam penculikan Thanh.
"To Lam tidak secara khusus peduli tentang hak asasi manusia, lingkungan, atau hal-hal apa pun yang dianggap penting oleh politisi Eropa," kata Bill Hayton, rekan peneliti di Program Asia-Pasifik Chatham House, kepada DW.
"Yang penting bagi To Lam, dan para pendukungnya dalam lembaga keamanan Vietnam, adalah mempertahankan monopoli Partai Komunis atas kekuasaan," imbuh Hayton.
Jurang antara demokrasi dan otoritarianisme
"Kritik Eropa terhadap pelanggaran hak asasi manusia di Vietnam, kemungkinan akan meningkat jika rezim tersebut menjadi lebih otoriter, di bawah To Lam," kata Alfred Gerstl, pakar hubungan internasional Indo-Pasifik di Universitas Wina, kepada DW.
Untuk saat ini, seperti yang dikatakan Gerstl, "UE agak berhati-hati dalam mengkritik pelanggaran hak asasi manusia di Vietnam, terutama jika dibandingkan dengan Cina."
Namun, ada tekanan yang semakin besar pada UE untuk menegur para pemimpin Vietnam atas perilakunya, terutama karena pihak berwenang semakin menargetkan aktivis lingkungan yang terlibat dalam proyek-proyek yang didukung UE, seperti yang dilaporkan DW awal bulan ini.
"UE harus berhenti memberikan keleluasaan kepada Partai Komunis Vietnam atas pelanggaran hak asasi manusia," kata Claudio Francavilla dari Human Rights Watch. "Penjatuhan sanksi yang ditargetkan dan tekanan perdagangan sudah sangat lama tertunda."
rzn/as