1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
BudayaJepang

Aktivis Hak Asasi Hewan Kecam Ritual Kuno Jepang

29 Mei 2023

Sebuah kuil di Jepang bela ritual populer balap kuda yang kadang picu kecelakaan fatal. Aktivis hak asasi hewan tuding ritual hanya mementingkan uang, bukan tentang sejarah.

https://p.dw.com/p/4RvWb
Festival Ageuma di Jepang
Festival Ageuma di Jepang telah dikecam oleh para aktivis hak asasi hewanFoto: Philbert Ono

Para aktivis hak asasi hewan di Jepang mengklaim berhasil mencapai terobosan dalam kampanye yang telah berlangsung lama, untuk menghentikan festival tahunan dengan yang menyebabkan kuda peserta festival kadang terluka parah ketika hewan ini berusaha melompati halang tintang gundukan tanah yang cukup tinggi.

Tahun ini, acara itu diselenggarakan pada tanggal 4-5 Mei di kota Kuwana, Prefektur Mie, di bagian tengah Jepang. Seperti pada ritual di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini seekor kuda bernasib sial dan terluka parah.

Kuda itu terjatuh, saat penunggangnya berusaha memaksa hewan itu melaju di lintasan sepanjang 100 meter, sebelum akhirnya melompati gunungan tanah setinggi 2 meter yang mengarah ke kuil Tado Taisha Shinto. Hewan malang itu mengalami patah kaki, yang mengharuskannya disuntik mati di lokasi hewan itu terjatuh.

"Aksi itu kejam dan tidak seharusnya dilakukan, tetapi pihak kuil melindungi acara ritual itu dengan mengatakan, itu adalah sebuah tradisi," kata Yuki Arawaka, juru bicara organisasi hak asasi hewan Life Investigation Agency.

Festival Ageuma di Jepang
Aktivis hak asasi hewan mengutuk ritual keagamaan yang sudah berusia 680 tahunFoto: Philbert Ono

Festival 'Kebangkitan Kuda'

Kuil ini diyakini telah didirikan sekitar 1.200 tahun yang lalu. Dan kawasan utara perfektur Mie merupakan daerah pedesaan, kuda telah lama menjadi bagian penting dari keseharian penduduk lokal.

Di masa lalu, kuda dipercaya sebagai pembawa pesan antara penduduk lokal dan para dewa. Festival "Ageuma", yang berarti "kebangkitan kuda-kuda", diyakini sudah ada sekitar 680 tahun yang lalu.

"Pihak kuil mengatakan, ini adalah tradisi yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, tetapi ada bukti  pihak kuil telah menambahkan bagian aksi mlompati gundukan tanah itu untuk mempersulit kuda-kuda dan membuat ritual itu lebih menantang, dengan tujuan utama untuk menarik lebih banyak turis, sehingga kota mendapatkan lebih banyak uang," kata Arawaka kepada tim DW.

Keiko Yamazaki, pendiri kelompok studi hewan "Go" sekaligus anggota dewan Koalisi Jepang untuk Kesejahteraan Hewan, mengamini tudingan festival itu telah diubah untuk membuatnya menjadi sebuah "tontonan".

"Kuil ini memiliki sejarah yang panjang dan merupakan bagian penting dari budaya lokal, dan kami setuju akan hal itu," kata Yamazaki. "Kami tidak ingin mengubah warisan budaya kota, tetapi halang rintang berupa gunungan tanah ditambahkan sejak akhir perang dunia kedua, sehingga itu bukan bagian dari festival aslinya."

Memahat Patung Dewa-dewi di Pakistan

Penyiksaan hewan pada kuda-kuda festival

Banyak organisasi hak asasi hewan yang telah mengungkapkan keprihatinan mereka tentang festival ini, selama lebih dari satu dekade lalu.

"Di masa lalu, mereka akan membius kuda-kuda itu, menggosok hidung kuda dengan bahan abrasif untuk memacu adrenalin hewan tersebut dan mencambuk mereka dengan sangat keras sehingga meninggalkan bekas luka," kata Yamazaki. "Kami melakukan upaya perlawanan keras terhadap penyiksaan tersebut dan kami berhasil. Tapi sudah banyak kuda yang mati dalam beberapa dekade terakhir."

"Para pengunjuk rasa juga telah menempuh jalur hukum untuk berupaya menghentikan elemen-elemen yang paling kejam dalam festival tersebut", kata Chihiro Okada, seorang pengurus dari Pusat Hak Asasi Hewan di Jepang.

"Kami meyakini, perlakuan terhadap kuda-kuda itu bertentangan dengan aturan kesejahteraan hewan di Jepang dan dengan mengatakan bahwa itu adalah sebuah 'tradisi' bukanlah penjelasan yang cukup baik," kata Okada. Sayangnya, dua gugatan hukum telah ditolak oleh jaksa setempat.

Dalam sebuah pernyataan, pihak kuil mengkonfirmasi, mereka telah "menerima berbagai pendapat" tentang festival tersebut, namun mengklaim, kuda-kuda itu mendapat "perlakuan yang sesuai" dengan undang-undang kesejahteraan hewan di Jepang. Pihak kuil bahkan mengklaim, kuda-kuda itu telah "dirawat dengan penuh kasih sayang, siang dan malam" menjelang acara ritual.

Terjadi perubahan nyata

Terlepas dari penyangkalan dari pihak kuil tersebut, para aktivis meyakini bahwa jelas ada perubahan nyata pada perayaan tahun ini.

"Tiba-tiba, tahun ini, protes menjadi semakin keras," kata Yamazaki. "Foto-foto dari acara tersebut telah tersebar luas di situs media sosial dan merusak citra kesejahteraan hewan di Jepang,” tambahnya.

Yuki Arawaka mengamini. "Penyuntikan mati seekor kuda tahun ini telah membuat publik marah," katanya. "Foto-fotonya tersebar di media sosial, ceritanya telah diangkat oleh media arus utama di Jepang dan orang-orang sekarang tahu betapa kejamnya ritual ini."

"Belum pernah ada begitu banyak kemarahan seperti yang ditimbulkan oleh peristiwa kali ini," tambahnya. "Dan hal itu menunjukkan bahwa ini adalah awal dari akhir kejayaan festival itu." (kp/as)