Bagaimana Laut Indonesia Bantu Mengentaskan Kelaparan
15 Agustus 2017Budidaya ikan lepas pantai dipercaya dapat membantu mengentaskan kelaparan di dunia, terutama ketika populasi manusia di Bumi bakal melonjak menjadi 10 milyar orang pada pertengahan abad ini.
Menurut studi yang dipublikasikan oleh jurnal ilmiah, Nature Ecology & Evolution, budidaya ikan lepas pantai berpotensi memproduksi 15 milyar ton ikan per tahun, lebih dari 100 kali lipat konsumsi makanan laut di dunia saat ini. Indonesia termasuk negara yang ditengarai memiliki potensi budidaya ikan terbesar.
Meski demikian polusi dan pencemaran, serta gentrifikasi kawasan pesisir mempersulit budidaya perikanan di kawasan perairan dangkal. Sebab itu ilmuwan mengusulkan budidaya perikanan dilakukan di perairan lepas pantai dengan kedalaman 200 meter.
"Samudera memiliki potensi besar untuk produksi pangan. Namun hingga kini laut lepas masih diabaikan sebagai lokasi budidaya," tulis ilmuwan dalam laporan tersebut.
Dalam studi tersebut kelompok peneliti di bawah bimbingan Rebecca Gentry, Guru Besar bidang Maritim di University of California Santa Barbara, mencatat sebanyak 11,4 juta kilometer persegi kawasan laut di Bumi bisa digunakan untuk budidaya ikan, dan 1,5 juta kilometer persegi untuk budidaya kerang. Sebanyak 120 spesies ikan dan 60 jenis kerang dapat dibudidayakan secara massal di laut lepas.
Saat ini hanya 40 jenis ikan yang dibudidayakan atau ditangkap untuk memenuhi 90% kebutuhan akan makanan laut di dunia.
Menurut studi tersebut, semua produksi ikan saat ini bisa dibudidayakan di kawasan perairan seluas pulau Jawa. "Hampir semua negara yang memiliki laut punya potensi budidaya perikanan dan mampu memenuhi kebutuhan makanan laut domestik," tulis ilmuwan. "Biasanya cuma membutuhkan secuil dari wilayah perairannya."
"Tantangan terbesar terhadap ekspansi budidaya ikan laut terletak pada pengembangan pola pakan yang berkelanjutan, dan memahami bagaimana budidaya ikan di laut dalam skala besar berinteraksi dengan ekosistem dan kesehatan manusia," kata Max Troell, ilmuwan di Stockholm Resilence Centre yang terlibat dalam penelitian tersebut.
rzn/yf (afp)