ASEM di Mata Organisasi Masyarakat Sipil AEFP
7 Oktober 2010Penyelenggaraan Forum Rakyat Asia Eropa, AEPF diagendakan resmi bersama ASEM, mendapat fasilitas dari pemerintah Belgia pula. Bahkan dalam salah satu acaranya, menghadirkan pejabat Belgia PM Yves Leterme. Namun AEPF bukan merupakan subordinasi atau bagian dari ASEM, AEPF justru merupakan acara tandingan terhadap ASEM.
Jika ASEM adalah acara arus atas, dengan para kepala negara dan pemerintahan atau wakil mereka, maka AEPF adalah versi arus bawah. Pesertanya adalah para tokoh dari organaisasi petani, buruh, seniman, dan kalangan masyarakat sipil lain.
Christa Wichterich, salah satu fasilitator AEPF, menjelaskan, "Forum Rakyat Asia Eropa AEPF adalah forum bagi masyarakat dan organisasi masyarakat sipil dari Uni Eropa dan Asia. Di sini organisasi-organisasi itu dihubungkan, dan masalah-masalah dipertemukan. Dan forum ini secara khusus membahas secara kritis kebijakan-kebijakan Uni Eropa."
Bukan kebetulan, kalau para peserta AEPF adalah kalangan aktivis, yang blak-blakan mengambil posisi menentang berbagai pilar kebijakan Uni Eropa dan sebagian besar negara-negara Asia, khususnya di bidang ekonomi. Lebih-lebih globalisasi dan perdagangan bebas yang dinilai sebagai agenda kapitalisme dan kekuatan kaum neoliberal yang merugikan dan menindas rakyat kecil. Mereka menuding, perdagangan bebas dan globalisasi dallam wujudnya yang sekarang, menindas hak asasi manusia..
Para peserta datang dari hampir 30 negara Asia dan Eropa. Indonesia diwakili oleh belasan aktivis berbagai sektor. Antara lain dari sektor buruh migran, petani, kesehatan rakyat, pertambangan, serta organisasi-organisasi HAM dan keadilan global.
Salah satu peserta dari Indonesia, Elisa Kartini Samon dari Serikat Petani Indonesia, menyatakan, "Saya dan kawan-kawan SPI, datang ke sini terutama untuk isu kedaulatan pangan. Terutama bagaimana melindungi pertanian di negara berkembang, dari kebijakan Uni Eropa (dan negara-negara besar lain) di bidang pertanian dan juga di bidang energi, yang banyak merampas tanah petani di Indonesia dan negara-negara berkembang lain...Juga menuntut dihentikannya subsidi di Uni Eropa…yang membuat mereka bisa menjual produk pertanian mereka dengan harga rendah ke negara-negara berkembang."
Aspirasi-aspirasi yang dibawa Elisa Kartini Samon dan para aktivis lain digodok di AEPF dalam berbagai persidangan, baik sidang-sidang komisi dengan kelompok-kelompok kecil, maupun sidang paripurna bersifat terbuka, yang melibatkan semua peserta. Hasilnya dirumuskan dalam suatu rekomendasi, yang lalu disampaikan kepada para kepala negara dan pemimpin pemerintah peserta Pertemuan Puncak ASEM, melalui tuan rumah, PM Belgia Yves Leterme. Menandai penyerahan rekomendasi itu, PM Yves Leterme juga tampil di sidang paripurna AEPF, dalam debat terbuka bersama tiga perumus rekomendasi AEPF.
Secara umum, rekomendasi Forum Rakyat Asia Eropa itu terdiri dari enam tema besar: penanggulangan krisis ekonomi melalui solusi berkelanjutan, sistem investasi dan perdagangan global yanga dil, tanggung jawab perusahaan swasta raksasa, perlindungan hak rakyat atas air dan makanan, penanggulangan perubahan iklim secara adil, dan keamanan kerja.
Pertemuan Puncak ASEM menghasilkan dua dokumen, berupa Chair's Statement yang cakupannya luas, dan Deklarasi Brussel yang khusus menyorot tata ekonomi global. Sejumlah butir dalam kedua dokumen itu menunjukkan kesesuaian dengan rrekomendasi para aktivis peserta AEPF, kendati sebagian lagi justru sama sekali bertentangan. Elisa Kartini Samon dari Serikat Petani Indonesia menyatakan, memang tidak realistis untuk berharap bahwa KTT ASEM sepenuhnya menerima rekomendasi mereka:
Titik berat KTT ASEM kali ini memang terletak pada penanggulangan krisis ekonomi global. Namun cakupan bahasannya juga merambah berbagai masalah strategis lain yang mutakhir. Seperti perubahan iklim, keamanan internasional, situasi Afghanistan, perdamaian Timur Tengah, nuklir Korea Utara dan Iran, kondisi politik Birma, dan lain-lain. Sementara AEPF lebih bertumpu pada penataan ulang sistem ekonomi dunia yang dinilai tidak adil bagi negara berkembang dan merugikan rakyat miskin.
KTT ASEM melibatkan 46 negara dengan kondisi ekonomi, sosial dan politik , serta paham dan ideologi yang begitu beragam, bahkan bisa saling bertentangan.
Ging Ginanjar
Editor: Kostermans