Bagaimana Caranya Merebut Kembali Kejayaan Korps Brimob?
30 Juni 2018Beberapa hari usai insiden di Mako Korps Brimob awal Mei lalu, melalui media sosial beredar cerita seputar keterlibatan Batalyon Teratai (Brimob) dalam Operasi Seroja di Timor Leste (d/h Timor Timur) tahun 1976. Sudah tentu beredarnya cerita soal Batalyon Teratai bisa dianggap sebagai olok-olok, mengingat Batalyon Teratai gagal total dalam operasi di Timtim tersebut.
Ibarat bunyi pepatah lama "sudah jatuh tertimpa tangga”. Bagaimana tidak, kisah kegagalan Batalyon Teratai justru viral di saat Korps Brimob sedang menghadapi tekanan besar dari publik, sehubungan insiden di Mako Brimob baru-baru ini. Kegagalan Batalyon Teratai tersebut bisa digambarkan dengan bentuk hukuman yang mereka terima dari Kombes Anton Soedjarwo, Komandan Korps Brimob sat itu.
Saat mendarat di Pelabuhan Tanjung Priok, seluruh anggota pasukan, mulai dari Komandan Batalyon (AKBP Ibnu Hajar, lulusan terbaik PTIK di angkatannya) hingga prajurit berpangkat tamtama, diharuskan jalan kaki (long march) menuju markas mereka di Kelapa Dua, Depok, kurang lebih sejauh 30 km. Mungkin karena merasa bertanggungjawab, serta rasa malu yang tak tertahankan, Ibnu Hajar mengajukan pensiun dini pada tahun 1985, saat menjabat (setara) Komandan Denma Mabes Polri, dengan pangkat Komisaris Besar.
Memulihkan kepercayaan publik
Mengikuti perkembangan sebuah satuan militer, khususnya bagi yang berminat, memiliki daya tarik sendiri. Seperti kehidupan manusia, dengan segala jatuh-bangunnya, yang akhirnya tetap tegak, bahkan melegenda. Meski pernah mengalami pasang-surut yang dahsyat, selalu ada ruang untuk bangkit kembali, termasuk bagi Brimob. Selain cerita pahit Batalyon Teratai, pada dekade berikutnya kembali mengalami masa suram, tatkala Korps Brimob hanya dipimpin perwira berpangkat Kombes (kolonel), bandingkan dengan sekarang yang komandannya jenderal bintang dua (irjen).
Peristiwa dimaksud terjadi di masa kepemimpinan Pangab Jenderal Benny Moerdani (1983-1988). Bagi matra darat, era kepemimpinan Benny bisa jadi adalah kenangan indah, namun tidak bagi Korps Brimob. Pada era Benny, posisi Brimob seolah mencapai titik nadir, selain hanya dipimpin perwira berpangkat kombes (kolonel), struktur komandonya sekadar "dititipkan” pada Direktorat Samapta Mabes Polri, jadi bukan sebagai Korps yang berdiri sendiri. Direktur Samapta sendiri saat itu berpangkat brigjen, setara dengan Direktur Reserse Mabes Polri, semantara posisi Kabareskrim Mabes Polri sekarang adalah pati bintang tiga (komjen).
Pada waktu bersamaan, figur legendaris Brimob (khususnya bagi Resimen Pelopor) yakni Jenderal Anton Sujarwo menjabat Kapolri. Terlihat ada faktor politis di sini, seolah memang ada grand design Benny untuk mengecilkan peran Brimob. Sementara Anton Soejarwo sebagai sesepuh Brimob, tidak mampu berbuat banyak bagi Brimob yang sedang menghadapi cobaan kala itu. Bagi yang paham zaman itu, memang seolah terjadi saling "sandera” antara Benny dan Anton, mengingat keduanya adalah segenerasi dan sama-sama tokoh kebanggaan dari satuan asal.
Terkadang nama besar Brimob, justru menempatkannya pada posisi dilematis. Seperti di masa Presiden Soekarno dulu, satuan ini sempat terseret-seret dalam wilayah politis praktis, yang terbukti merugikan citra satuan di kemudian hari. Begitu dekatnya hubungan emosional antara Bung Karno dengan Brimob, terlihat ketika Bung Karno mengorbitkan seorang perwira Brimob berpangkat Kombes menjadi Kapolri, yakni Sutjipto Danukusumo (Kapolri 1964-1965). Itu bisa terjadi, mengingat pasukan Brimob di bawah Komisaris Sutjipto yang mengawal Bung Karno di masa-masa awal kemerdekaan dulu, ketika satuan semacam Paspampres belum lagi dibentuk.
Salah satu cara Brimob untuk merebut kembali kepercayaan publik, adalah dengan meningkatkan kemampuan satuan, seraya mengambil jarak dengan politik kekuasaan. Salah satu kemampuan yang paling aktual untuk ditingkatkan – baik di tingkat satuan kecil maupun perorangan – adalah dalam hal antiteror. Dengan mengasah kemampuan di bidang ini, Brimob telah memberi andil besar bagi terciptanya rasa aman masyarakat, yang memang merupakan visi Brimob sejak didirikan dulu.
Sinergi antarsatuan
Bagi negeri kita, begitu krusialnya ancaman teror, maka satuan antiteror telah dikembangkan pada semua angkatan, seperti Detasemen Jala Mangkara (Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL, Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU, Resimen IV Gegana (Brimob Polri), Detasemen Khusus 88 (Polri), dan Satgultor- 81 Kopassus. Satuan yang disebut terakhir ini secara historis dianggap sebagai pelopor dalam pembentukan satuan sejenis.
Namun perlu diingat pula, ketika dua perwira Baret Merah (Kopassus), masing-masing (dengan pangkat saat itu) Mayor Inf Luhut Panjaitan dan Kapten Inf Prabowo Subianto ketika dikirim ke Jerman, sebagai rintisan pembentukan Detasemen 81 (nama terdahulu Satgultor 81), keduanya berlatih di lembaga kepolisian Jerman. Lembaga atau satuan dimaksud adalah GSG 9 (Grenzschutzgruppe 9). Satuan anti-teror GSG 9 termasuk terbaik di dunia untuk kategori satuan sejenis, yang dibentuk sebagai respons atas peristiwa penyanderaan atlet Israel pada Olimpiade di München (1972).
Dalam sebuah kesempatan pembicaraan informal penulis dengan perwira-perwira Kopassus generasi 1990-an, secara ringkas bisa disimpulkan, yang paling utama dalam menilai, bagaimana tingkat keandalan sebuah satuan antiteror, jangan dilihat bahwa satuan itu berada di bawah marinir, polisi atau tentara. Namun dilihat bagaimana intensitas pelatihannya, perencanaan, peralatan (senjata, kacamata infra-merah, dan alat bantu lainnya), rasa percaya diri, dan fleksibilitas dalam eksekusi di lapangan.
Asumsi ini kiranya bisa menjadi bahan kajian, untuk mencapai hasil optimal dalam operasi, perlu ada sinergi satuan antiteror di Tanah Air. Misalnya dengan latihan bersama, atau saling tukar informasi mengenai teori dan teknik terbaru, termasuk informasi tentang peralatan canggih lainnya. Satu hal yang wajib dihindari adalah munculnya semacam ego sektoral pada masing-masing satuan, pada fase inilah rencana pembentukan Koopsusgab (Komando Operasi Khusus Gabungan) TNI menemukan relevansinya. Meski Koopsusgab hanya terdiri dari satuan (antiteror) di bawah TNI, namun secara prosedural posisi Brimob tetap sebagai ujung tombak.
Mendeteksi teror bom
Arti penting koordinasi dan tukar informasi kini semakin semakin terasa, mengingat ada "perkembangan” dalam bentuk teror: dari teroris (sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda). Sebagaimana diketahui, unit-unit antiteror di negeri kita, pada umumnya dilatih untuk menghadapi aksi-aksi teror dari sekelompok teroris, artinya yang dihadapi adalah sekelompok manusia juga, seperti pembajakan pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang dihadapi adalah bom, perlu ada metode dan kurikulum pelatihan tersendiri.
Kemampuan yang ada selama ini, adalah sebatas melumpuhkan atau menjinakkan bom, yang belum sempat meledak dan sudah diketahui keberadaannya. Tugas ini biasa dilakukan oleh unit Jihandak (Penjinakan Bahan Peledak) dari Gegana Brimob Polri dan satuan dari Zeni AD. Kasus peledakan bom akhir-akhir ini, telah memberi pelajaran pada kita, tentang perlunya kemampuan melacak keberadaan bom-bom yang belum diketahui secara pasti keberadaannya.
Untuk mengetahui keberadaan bom, sebagai upaya pencegahan bencana yang lebih besar. Salah satu langkah adalah kerja sama yang rapi dengan satuan intelijen. Dengan demikian perlu ada peningkatan simultan, dalam hal kemampuan dan koordinasi, antara personel unit intelijen dan unit antiteror. Biasanya memang personel intel dan antiteror berada dalam satuan yang terpisah. Seperti di Kopassus misalnya, unit intel tergabung dalam Grup 3/Sandi Yudha, sedang unit antiteror tergabung dalam Satgultor (Satuan Penanggulangan Teror). Demikian juga yang terjadi dalam Resimen IV/Gegana Brimob Polri. Fungsi intelijen dipegang oleh Detasemen A, sementara Detasemen C menjalankan fungsi antiteror.
Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa lembaga intelijen, baik yang sipil (BIN), maupun di bawah TNI atau Polri, diharapkan mampu mendeteksi dini setiap bahaya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam bahasa umum, bahaya adalah kejadian (kondisi) yang apabila dibiarkan berpotensi menjadi gangguan, sedangkan gangguan adalah sudah tahap berbahaya. Cara bertindak juga berbeda, bahaya ditangani dengan preventif, yang menjadi domain lembaga intelijen.
Penulis: Aris Santoso (ap/vlz), sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.