Belajar Sejarah Kian Seru sambil Pelesiran di Kota Bandung
4 Oktober 2022"Teman-teman dua menit ya maksimal buat beli gorengan," teriak Lisan Shidqi kepada beberapa siswa SMA Negeri 4 Bandung (SMAN 4) yang ingin memisahkan diri dari kelompoknya saat sedang napak tilas ke beberapa lokasi bersejarah di Kota Bandung.
Lisan yang masih duduk di semester tiga pendidikan Bahasa Sunda Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung tampak semangat saat menjelaskan kisah sejarah gedung Bioskop Majestic di bilangan Braga. Dia juga sabar meladeni segala pertanyaan dari murid-murid SMAN 4 Bandung.
"Alhamdulilah senang banget bisa memandu mereka," kata Lisan dengan wajah sumringah.
Lelaki kelahiran Sukabumi 19 tahun silam itu baru saja bergabung dengan Komunitas Aleut yang eksis sejak 20 Mei 2006. Ini adalah komunitas nirlaba yang mengajak masyarakat untuk menikmati sejarah dan sambil berwisata di Kota Bandung. Nama komunitas ini diambil dari kata ngaleut yang dalam bahasa Indonesia artinya berjalan-jalan.
Lisan menggemari topik sejarah. Bahkan dia pernah menjadi pemandu di salah satu museum di kota kelahirannya. Di Bandung, dia pun punya kesempatan untuk terus menggali narasi-narasi sejarah, terutama sejarah dalam konteks lokal dan tidak hanya nasional. Sejarah lokal juga sama pentingnya dengan sejarah nasional, kata Lisan.
"Setiap langkah di Kota Bandung ini memiliki cerita. Kita bisa menambah wawasan dan menyadari potensi wisata di kota ini," terang Lisan kepada DW Indonesia sembari mencari anak-anak dampingannya yang sedang membeli jajanan di sekitar Braga.
Akhir pekan tanggal 25 September itu bertepatan dengan hari jadi Kota Bandung ke-212. Saat itu, Komunitas Aleut memandu sekitar 244 siswa kelas dua SMAN 4 Bandung. Ada beberapa lokasi yang mereka kunjungi misalnya, Alun-Alun Pendopo dan Masjid Agung, Gedung Merdeka, Bioskop Majestic, Bank Indonesia, dan Taman Vanda.
Riset sambil bersenang-senang
Komunitas yang diasuh oleh Ridwan Hutagalung ini memiliki sejumlah kegiatan seperti momotoran atau mengendarai motor bersama-sama mengunjungi situs-situs bersejarah. Selain itu, ada juga kelas literasi dan kelas menulis.
Berbeda dengan kegiatan pemanduan wisata pada umumnya, Ridwan mengatakan bahwa fokus kegiatan komunitas ini adalah riset sambil bersenang-senang. Ada proses saling belajar dan mengapresiasi sejarah dan pariwisata yang dialami baik oleh pemandu maupun peserta tur.
"Setelah jalan-jalan, Komunitas Aleut membuat catatan perjalanan. Bisa berupa tulisan artikel, video, atau foto dengan caption yang mewakili cerita," kata Ridwan.
Ada beberapa metode pengajaran sejarah yang bisa dikembangkan lebih menarik lagi, kata Ridwan. Seperti misalnya historical race dan heritage walk atau berjalan-jalan sambil mengenal sejarah suatu wilayah, tambah Ridwan.
Dalam heritage walk misalnya, para peserta dibagi dalam beberapa kelompok lalu menyusuri titik-titik lokasi bersejarah. Metode yang sifatnya permainan lapangan tersebut bisa menarik minat dan menambah wawasan para peserta. Bahkan, Komunitas Aleut pernah mendesain permainan puzzle untuk peserta murid sekolah dasar, kata Ridwan.
Nostalgia resto "paling elit" masa lalu
Salah satu peserta tur yang biasa dipanggil Fasa mengatakan kepada DW Indonesia bahwa dia menikmati pengalaman ngaleut karena bisa belajar sekaligus refreshing. Fasa yang masih berusia remaja ini melihat secara langsung Restoran Braga Permai yang dulunya bernama Maison Bogerijen.
Catatan Komunitas Aleut menggambarkan bahwa pada masa kejayaan Paris van Java, Maison Bogerijen disebut sebagai restauran paling elit di kota ini. Konon, restoran klasik ini bahkan didirikan atas restu Ratu Belanda pada tahun 1918. Dalam sebuah iklan Maison Bogerijen zaman dulu bisa ditemukan kalimat yang menjabarkan bahwa anggota keluarga Kerajaan Belanda dan gubernur Hindia Belanda.
Selang satu abad kemudian di tahun 2022, restoran yang kini bernama Braga Permai ini masih dipenuhi pengunjung yang umumnya datang membawa keluarga. Mereka menikmati pilihan hidangan khas negeri oranye seperti salad Belanda yang dikenal dengan huzarensla, ada pula gorengan biterballen. Bagi yang suka hidangan manis, ada Boter Staaf yang dulu kerap menjadi kawan minum teh hangat di tengah hawa dingin Bandung pada masa kolonialisme.
"Saya suka pelajaran sejarah karena bisa tahu masa lalu Bandung," tutur Fasa kepada DW Indonesia.
Maman Sumaludin, guru mata pelajaran sejarah di SMA 4 Negeri Bandung mengaku bahwa pelajaran sejarah lekat dengan stigma membosankan. Terlebih murid-muridnya harus belajar dari rumah selama pandemi. Karena itu, Maman pun menyambut cara belajar yang fresh dan menyenangkan dari komunitas ini.
"Ini adalah laboratorium nyata bagi anak-anak. Mereka dapat melihat masyarakat dan lingkungan secara langsung," kata Maman kepada DW Indonesia.
Murid-murid SMAN 4 Bandung juga ditugaskan guru mereka untuk membuat produk catatan perjalanan mereka. Maman mengatakan hal tersebut dapat mengasah keterampilan dan bakat murid-muridnya.
"Murid-murid akan membuat short movie atau vlog dengan durasi minimal satu menit dan maksimal tiga menit," kata Maman kepada DW Indonesia.
Ridwan Hutagalung dari Komunitas Aleut pun setuju bahwa belajar sejarah di lapangan akan cenderung mudah dicerna murid-murid karena mereka terlibat langsung. Mereka mendengarkan kisah sejarah yang dipaparkan pemandu sambil melihat langsung situs bersejarah. (ae)