Kalau Perundungan Dunia Maya Berlanjut Jadi Kekerasan Fisik
11 April 2019Pengeroyokan yang dialami oleh Audrey, remaja berusia 15 tahun di Pontianak, Kalimantan Barat, diberitakan berawal dari saling caci di media sosial mengenai permasalahan asmara.
Akibat peristiwa penganiayaan yang diduga terjadi pada Jumat (29/03) ini, korban harus dirawat di rumah sakit karena mengalami trauma fisik dan psikologis.
Psikolog klinis forensik, Kasandra Putranto, saat dihubungi oleh Deutsche Welle menyayangkan peristiwa saling caci ini berlanjut hingga ke tahap penganiayaan fisik.
Meski perundungan secara fisik dan dunia maya sama-sama memiliki dampak yang merusak, namun penganiayaan fisik seharusnya bisa dicegah dengan peran aktif orang tua dan masyarakat.
"Setiap orang tua harus menanamkan kepada anak mereka bahwa mereka boleh marah, tapi yang tidak boleh adalah melukai atau merusak barang-barang milik orang lain," ujar Kasandra, Rabu (10/04). Dengan demikian anak sedari kecil belajar untuk mengendalikan diri dan tidak gampang merusak atau menganiaya orang lain.
Namun ia juga menyayangkan justru masih banyak keluarga di Indonesia yang tidak bisa mengendalikan diri dengan baik, terutama terkait dengan mengendalikan amarah.
Selain masih harus belajar mengendalikan diri, ia mengatakan anak-anak dan remaja masih belum bisa mengendalikan perilaku mereka di media sosial. Mereka pun cenderung beranggapan kalau perilaku mereka di media sosial tidak akan mendatangkan konsekuensi apa pun.
"Padahal rekam jejak digital itu kuat sekali dan bisa dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan," ujar Kasandra, Rabu (10/04).
Karena itulah, ujar Kasandra, orang tua seharusnya memberitahukan hal ini kepada anak mereka sebelum apa yang dilakukan oleh anak-anak dan remaja tersebar luas dan menjadi konsumsi publik.
Untuk dapat melakukan hal ini, Kasandra menekankan seharusnya orang tua dekat dengan anak mereka sehingga tahu perilaku mereka baik saat di rumah, di luar rumah maupun ketika di bersosialisasi media sosial.
"Biasanya ada anak yang di rumah kalem ternyata di luaran tidak begitu. Jadi orang tua harus tahu persis anaknya, kelakuan dan temperamennya," tambahnya.
Masih dianggap remeh
Psikolog lulusan Universitas Indonesia ini pun menyayangkan peran masyarakat yang masih menganggap ringan peristiwa-peristiwa perundungan baik yang terjadi secara fisik, psikologis maupun perundungan di dunia maya. Pembiaran ini bisa dilakukan baik oleh pihak orang tua maupun sekolah.
"Orang-orang masih sering berkata 'ah cuma begitu saja kok' tapi ternyata lama-lama tindakan perundungan ini dibiarkan dan tiba-tiba sudah jadi parah."
Karena itu baik pihak sekolah mau pun orang tua sebaiknya menyadari perubahan kecil yang terjadi pada putra-putri mereka dan tidak membiarkan hal ini tanpa mengetahui lebih lanjut.
Lingkungan juga sebaiknya menghormati hak-hak anak dan remaja apabila ia sedang merasa tidak mau berbagi atau pun bercerita. Ia lantas mencontohkan misalnya di sekolah-sekolah disediakan tempat tertentu di kelas dimana anak yang tidak sedang ingin bersosialisasi bisa duduk di sana dengan tenang, namun tetap merasa dirinya adalah bagian dari sebuah kelompok. (hp)