Amnesty Kecam "Politik Kebencian" Ala Trump
22 Februari 2018Amnesty International yang menerbitkan laporan tahunannya Kamis (22/02) memperingatkan akan meningkatnya pelanggaran di seluruh dunia.
David Griffiths dari Amnesty International mengatakan kepada DW bahwa mereka dengan segaja merilisnya di Washington, mengingat seberapa besar efek "retorika penuh kebencian Donald Trump" dalam realita.
"Ada hubungan yang rumit antara pelanggaran hak asasi manusia dan ketidaksetaraan sosial," Griffiths menambahkan. "Tapi salah satu cara kita melihat kaitannya adalah berapa banyak pemimpin yang telah mengeksploitasi ketakutan masyarakat tentang kerapuhan ekonomi untuk mempromosikan kebencian dan ketakutan."
Namun Amerika Serikat bukanlah satu-satunya saksi dari erosi berbahaya dalam hal hak asasi manusiakarena pemimpinnya yang populis. Di seluruh dunia, Amnesty mengatakan, para pemimpin politik telah menggunakan retorika yang memecah belah untuk memperoleh dukungan,termasuk di Turki, Hungaria dan Myanmar.
Menurut Amnesty International, pembantaian Muslim Rohingya adalah konsekuensi yang muncul dari suatu masyarakat yang didorong untuk membenci, dan kurangnya kepemimpinan global dalam hal hak asasi manusia.
"Kami melihat masyarakat didorong rasa benci, mencari kambing hitam dan ketakutan minoritas adalah faktor di balik kampanye militer pembersihan etnis yang dilancarkan terhadap Rohingya di Myanmar," kata Salil Shetty, Sekjen Amnesty International.
Amnesty Indonesia sendiri menyebutkan bahwa tahun 2017 adalah tahun pecahnya politik kebencian di Indonesia. Dalam konpers di Jakarta, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, "Indonesia sendiri mengeksploitasi sentimen moralitas agama dan nasionalisme sempit oleh aktor negara dan non-negara yang mengajak pengikut mereka dan masyarakat untuk membenci mereka yang dianggap 'berbeda' seperti, kelompok atau individu yang dituduh 'anti-islam' atau 'menyimpang dari islam', juga 'anti-nasionalis' atau 'radikal islamis', 'anti NKRI dan separatis', hingga 'anti pembangunan' dan bahkan 'komunis'."
vlz/ml (Amnesty International, tribunnews, Reuters, AFP)