060511 Hamas Fatah Abkommen
6 Mei 2011Seberapa rentan kesepakatan baru antara kedua organisasi Palestina yang berseteru, Hamas dan Fatah, tampak jelas dalam upacara penandatanganan perjanjian rekonsiliasi. Dua jam lamanya mereka tak bisa mencapai kata sepakat tentang urutan tempat duduk. Siapa yang boleh duduk di barisan depan, siapa duduk di samping siapa, siapa yang berpidato lebih dulu, dan seterusnya.
Mesir sebagai mediator butuh waktu dua jam untuk mengakurkan kedua pihak, masing-masing dalam pembicaraan terpisah. Sementara itu di Ramallah, ratusan orang menunggu di lapangan utama Manara, menantikan kabar penandatanganan. Banyak yang akhirnya beranjak pergi, mungkin karena frustasi.
Ahmad Harb tidak heran. Pakar sastra dan profesor di Universitas Bir Zeit di Palestina itu memang tak sungguh-sungguh mempercayai berita rekonsiliasi Hamas dan Fatah. "Kebanyakan pesimis melihat perjanjian itu. Tapi jika jika Anda bertanya pada saya, dan saya bisa mewakili banyak cendekiawan di sini, saya tidak optimis tapi juga tidak pesimis. Saya lebih pada tidak percaya. Saya tidak merasakan bahwa kesepakatan ini datang dari hati. Berdasarkan pengalaman saya, mudah bagi mereka untuk menyampingkan perbedaan, duduk dan berbincang-bincang dengan secangkir kopi di tangan. Itu khas orang Arab. Nanti baru ketahuan bahwa masalah yang utama malah tidak dibicarakan."
Tidak sedikit kalangan cendekiawan Palestina yang mengorbankan hidup mereka bertahun-tahun untuk memecahkan konflik dalam negeri, dan seringkali sia-sia. Diana Buttu, penasehat hukum bagi tim juru runding dari Presiden Abbas, tidak percaya bahwa perjanjian itu akan berumur panjang. Apa yang menurut ia kurang, terutama adalah strategi jangka panjang. Hamas melihat bahwa Timur Tengah telah berubah. Suriah bukan lagi negara pendukung yang aman. Dan Fatah serta Presiden Palestina Abbas harus menyaksikan bagaimana rejim Mubarak di Mesir ambruk dengan mudah. Perjanjian rekonsiliasi itu adalah akibat dari keputusasaan.
Bagi Joachim Paul, pemimpin Yayasan Heinrich Böll di Ramallah, langkah yang sebetulnya revolusioner terkait perjanjian itu adalah dibukanya perbatasan ke Jalur Gaza. Pos perbatasan di Rafah setidaknya dibuka untuk masuknya barang-barang ke Gaza, di bawah pengawasan Mesir. Dengan begitu, blokade terhadap Gaza diakhiri. Tetapi Joachim Paul tidak percaya ada perubahan mendasar. Sorak sorai kegembiraan tidak terdengar di Palestina, dan itu baik menurut dia.
"Tak ada yang tahu, apa yang persisnya tercantum dalam perjanjian itu, apa yang akan terjadi. Jangan lupa, tahun 2007 pernah dibentuk pemerintah kesatuan nasional. Waktu itu dirundingkan di Mekah, dan umurnya cuma tiga bulan. Setelah itu bukan hanya retak tapi menjadi permusuhan. Jadi, orang-orang sekarang menunggu untuk melihat apa yang sebetulnya akan muncul," ditambahkan Joachim Paul.