Benarkah Indonesia Akan Bubar di 2030?
21 Maret 2018Pidato Prabowo Subianto ihwal kemungkinan Indonesia menjadi negara gagal pada 2030 memicu kontroversi panas di jagad medsos. Meski ucapan bekas menantu Presiden Suharto itu diyakini berasal dari sebuah novel fiksi karangan dua pakar keamanan Amerika Serikat, pertanyaan mengenai kemampuan Indonesia meniti jalur pertumbuhan di tengah dinamika politik global yang kian tak ramah bukan hal tabu untuk dilayangkan.
Saat ini satu-satunya cara mengukur potensi runtuhnya sebuah negara adalah dengan menggunakan Indeks Negara Gagal yang saban tahun dirilis oleh organisasi nirlaba Fund for Peace. Dalam indeks tersebut para peneliti menggunakan 12 indikator buat memprediksi kelemahan sebuah bangsa, antara lain melalui indeks kesenjangan ekonomi, keamanan, tekanan demografi dan keretakan di kalangan elit.
Secara umum posisi Indondesia dalam Indeks Negara Gagal banyak membaik dalam sepuluh tahun terakhir. Jika pada 2006 Indonesia menempati posisi 36 bersama Suriah dan Mesir, sebelas tahun kemudian melonjak di urutan 94 dengan skor total 72,9 dari maksimal 120, atau setara dengan Afrika Selatan, El Salvador dan Belarusia.
Sebagai perbandingan Thailand yang pada 2006 berada di urutan 79, banyak mengalami pasang surut sebelum mendarat di peringkat 82 pada 2017.
Performa Indonesia di Indeks Negara Gagal menunjukkan perkembangan positif terutama di awal dan akhir masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Antara 2006 dan 2007 posisi Indonesia meroket 23 peringkat, serta 2012 dan 2013 dengan perbaikan posisi sebanyak 13 peringkat.
Namun ketika hampir semua indikator menunjukkan rapor hijau, ada tiga indikator yang tidak pernah membaik selama sepuluh tahun terakhir.
1. Keretakan Elit
Indikator ini mempertimbangkan konflik di kalangan elit berdasarkan suku, agama, ras dan kasta sosial, serta pengaruh militer di masyarakat, profesionalisme kepolisian dan krebilitas pemilihan umum. Dalam hal ini skor Indonesia bertengger di kisaran 7,0 sejak 2011.
Ketika konflik antara keluarga Shinawatra dan militer di Thailand memuncak pada 2010 silam, skor Thailand memburuk dari 8,0 menjadi 10,0. Pengalaman serupa dicatat Inggris setelah referendum Brexit. Skor negara monarki modern tersebut memburuk dari 3,5 pada 2016 menjadi 4,5 pada 2017.
2. Hak Azasi Manusia dan Kepatuhan Hukum
Performa Indonesia dalam indeks Hak Azasi Manusia banyak dipengaruhi Pemilu Kepresidenan 2014 dan Pilkada DKI 2017 yang dipenuhi ujaran kebencian dan tindak intoleransi. Indikator ini antara lain mengukur kebebasan pers dan tindakan represi terhadap minoritas dan ekstemisme agama. Dalam hal ini skor Indonesia memburuk sejak 2014, dari 6,2 menjadi 7,4 pada 2016, sebelum membaik -0,2 poin pada 2017.
3. Konflik Sosial
Indikator Keretakan Sosial mempertimbangkan konflik di antara berbagai kelompok mayarakat yang berdasarkan faktor sosial dan politik, serta presekusi terhadap minoritas agama, tindak kekerasan dan rekonsiliasi konflik. Untuk mengukur indikator tersebut para peneliti menggunakan sejumlah pertanyaan dasar, seperti apakah sebuah negara pernah mengalami gelombang kekerasan massal antara kelompok masyarakat dalam periode tertentu.
Dalam hal ini performa Indonesia serupa dengan indikator Hak Azasi Manusia dan Kepatuhan Hukum. Sejak mencatat skor terbaik sebesar 5,9 pada 2008, prestasi Indonesia terus memburuk hingga mencapai puncaknya pada 2014 dengan skor 7,6. Kini skor Indonesia membaik sebanyak -0,5 poin.
Selain tiga indikator di atas, performa Indonesia cendrung positif. Sejak 2008 pemerintah berhasil menekan angka kesenjangan ekonomi dan menurunkan potensi krisis ekonomi hingga ke level terendah sejak 1998. Selain itu skor transparansi dan kepercayaan pada pemerintah sejak era Presiden Joko Widodo juga banyak mengalami peningkatan, yakni dari 6,5 menjadi 5,1 pada 2017.
rzn/hp (FSI, kompas, nytimes, detik, tirto)