1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikLebanon

Bagaimana Sejarahnya Lebanon Berkembang Jadi Negara Rapuh

1 Oktober 2024

Pemerintah Lebanon tidak mampu membendung eskalasi konflik antara Hizbullah dan Israel. Setelah perang saudara panjang dan krisis ekonomi, Hizbullah muncul sebagai negara dalam negara.

https://p.dw.com/p/4lGlg
Serangan bom Israel ke markas Hizbullah di selatan Beirut
Serangan bom Israel ke markas Hizbullah di selatan BeirutFoto: Hussein Malla/AP/dpa/picture alliance

Dalam sidang darurat Dewan Keamanan PBB di New York baru-baru ini, Perdana Menteri Lebanon Najib Mikati mengecam keras Israel, yang melancarkan "perang kotor" terhadap negaranya. Dia mengatakan, Israel bertanggung jawab atas eskalasi yang belum pernah terjadi sebelumnya di Lebanon, dan atas kematian ratusan warga sipil hanya dalam beberapa hari terakhir, "termasuk kaum muda, perempuan dan anak-anak.” Itu sebabnya dia sekarang berharap pada komunike bersama Prancis dan Amerika Serikat, yang menggalang dukungan internasional untuk mengakhiri perang. Tetapi Israel sampai saat ini menolak seruan gencatan senjata.

Tetapi pidato Najib Mikati di PBB menunjukkan dengan jelas, bahwa pemerintah Lebanon tidak berdaya menghentikan meningkatnya konflik antara Israel dan Hizbullah. Pemerintah Lebanon tidak mampu mengendalikan Hizbullah yang bertindak menurut kepentingannya sendiri.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Kelemahan pemerintahan sipil di Lebanon punya akar sejarah panjang. "Lebanon didirikan pada awal abad ke-20 sebagai negara Kristen, yang bersekutu dengan Prancis sebagai kekuatan pelindung,” kata Markus Schneider, yang memimpin proyek regional untuk perdamaian dan keamanan Timur Tengah di ibu kota Lebanon, Beirut.

"Cacat lahirnya adalah, sejak awal wilayah tersebut mencakup sebagian besar populasi non-Kristen,” kata Markus Schneider kepada DW. Setelah perang saudara yang panjang, akhirnya, berbagai pihak di Lebanon sepakat bahwa setiap kelompok agama atau konfesi akan memerintah secara bergiliran, dengan pembagian kekuasaan yang proporsional, lahirlah apa yang disebut "konfesionalisme Lebanon". "Konfesionalisme adalah sebuah kompromi untuk mengintegrasikan bagian lain dari masyarakat. Namun kesepakatan ini justru mencegah munculnya negara bangsa yang kuat."

Israel-Hezbollah conflict: Civilians caught in the crossfire

Bangkitnya Hizbullah menjadi 'negara dalam negara'

Tahun 1975 pecah perang saudara di Lebanon antara milisi-milisi Syiah, Sunni, dan Kristen. Perang saudara meluluhlantakan negara itu, yang terpecah-pecah dalam wilayah kekuasaan milisi. Perang saudara baru bisa diakhiri tahun 1990, ketika dibentuk sistem untuk lebih menyeimbangkan kepentingan masing-masing kelompok agama.

"Namun, sistem ini menyebabkan kelompok-kelompok ini berulang kali mencoba untuk mengedepankan kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan kelompok lain,” kata Markus Schneider. "Hal ini terus melemahkan negara. Hal ini misalnya terlihat dari negara yang tidak dapat menyepakati presiden sejak tahun 2022.”

Merajalelanya korupsi yang melanda Lebanon juga terkait dengan perpecahan ini. "Jika tidak ada negara kuat yang dapat mengambil tindakan..., maka sistem oligarki dapat dengan mudah muncul, di mana setiap orang akan mementingkan dirinya sendiri,” kata Markus Schneider.

Banyak pengamat mengatakan, Lebanon menjadi negara gagal terutama karena kehadiran Hizbullah, kelompok Syiah yang dikendalikan oleh Iran. Hizbullah didirikan pada tahun 1982 selama perang saudara di Lebanon, dan sejak awal menerima dukungan besar –terutama bantuan militer – dari Iran. Hizbullah diklasifikasikan oleh AS, Jerman, dan beberapa negara Arab Sunni sebagai organisasi teroris.

Pada tahun 2022, Wilson Center yang berbasis di Washington menggambarkan sayap bersenjata Hizbullah sebagai "aktor militer non-negara yang paling tangguh di Timur Tengah – dan bisa dibilang di dunia.” Ketika terjadi konflik di Gaza setelah serangan teroris Hamas ke Israel yang menewaskan lebih dari 1200 orang, Hizbullah membela Hamas, yang juga didukung Iran, dengan menembakan roket-roket ke Israel. "Hizbullah pada dasarnya menyandera Lebanon secara politik,” kata pakar Timur Tengah Kelly Petillo dari European Council on Foreign Relations.

Militer dan aparat negara terlalu lemah

Kelemahan negara Lebanon juga terlihat dari kepasifan Angkatan Bersenjata Lebanon, LAF. Mereka mereka bekerja sama dengan pasukan penjaga perdamaian PBB di Lebanon, UNIFIL atas dasar Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701. Indonesia juga mengirim kontingen militer untuk misi pasukan perdamaian UNIFIL.

Kehadiran pasukan perdamaian terkait dengan perang Lebanon tahun 2006, ketika Israel menduduki wilayah selatan Lebanon. Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701 menyatakan bahwa setelah penarikan pasukan Israel, LAF dan UNIFIL akan bekerja sama untuk memastikan bahwa tidak ada milisi bersenjata Lebanon yang kembali ke Lebanon selatan. Hanya pasukan yang diberi wewenang oleh pemerintah Lebanon yang boleh hadir di wilayah selatan.

Namun Hizbullah mengabaikan perjanjian ini dan tetap mempersenjatai diri di Lebanon selatan, sementara milisi-milisi lain sudah dilucuti senjatanya. Dengan dukungan Iran, Hizbullah menjadi kekuatan militer yang aktif dan ditakuti. Militer rersmi Lebanon, LAF, tidak berdaya menghadapi Hizbullah dalam hal persenjataan.

LAF sendiri dianggap sebagai salah satu dari sedikit lembaga non-agama di Lebanon, karena tidak dikendalikan oleh salah satu kelompok agama, kata Markus Schneider. "Tetapi tentu saja tentara juga melemah akibat krisis nasional dan ekonomi di Lebanon,” jelasnya. Bahkan tidak ada cukup anggaran untuk membayar gaji personelnya. Itulah sebabnya militer Lebanon mendapat bantuan dana dari AS untuk membayar gaji personelnya. "Kekhawatirannya adalah, jika militer runtuh, negara Lebanon sendiri bisa runtuh. Tapi tentu saja, militer tidak bisa menyelesaikan masalah politik negara,” pungkas Markus Schneider.

Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman