1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikRusia

Mengapa Anak Muda Rusia Ada di Balik Aksi Sabotase?

Alexey Strelnikov
28 Oktober 2024

Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, aksi serangan sabotase oleh remaja terhadap infrastruktur kereta api dan militer di Rusia meningkat.

https://p.dw.com/p/4mIwM
Ilustrasi anak muda Rusia
Tak ada yang benar-benar tahu siapa yang merekrut anak-anak muda untuk melakukan aksi sabotase di RusiaFoto: dpa

Rusia tercatat mengalami peningkatan signifikan atas jumlah kasus sabotase, sebagian besar terhadap kereta api dan militer - dengan anak di bawah umur sebagai pelakunya.

Pihak berwenang menyatakan bahwa anak-anak muda ditugaskan untuk melakukan operasi semacam itu oleh "antekn pro-Ukraina” di jaringan media sosial.

Kini, pihak berwenang menggunakan video propaganda untuk mengancam para penyabotase muda. Sebuah rancangan undang-undang akan memungkinkan untuk menghukum anak-anak di bawah usia 14 tahun yang terbukti melakukan sabotase. Pada saat yang sama, para aktivis hak asasi manusia telah memperingatkan bahwa pasukan keamanan Rusia dapat bertindak sebagai provokator.

DW telah mengikuti beberapa proses hukum terhadap anak-anak muda Rusia, dan juga menghubungi sebuah saluran di aplikasi media sosial Telegram yang menawarkan uang untuk serangan pembakaran terhadap peralatan militer.

Gunakan kode QR untuk menarik perhatian kaum muda

Sebuah bus kecil berhenti di sebuah distrik perumahan di kota selatan Omsk. Enam orang bersenjata dari unit khusus melompat keluar dan berlari ke sebuah gedung, di mana mereka mendobrak pintu apartemen dan menemukan dua remaja. Mereka mendorong keduanya ke lantai dan menginterogasi mereka.

Seorang anak sekolah di Rusia
Anak sekolah di Rusia mendapat selebaran berupa QR code untuk tersambung ke saluran TelegramFoto: Robin Utrecht/picture alliance

Dalam video yang dibuat oleh pasukan keamanan dan didistribusikan di  Telegram ini, kedua remaja tersebut mengaku telah membakar sebuah helikopter militer. Mereka mengatakan bahwa mereka ditawari uang sebesar $20.000 (Rp314.500) untuk melakukan aksi tersebut oleh seseorang tak dikenal melalui Telegram, namun mereka mengaku tidak menerima uang tersebut.

Penyelidikan kriminal atas dugaan terorisme pun diluncurkan, dan kini para remaja tersebut menghadapi setidaknya dua bulan penahanan pra-persidangan.

Menurut pihak berwenang, pada 21 September, sebuah helikopter Mi-8 di pangkalan militer di Omsk dibakar dengan bom molotov. Pada bulan yang sama, sebuah helikopter sipil dengan jenis yang sama dibakar di Bandara Noyabrsk, Okrug Otonomi Yamalo-Nenets.

Dua orang pemuda ditangkap di tempat, dengan luka bakar di wajah dan tangan mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka telah menerima perintah untuk melakukan perbuatan tersebut melalui Telegram.

Para pemuda tersebut mengatakan bahwa mereka telah menemukan selebaran dengan kode QR di toilet di sekolah mereka. Dengan menggunakan kode tersebut, mereka menghubungi orang tak dikenal yang menjanjikan mereka uang untuk melakukan sabotase. Menurut laporan media, selebaran serupa juga ditemukan di beberapa wilayah Rusia, termasuk di Volgograd, Voronezh, dan Ryazan.

"Cara instan" untuk anak sekolah yang butuh uang

Dengan menyamar sebagai pelajar sekolah dari Sankt Peterburg, DW menghubungi saluran Telegram semacam ini.

Obrolan dimulai dengan sapaan otomatis "Bot untuk anak sekolah yang butuh uang.” Jumlah uang yang ditawarkan untuk serangan pembakaran adalah sebagai berikut: $5.000 untuk helikopter, $10.000 untuk pesawat, $3.000 untuk trafo, dan $4.000 untuk kabel listrik.

Sosok misterius di balik saluran bot langsung bertanya dari mana murid itu berasal dan "benda” apa yang ada di dekatnya. Untuk penghancuran peralatan militer dengan video sebagai bukti, orang tersebut bahkan menjanjikan $150.000 (Rp2,6 miliar) yang akan dibayarkan melalui rekening kripto ke rekening bank mana pun yang diinginkan.

Ilustrasi aplikasi Telegram
Telegram menjadi platform media sosial yang banyak digunakan di RusiaFoto: Kirill Kudryavtsev/AFP

Selain itu, mitra chatting tersebut memberikan instruksi yang tepat tentang bagaimana sebuah objek dapat dihancurkan menggunakan tabung gas. Dia menulis bahwa sejauh ini hanya 10% dari aksi itu yang gagal, dan menambahkan bahwa tidak akan ada "hukuman yang nyata” jika para penyabotase muda itu ditangkap polisi.

Di akhir obrolan, wartawan DW memperkenalkan diri dan meminta penjelasan. Pria tak dikenal itu hanya mengatakan bahwa dia bekerja "untuk sebuah organisasi tertentu” yang memiliki perwakilan di sejumlah negara. Ia mengatakan bahwa tujuannya adalah untuk mencoba menghancurkan sebanyak mungkin peralatan militer yang dapat digunakan untuk melawan penduduk sipil Ukraina.

"Mengapa anak muda? Karena mereka hanya bisa dimintai pertanggungjawaban sampai batas minimal,” tulis orang tak dikenal itu.

Siapa yang berada di balik saluran tersebut?

Mengidentifikasi administrator dari saluran Telegram seperti itu hampir tidak mungkin, kata Michael Klimarev, seorang ahli keamanan yang mengepalai lembaga nirlaba Internet Protection Society. Ia mengatakan bahwa mereka memanipulasi anak-anak di bawah umur, dan berbicara tentang "perlawanan terhadap penjajah Rusia.”

Ilustrasi peretas
Sulit melacak orang di balik saluran Telegram yang beredarFoto: Pond5 Images/IMAGO

Seorang ahli teknis dari inisiatif hak asasi manusia Rusia, NetFreedomsProject, yang tidak ingin disebutkan namanya karena alasan keamanan, mengatakan bahwa memang memungkinkan untuk mengidentifikasi orang dan lokasi mereka dengan bantuan manajemen Telegram.

"Itulah satu-satunya cara untuk mengetahui siapa yang berada di balik saluran Telegram itu - apakah mereka berada di luar negeri atau malah justru provokator di Rusia sendiri,” kata ahli tersebut.

Lebih dari 550 orang dituntut atas aksi sabotase dan pembakaran

Korps Sukarelawan Rusia, yang terdiri dari warga Rusia yang berpihak pada Ukraina, menampilkan beberapa video yang menunjukkan aksi sabotase terhadap sistem kereta api Rusia di kanal Telegram. DW mewawancarai seseorang yang tidak mau disebutkan namanya, yang dekat dengan kelompok tersebut.

"Seorang profesional sudah dipersiapkan dengan baik dan tahu apa yang akan dihadapinya,” katanya. Namun, katanya, orang-orang yang merekrut anak-anak muda melihatnya sebagai metode yang murah dan bijaksana untuk mencapai target dengan cepat. Dia mengatakan bahwa saluran Telegram juga dapat digunakan oleh agen-agen dinas rahasia untuk menjebak anak-anak muda.

Menurut proyek hak asasi manusia Avtozak LIVE, lebih dari 550 orang dituntut atas tindakan sabotase dan pembakaran terhadap kantor-kantor perekrutan tentara Rusia. Tidak ada angka yang secara khusus menunjukkan jumlah anak di bawah umur.

Proyek OVD-Info melaporkan bahwa setidaknya 28 orang di Rusia telah dijatuhi hukuman penjara atas tindakan sabotase sejak invasi dimulai. Di bawah hukum Rusia, kasus-kasus semacam itu bisa dikenai hukuman penjara 10 hingga 12 tahun bagi mereka yang berusia di atas 16 tahun.

Saat ini, para tersangka sabotase muda didakwa dengan pelanggaran "teroris”, kata Alexander Verkhovsky, kepala pusat penelitian SOWA. Ia mengatakan bahwa dua anak berusia 14 tahun di Sankt Peterburg dijatuhi hukuman dua dan empat tahun penjara karena membakar sebuah kotak relai. Verkhovsky mengatakan bahwa sayangnya tidak ada statistik mengenai kasus-kasus seperti itu, karena dokumen-dokumen tersebut tidak dapat diakses oleh publik. Parlemen Rusia saat ini sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang yang akan menurunkan batas usia untuk penuntutan atas tuduhan sabotase menjadi 14 tahun.

Evegeny Smirnov, seorang pengacara untuk proyek hak asasi manusia First Department (Perviy otdel), mengatakan bahwa tuduhan partisipasi dalam organisasi teror atau pengkhianatan tingkat tinggi dapat diajukan jika para penyelidik percaya bahwa tindakan sabotase telah dilakukan atas perintah Freedom of Russia Legion atau organisasi lain yang dilarang di Rusia. Hal itu berarti hukuman penjara yang lebih berat, katanya.

Meskipun pihak berwenang Rusia menjatuhkan hukuman lebih berat dan menurunkan batas usia untuk penuntutan, kata Smirnov, mereka tidak menghilangkan alasan tindakan sabotase: yaitu perang melawan Ukraina. "Saya pikir, tuntutan (atas tuduhan sabotase9 tidak akan berkurang sampai konflik berakhir," katanya.

Artikel ini ditulis dalam bahasa Rusia.