Makin Banyak Anak Muda di Cina Segan Menikah
5 Juli 2023Bagi Jingyi Hou, 29 tahun, seorang guru sekolah di provinsi Shanxi di utara Cina, pernikahan bukanlah prioritas. Terlepas dari kegigihan orang tuanya dalam mengatur sekitar 20 kencan untuknya selama tiga tahun terakhir, Jingyi tetap melajang dan tidak merasakan urgensi untuk menemukan pasangan hidup.
"Pernikahan adalah tentang kebebasan. Tidak semua orang perlu menikah secepat mungkin,” katanya kepada DW. Jingyi tidak sendirian. Menurut sebuah laporan yang diterbitkan oleh Kementerian Urusan Sipil Cina pada Juni lalu, jumlah pencatatan pernikahan di seluruh negeri adalah yang terendah dalam 37 tahun, setelah delapan tahun mengalami penurunan. Hanya 6,83 juta pasangan yang menikah di Cina tahun lalu.
Semakin banyak anak muda, terutama perempuan yang lahir pada tahun 1990-an dan 2000-an, menjadi acuh tak acuh terhadap pernikahan pada usia muda. Menurut buku tahunan sensus Cina terbaru, usia rata-rata pernikahan pertama di negara itu pada tahun 2020 adalah 28,6 tahun, hampir empat tahun lebih tua dibanding 10 tahun sebelumnya.
Mengapa perempuan Cina kebanyakan menolak pernikahan?
Ye Liu, dosen senior di Lau China Institute di King's College London, mengatakan kepada DW bahwa ketidaksetaraan gender masih tertanam kuat di Cina. Ini termasuk kuota gender yang diskriminatif dan penilaian bahwa calon pekerja perempuan kemungkinan hamil dan perlu cuti melahirkan.
Ini membuat banyak perempuan muda harus memilih antara karier mereka dan memulai sebuah keluarga. "Ketika perempuan menghabiskan waktu lebih lama dalam pendidikan, secara alami mereka menunda usia memasuki pernikahan dan menjadi orang tua," kata Ye Liu.
Christa, yang berbicara kepada DW dengan syarat menggunakan nama samaran, mengatakan dia "tidak perlu menikah."
"Saya percaya bahwa menikah akan mempengaruhi prestasi saya, terutama karier saya," tambah perempuan berusia 25 tahun itu, yang bekerja sebagai manajer proyek sebuah perusahaan manufaktur.
Kaum muda masih berjuang secara finansial
Krisis ekonomi Cina baru-baru ini juga berkontribusi pada kurangnya minat menikah di kalangan muda. Pada tahun 2023, pengangguran kaum muda Cina, antara 16 dan 24 tahun, mencapai rekor tertinggi 20,8%.
Shan Shan, yang lebih suka dipanggil dengan nama panggilannya, mengatakan kepada DW bahwa sulit mencari nafkah di pasar kerja saat ini. Stres mencari pekerjaan membuatnya tidak punya energi untuk memikirkan pernikahan.
Demikian pula, Xiao Gang, seorang insinyur perangkat lunak yang tidak mau dikenal dengan nama aslinya dan menggunakan nama samaran, mengatakan kepada DW bahwa ada gelombang PHK yang meluas di industri teknologi, dan itu mendorongnya bekerja lembur secara teratur karena takut dipecat. "Ketika teman-teman mengundang saya untuk jalan-jalan dengan gadis-gadis, saya tidak punya energi untuk keluar," jelasnya.
Padahal, angka kelahiran di negara itu terus menurun. Pada bulan Mei lalu, Asosiasi Keluarga Berencana Cina meluncurkan proyek percontohan di lebih dari 20 kota untuk memberikan tunjangan perumahan, pajak, dan pendidikan bagi keluarga dengan dua anak atau lebih. Namun, upaya pemerintah hanya ditanggapi dengan sinisme yang meluas di media sosial, dengan sedikit orang dewasa muda yang menganggap skema tersebut bermanfaat.
"Saya pikir itu konyol. Banyak anak muda seperti saya menghadapi kesulitan mendapatkan pekerjaan," kata Christa, menambahkan buat apa memulai sebuah keluarga, ketika mereka hampir tidak bisa mengurus diri sendiri secara finansial.
(hp/as)