Ayu Utami: Tentang Iman dan Dosa
21 Mei 2013Senjakala orde baru ditandai oleh pemberontakan dari ruang domestik. Beberapa pekan sebelum jalanan Jakarta dipenuhi lautan manusia yang akhirnya memaksa presiden Soeharto berhenti, novel berjudul Saman lahir.
Saman bagi banyak perempuan perkotaan adalah mantra yang membebaskan mereka dari kutukan "Dharma Wanita". Membawa energi keberanian baru bagi perempuan untuk keluar dari rumah dan merayakan tubuh. Seperti pohon pengetahuan yang membuat Hawa terusir dari surga.
Sang pengarang yakni Ayu Utami, adalah orang yang menebus dosa itu. Di pundaknya, tertulis daftar “kesalahan“: mengajarkan perempuan bahwa pernikahan bukanlah sebuah kewajiban, bahwa selingkuh tidak selamanya buruk, dan perempuan harus berdaulat atas tubuh mereka sendiri.
Ayu menerbitkan buku “Pengakuan eks Parasit Lajang”. Di luar pencapaian estetik, terutama lewat Saman, yang disebut kritikus telah memperluas cakrawala kesusasteraan Indonesia, perempuan berusia 44 tahun itu di mata pendukungnya berperan penting memperluas aspek paling sensitif dalam isu kebebasan perempuan, yakni persoalan seksualitas.
“Seks itu pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan,” kata Ayu Utami kepada Deutsche Welle.
“Ada banyak cara membongkar ketidakadilan gender, tapi saya memilih tema seksual, karena itu penting dan tidak banyak orang yang mau menempuhnya."
Deutsche Welle: Kenapa seks?
Ayu Utami: Karena seks itu pangkal ketidakadilan yang menimpa perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu makhluk lemah, kurang mampu, emosional, harus dilindungi, sehingga tidak mampu memutuskan sendiri dan karenanya harus dipimpin. Itu semua berawal dari pemahaman yang salah mengenai sekualitas. Semua usaha untuk meringkus perempuan itu berlindung di balik alasan untuk melindungi atau memuliakan perempuan. Dan itu selalu dikaitkan dengan seksualitas perempuan: alat kelaminnya, tubuhnya, payudaranya, keperawanannya, itu semua dianggap kehormatan perempuan, bahkan kehormatan masyarakat. Dibuat sedemikian rupa sehingga perempuan terpenjara oleh ide-ide tentang kemuliaan.
DW: Apakah seks memang problem paling mendasar yang menciptakan ketidakadilan gender?
Ayu Utami: Ketidakfahaman atau penyederhanaan berlebihan masyarakat patriarki dalam soal seksualitas itulah yang menciptakan ketidakadilan gender. Tulisan saya mengajak orang untuk melihat bahwa seksualitas tidak bisa disederhanakan begitu saja, karena itu novel-novel saya menampilkan karakter-karakter yang punya preferensi seksual berbeda-beda. Bukan hanya orientasi seks tapi cara mereka menikmati seks, juga berbeda. Jadi kita jangan menyederhanakan manusia: bahwa manusia hanya menikmati seks dengan satu cara saja. Lewat seks, kita akan belajar bahwa setiap individu manusia itu berbeda. Kedua, banyak mitos mengenai seksualitas yang dibangun dengan menegakkan dominasi laki-laki.
Sebagaimana terjadi pada banyak tempat lain di dunia, lebih dari sepuluh tahun terakhir gelombang pasang konservatisme juga menerpa Indonesia.
The Wall Street Journal mencatat paling tidak ada 350 pemerintahan lokal yang memberlakukan Peraturan Daerah atau Perda Syariat Islam. Sebagian besar mengatur soal tubuh perempuan: mulai dari cara berpakaian hingga posisi duduk di sepeda motor.
Sebagai penulis dan aktivis, Ayu Utami terlibat pergulatan panas dengan masyarakat yang semakin konservatif.
DW: Penyair Taufik Ismail menuduh anda mengobarkan seks bebas. Apa tanggapan anda?
Ayu Utami: Saya sih menjawabnya dengan lucu saja, seks bebas itu lawannya seks terikat. Jadi seks bebas itu lawannya Sado Masokisme yang pakai diikat-ikat itu lho… Jadi buat saya seks itu memang harus merdeka. Bebas mungkin kata yang buruk, tapi menurut saya seks itu harus diputuskan secara merdeka. Mau pakai Sado Masokis boleh, tapi harus dibuat lewat keputusan yang merdeka, tidak boleh diatur oleh negara. Jadi orang akan memilih apakah dia ingin bermain menjadi budak-budakan… ya nggak apa-apa… itu keputusan bebas. Itu harus diatur oleh dirinya sendiri, bukan kehendak Negara atau kekuatan lain di luar itu.
DW: Apakah anda mendukung seks bebas?
Ayu Utami: Orang Indonesia selalu menentang seks bebas, tapi apa yang mereka maksud tidak jelas. Ketika orang bicara seks bebas yang mereka maksud adalah seks remaja yang belum menikah. Padahal suami dan istri juga melakukan perselingkuhan, tapi itu biasanya tidak dibicarakan. Ini menurut saya berasal dari ketidakmampuan orang untuk mengakui bahwa perselingkuhan terjadi di mana-mana, dan hubungan seks di luar pernikahan itu terjadi dimana-mana dan tidak semuanya buruk. Orang tidak mau mengakui bahwa tidak semuanya buruk. Saya berani mengakuinya, tapi jarang orang mengakui apalagi kalau diwawancara di televisi. Jadi ada ketakutan untuk mengakui bahwa hubungan seks di luar pernikahan itu ada yang jelek, tapi ada juga yang tidak jelek. Ketidakberanian untuk mengakui inilah yang melahirkan sikap formalis yang ingin selalu menghukum semua hubungan seks di luar pernikahan.
DW: Apa bentuk ketidakterusterangan orang Indonesia dalam soal seks?
Ayu Utami: Misalnya masih ada rumah sakit yang menanyakan: masih nona atau sudah nyonya? Padahal maksudnya sudah berhubungan seks atau belum. Orang enggan menggunakan istilah hubungan seks, tapi mereka menanyakan apakah sudah melakukan hubungan suami istri? Hehehe…padahal kalau belum menikah dan melakukan seks kan artinya bukan melakukan hubungan suami istri dong hehehe... Dokter kelamin juga tidak berani bertanya: suaminya suka menyeleweng atau enggak? Mereka biasanya bertanya: suami sering keluar kota bu? Jadi kacau deh…Kalau suaminya Pilot atau Pelaut gimana dong hahaha... Bahkan di tempat resmi seperti itu, orang tidak berani bicara terus terang.
Ayu Utami lahir dalam tradisi keluarga Katolik yang saleh. Ia mengaku bahwa Injil sangat mempengaruhi pembentukan dirinya, selain buku filsafat Pengantar Linguistik Umum karya Ferdinand de Saussure dan Psikoanalisis karangan Sigmund Freud.
Alkitab, kata Ayu, telah membentuk imajinya semasa kecil dan memperkenalkan pemahaman dasar bahwa kasih itu lebih besar dari hukum, bahkan lebih penting dari Iman dan harapan.
“Itu penting bagiku, karena artinya lebih baik orang berbuat baik daripada beriman,“ kata Ayu.
DW: Apakah anda masih percaya Tuhan?
Ayu Utami: Ya, saya percaya pada sesuatu yang tidak kita ketahui. Artinya, saya percaya bahwa ada sesuatu di luar batas pengetahuan kita. Orang boleh menyebutnya Tuhan. Tapi buat saya, sesuatu itu tidak harus disembah. Seharusnya, kesadaran mengenai sesuatu itu membuat kita rendah hati bahwa selalu ada yang tidak kita ketahui, bahwa pengetahuan kita selalu hanya sebagian. Maka kita tidak bisa merasa benar sendiri.
DW: Bagaimana anda mendamaikan pandangan Katolik yang konservatif dalam urusan seks dengan pandangan dunia anda yang "bebas"?
Ayu Utami: Dalam soal seks dan kebebasan, nilai ideal saya sesungguhnya Katolik konservatif; yaitu bahwa perkawinan itu monogami dan tak bercerai. Saya juga akan mengatakan bahwa aborsi adalah hal yang buruk. Tapi itu adalah yang ideal. Sementara manusia adalah proses. Manusia belajar melalui proses. Dalam proses ia harus terus diampuni dan diberi kesempatan, bukan dihukum. Buat saya agama itu menjaga nilai-nilai ideal yang sebaiknya tidak dikompromikan. Tapi hidup manusia juga ada di wilayah non agama. Wilayah itu harus diatur dengan hukum-hukum sekular. Hanya dengan memisahkan wilayah sekular dari agama, kita bisa memiliki kedua-duanya dalam bentuk yang terbaik. Dengan memisahkan wilayah, agama boleh mengibarkan nilai-nilai ideal yang tidak dikompromikan sekaligus tanpa kekuatan untuk menghukum manusia. Dari dulu kalau ditanya tentang perbuatan saya yang melanggar aturan agama, saya selalu jawab: saya mendahulukan nurani dari aturan apapun. Jika suara hati saya mengatakan sesuatu tidak adil, maka jika perlu saya melawan agama.
Ayu Utami adalah mantan wartawan majalah Forum Keadilan , pendiri Aliansi Jurnalis Independen AJI, aktif di Komunitas Utan Kayu dan Salihara. Menulis “Saman” 1998, “Larung” 2001, “Si Parasit Lajang” 2003, “Bilangan Fu” 2008, “Manjali dan Cakrabirawa“ 2010, "Cerita Cinta Enrico" 2012, "Soegija: 100% Indonesia“ 2012, ”Lalita“ 2012, “Pengakuan eks Parasit Lajang" 2013.