Myanmar: Tidak ada Solusi Cepat, Kata Bekas Pejabat PBB
28 Maret 2024Tiga tahun setelah militer melancarkan kudeta terhadap pemerintahan demokratis dan mengobarkan perang saudara di Myanmar, junta di Naypyidaw semakin tersudutkan oleh pemberontakan di berbagai penjuru negeri.
Perlawanan dikoordinasikan oleh Pemerintahaan Persatuan Myanmar, NUG, melalui sayap militernya, Pasukan Pembebasan Rakyat, PDF, yang membawahi belasan unit di berbagai wilayah. Mereka menggalang aliansi dengan gerilyawan etnis, antara lain dengan pemberontak Shan yang berhasil membebaskan sejumlah besar wilayah di dekat perbatasan Cina di utara.
Milisi pemberontak juga mencatatkan kemajuan besar mengusir militer Myanmar di negara bagian Kayin dan Chin.
Junta terkesan semakin kewalahan, ketika kelompok pro-demokrasi dan pemberontak etnis tampil lebih kompak dibandingkan sebelumnya.
Untuk unjuk kekuatan, militer Myanmar mengadakan parade Hari Angkatan Bersenjata tahunan pada hari Rabu (27/3), untuk memperingati dimulainya perlawanan terhadap pendudukan Jepang selama Perang Dunia II.
Charles Petrie, bekas asisten sekretaris jenderal PBB, terlibat langsung di Myanmar selama lebih dari 10 tahun. Dia baru-baru ini melakukan perjalanan ke negara bagian Karen di tengah perang yang berkecamuk untuk menilai situasi kemanusiaan di sana.
Dalam sebuah wawancara dengan DW, Petrie mengatakan dirinya melihat "ada perubahan paradigma terjadi di Myanmar, yang menjelma dari sekedar rasa takut dan semangat perlawanan terhadap militer, menjadi gairah membentuk pemerintahan dan administrasi alternatif.”
Berikut kutipan wawancaranya.
DW: Apa kesimpulan Anda dari perjalanan baru-baru ini ke Myanmar?
Charles Petrie: "Sebenarnya saya pergi ke sana karena dua alasan. Yang pertama adalah untuk mengetahui apakah bantuan kemanusiaan internasional telah menjangkau masyarakat. Namun yang lebih penting, saya ingin mengetahui struktur pemerintahan lokal yang mulai berkembang.
Saya mendengar adanya pembentukan dewan lokal. Jadi, saya ingin lebih memahami seperti apa struktur tersebut. Dan apa yang saya temukan sebenarnya jauh lebih positif daripada yang saya bayangkan.
Maksud Anda?
Salah satu alasan kenapa aksi kudeta telah gagal memperkuat kendali militer atas negara adalah karena munculnya perlawanan masyarakat, dan lebih khusus lagi, perlawanan generasi muda. Generasi ini sangat tekoneksi, sangat aktif di media sosial, cerdas serta memiliki koneksi di dalam dan luar negeri.
Ada generasi baru yang saat ini menjadi tulang punggung pemberontakan. Mereka tidak memiliki rasa takut terhadap militer sebagaimana generasi orang tua mereka. Mereka tidak mewarisi kerelaan untuk sensor diri yang mendefinisikan bagaimana militer Myanmar bisa berkuasa sebelumnya.
Saya diberitahu oleh para aktivis muda, bahwa ini bukan hanya perang saudara, melainkan sebuah revolusi. Dan saya benar-benar memahami bahwa perlawanan rakyat terhadap Tatmadaw, militer Myanmar, adalah sesuatu yang benar-benar baru."
Saya pikir pasti ada perubahan paradigma yang terjadi di Myanmar, dari sekedar rasa takut dan semangat perlawanan terhadap militer, menjadi gairah membentuk pemerintahan dan administrasi alternatif. Tahun 2021, menurut saya, memang memicu perubahan paradigma di Myanmar. dalam mengelola masa depan negara.
Hal lainnya adalah tidak ada ruang untuk solusi cepat. Saat ini, belum ada keinginan untuk mengupayakan solusi cepat yang diharapkan oleh komunitas internasional. Kelompok perlawanan tidak menginginkan penyelesaian yang cepat, mereka menginginkan penyelesaian atas masalah bersejarah yang telah lama melanda negara ini.
Beberapa pengamat internasional khawatir bahwa Myanmar akan terpecah belah karena pemberontakan rakyat. Menurut Anda, apakah pemecahan Myanmar merupakan ancaman atau peluang??
Myanmar memang sedang terpecah-belah. Tapi fragmentasi tercipta akibat hilangnya kendali militer Myanmar di banyak wilayah negara. Apa yang kita lihat sekarang adalah munculnya bentuk baru pengelolaan negara. Namun, dan ini penting, tidak ada pemberontak atau kelompok etnis yang menginginkan kemerdekaan.
Apa yang kami lihat adalah keinginan untuk membentuk federalisme yang menjamin hak-hak berbagai kelompok etnis dan keleluasaan untuk bekerja sama.
Masyarakat internasional mengatakan bahwa mereka tidak ingin bertanggung jawab atas fragmentasi di Myanmar. Saya katakan bahwa hal ini bukan lagi masalah, setidaknya tidak untuk saat ini.
Sebaliknya, permasalahan yang ada saat ini adalah bagaimana Anda bisa membayangkan sebuah negara seperti Myanmar tanpa pemerintah pusat yang kuat. Mengakui kenyataan yang ada di berbagai wilayah dan mencoba untuk membayangkan suatu bentuk federalisme yang bisa menyatukan semuanya.
Apakah munculnya formasi negara baru ini merupakan alasan kenapa PBB mengalami kesulitan di Myanmar?
Negara-negara Barat dan PBB mengalami kesulitan menerima sesuatu yang tidak lazim di mata mereka. Saya pikir ada masalah mendasar saat ini, yaitu ketidakmampuan atau keengganan untuk membaca situasi sebagaimana adanya dan memahami peluang yang ada dalam situasi saat ini untuk masa depan Myanmar.
Institusi-institusi Barat dan PBB sangat lamban dan, sampai batas tertentu, hampir tidak mampu berpikir di luar kebiasaan, namun itulah yang dibutuhkan di Myanmar
Bisakah Anda menjabarkan secara lebih konkrit bagaimana komunitas internasional dan PBB harus mengatasi situasi ini?
Hal pertama adalah kerendahan hati. Bersikaplah rendah hati dan sadari bahwa kita sedang memasuki perang milik orang lain dan jangan memaksakan lensa dan pandangan Anda terhadap situasi di lapangan.
Kedua adalah menyadari bahwa analisis dan pendekatan, yang digunakan sebelum kudeta, sudah tidak efektif lagi. Menegosiasikan akses dengan junta di Naypyidaw tidak akan memberi Anda akses masuk ke banyak kelompok rentan di negara ini, karena militer tidak mengontrol wilayah-wilayah tersebut.
Artinya, Anda harus mulai terlibat dengan pemerintah, struktur pemerintahan di wilayah lain di negara ini. Namun terlibat tidak berarti hanya pergi ke sana dan menemui mereka dari waktu ke waktu. Komitmennya memerlukan kerja keras dan keterlibatan yang berkelanjutan.
Solusinya adalah mengembangkan prinsip lokalisasi ke tingkat berikutnya. Tanyakan kepada mereka bagaimana cara menyalurkan bantuan. Asah keberanian untuk terlibat dengan aktor non-negara secara substantif. Pada dasarnya, ini adalah tentang kesediaan untuk beroperasi secara berbeda.
Charles Petrie adalah mantan asisten sekretaris jenderal PBB. Selama karir diplomatiknya yang panjang, dia pernah menjabat sebagai koordinator residen PBB di Myanmar selama hampir lima tahun dan empat tahun sebagai koordinator Norwegia untuk merundingkan damai di Myanmar.
Wawancara oleh Rodion Ebbighausen.
rzn/as