Walhi: Pilkada 2018 Mengancam Moratorium Hutan
4 Mei 2018Hery Susanto Gun bukan sosok asing di mata penegak hukum. Pengusaha asal Kalimantan Timur itu memiliki julukan "raja tanah" dan giat mendulang rezeki dari apapun yang bisa diperolehnya, batubara, sawit hingga pungutan liar di pelabuhan. Dalam proses persidangan kasus korupsi mantan Bupati Kurai Kartanegara, Rita Widayasari, kader Partai Demokrat itu berkisah menyerahkan uang senilai Rp. 6 milyar kepada Rita untuk mendapat konsesi sawit.
Dari Rita, Hery pun mendapat izin lokasi perkebunan kelapa seluas 16.000 Hektare di Kalimantan Timur. Namun transaksi sesat itu pula yang menenggelamkan keduanya.
Hak pengelolaan Sumber Daya Alam bertukar uang suap bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Sejak era ekspansi perkebunan sawit yang dilakukan secara besar-besaran pada era Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, kasus korupsi seputar pemberian konsesi lahan oleh pejabat daerah mulai muncul ke permukaan.
Sebut saja Edison Marudut Marsadauli Siahaan, Direktur Utama PT Citra Hokiana Triutama, yang dicokok KPK 2015 silam lantaran memberikan suap kepada mantan Gubernur Riau, Annas Maamun, terkait pengajuan revisi alih fungsi hutan kepada Kementerian Kehutanan untuk konsesi sawit seluas 2.432 Hektare. Edison divionis tiga tahun penjara, sementara Annas harus mendekam dua kali lipat lebih lama.
Sejak tahun lalu Wahana Lingkungan Hidup sudah mewanti wanti terhadap perluasan areal untuk izin usaha perkebunan (IUP) kelapa sawit menjelang atau setelah Pilkada serentak 2018. Kepada DW, Direktur Eksekutif Walhi Indonesia, Yaya Nur Hidayati, mengatakan pemberian izin di jalur cepat itu menyisakan dampak lingkungan dan sosial yang bisa berujung pada pelanggaran HAM.
Berikut kutipan wawancaranya:
DW: Apakah anda bisa memastikan adanya tren penerbitan izin perkebunan oleh kepala daerah di akhir dan awal masa jabatannya?
Yaya Nur Hidayati: Memang dari data-data yang kami olah ada tren peningkatan pelepasan kawasan hutan di tahun politik. Dan fenomena ini sudah terlihat sejak pemilihan umum 1987. Jadi setahun sebelum dan setahun sesudah pemilu terjadi lonjakan pemberian izin perkebunan. Trennya bukan cuma pada pelepasan kawasan hutan, tetapi juga pada pemberian izin Hutan Tanaman Industri dan Hak Pengusahaan Hutan.
Apakah penerbitan izin itu sendiri melanggar hukum?
Memang Undang-undang memungkinkan untuk dikeluarkannya izin dan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan. Tapi intinya adalah apakah dalam proses tersebut terjadi gratifikasi atau tidak? Kalau kami melihatnya lain. Pelepasan kawasan hutan secara besar menimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Kalau kita berbicara tentang perkebunan kelapa sawit, misalnya akan ada proses pembukaan lahan dan pengeringan lahan gambut yang menimbulkan dampak lingkungan yang sangat besar. Selain itu izin tersebut juga berpotensi menimbulkan konflik sosial karena biasa izin dikeluarkan tanpa memperhatikan apakah di lokasi tersebut ada aktivitas masyarakat atau tidak. Jadi pemerintah mengeluarkan izin tanpa berkonsultasi terlebih dahulu dengan masyarakat.
Kemudian perusahaan yang sudah memegang izin diberikan tanggungjawab buat "membereskan" persoalan tersebut. Perusahaan biasanya menggunakan aparat keamanan untuk menghadapi penolakan oleh penduduk setempat. Itu yang kemudian berujung pada tindak kekerasan oleh aparat, kriminalisasi, bahkan sampai pada pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dan warga yang melakukan aksi penolakan terhadap perusahaan sering ditangkap karena dianggap melakukan tindak kriminal. Jadi itu adalah model bisnis yang berulangkali terjadi di industri perkebunan kelapa sawit atau perkebunan monokultur lainnya, dan juga pertambangan. Jadi sektor-sektor ini ikut menyumbang pada terjadinya konflik lahan dan pelanggaran HAM.
Apakah tren serupa akan berulang di Pilkada 2018? Bagaimana mengawasinya?
Kita harus melihat pada level apa kewenangan perizinan itu berada. Jadi misalnya ada kewenangan yang semula berada di tangan pemerintah daerah tingkat dua, sekarang dipegang oleh pemerintah provinsi. Nah ini sebenarnya yang perlu diwaspadai. Kami pun sudah memberikan peringatan kepada pemerintah pusat yang menerbitkan moratorium izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut, serta moratroium perkebunan sawit. Dan kami juga sudah memperingatkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mewaspadai daerah-daerah, di mana memiliki potensi terjadinya korupsi dalam pemberian izin pengelolaan sumber daya alam, seperti Kalimantan Timur dengan batu baranya atau di Kalimantan Barat yang punya rencana melakukan ekspansi perkebunan sawit secara besar-besaran, dan juga terutama di Papua yang menjadi wilayah terakhir ekspansi perkebunan di Indonesia.
Nah khususnya di Papua, ada banyak perusahaan yang sebenarnya mengincar kayunya. Jadi seringkali izin untuk perkebunan hanya menjadi kedok untuk memperoleh kayu secara cuma-cuma. Karena kalau mereka mendapatkan konsesi di kawasan hutan yang masih baik, mereka juga mendapatkan Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Jadi mereka berhak "menikmati" kayunya untuk dijual karena sudah menjadi haknya pengusaha. Jadi mereka mendapatkan keuntungan yang berlipat ganda dengan mendapat izin di dalam hutan.
Di Papua Walhi mencatat ada banyak konsesi perkebunan sawit yang berada di atas lahan moratorium atau hutan primer. Bagaimana ini bisa terjadi?
Moratorium izin perkebunan baru dikeluarkan di periode akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni 2011. Kami mencatat, setahun sebelumnya Kementerian Kehutanan banyak sekali mengeluarkan izin-izin baru, termasuk di dalamnya yang sangat sulit dilacak adalah pengeluaran izin baru melalui proses perubahan tata ruang yang diusulkan kepala daerah.
Lantas apakah perubahan tata ruang bisa mereduksi hutan primer yang dilindungi moratorium?
Bisa dan itu termasuk beberapa modus yang kami amati. Jadi peta moratorium setiap tahun direvisi dan dikaji ulang. Ada wilayah yang dikeluarkan lantaran tidak berbentuk hutan primer lagi. Nah yang sering Walhi temukan di lapangan adalah modus, di mana hutannya dirusak terlebuh dahulu atau dibakar dengan sengaja, sehingga dianggap bukan hutan primer lagi dan dikeluarkan dari peta moratorium saat proses revisi. Dan kita melihat ada tren, di mana kawasan hutan yang dikeluarkan dari peta moratorium, dua tahun kemudian sudah menjadi perkebunan.
Wawancara oleh Rizki Nugraha/ap