Baiq Nuril: Hentikan Menyalahkan Korban
10 Juli 2019Mantan guru sekolah dari pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini akan menjalani hukuman enam bulan setelah upaya hukum terakhir berupa Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh kuasa hukumnya ditolak oleh Mahkamah Agung.
Nuril mengeluh karena mendapat panggilan telepon cabul dari kepala sekolah tempat ia bekerja. Dia merekam beberapa panggilan telepon itu dan melaporkannya ke beberapa kolega yang kemudian menyebarkan rekaman itu.
Kepala sekolah tersebut dipecat, namun ia melaporkan Nuril ke polisi di bawah undang-undang komunikasi karena mendistribusikan konten tidak bermoral.
"Ini tidak adil," kata Maknun kepada Thomson Reuters Foundation sementara tim kuasa hukumnya bersiap untuk mencari pengampunan dari Presiden Joko Widodo setelah gagal menempuh semua jalur hukum.
"Saya hanya membela hak dan martabat saya sebagai seorang perempuan. Saya tidak melakukan kesalahan," ujar ibu dari tiga anak itu melalui telepon dari Jakarta.
Korban tidak berani lapor
Putusan pengadilan telah banyak dikritik, termasuk oleh tokoh pemerintah dan pembela hak asasi manusia, yang mengatakan ini akan menjadi preseden buruk dan menghalangi korban lainnya untuk melaporkan pelecehan.
"Wanita lain tidak akan berani melapor di masa depan karena hukuman semacam ini. Orang akan takut dengan apa yang terjadi pada saya - persekusi ini - akan terjadi pada mereka juga," katanya.
"Saya harap saya akan menjadi korban terakhir," tambah Nuril.
Pengadilan membela putusannya dengan mengatakan pihak mereka tidak diminta untuk memutuskan terkait tuduhan terjadinya pelecehan seksual, tetapi apakah Nuril telah menyebar konten pornografi secara elektronik dan melanggar UU komunikasi.
Para pegiat HAM pun berkumpul dan mengeluarkan pernyataan bersama pada hari Rabu (10/07) yang menyerukan Presiden Jokowi untuk memberikan amnesti dan membatalkan hukuman terhadap Nuril.
Surat pernyataan ini ditandatangani oleh sembilan kelompok pegiat kemanusiaan Asian Forum for Human Rights and Develompent yang berpusat di Bankok Thailand dan Yayasan Bantuan Hukum Indonesia yang berbasis di Jakarta. Mereka mengatakan putusan tersebut hanya akan "melanggengkan budaya menyalahkan korban."
ae/hp (reuters)