Riset: Industri Jerman Tidak Terlalu Bergantung Kepada Cina
26 Januari 2023Ketika lusinan korporasi raksasa seperti Volkswagen atau BASF semakin bergantung dan bahkan memperkuat daya jangkau, perusahaan Jerman lain lebih leluasa menata bisnisnya di Cina.
Kesimpulan itu dimuat dalam studi terbaru Institut Ekonomi Jerman (IW) yang belum dipublikasikan. Dalam risetnya, lembaga penelitian di Köln itu melampirkan "data empiris” yang menelanjangi "kebergantungan masing-masing sektor industri kepada Cina.”
Diskursus nasional terkait memperkarakan besarnya keuntungan yang didapat perusahaan besar dari relasi bisnis dengan Cina. Pada raksasa kimia, Covestro, Cina misalnya mewakili 20 persen dari keuntungan tahunan. Bagi Volkswagen angkanya bahkan mencapai sepertiga dari total omset.
Kebergantungan yang lebih tinggi dimiliki perusahaan teknologi asal Aachen, Aixtron. Perusahaan yang memproduksi semikonduktor itu mencatat lebih dari separuh keuntungan berasal dari Cina dan Taiwan.
Persepsi umum tentang kuatnya kebergantungan ekonomi Jerman kepada Cina tidak tercermin dalam studi IW. Menurut ekonom, hanya 6,6 persen nilai barang dan jasa yang diekspor ke Cina pada tahun 2020.
"Jika digabungkan dengan pesanan dari dalam negeri, porsi Cina pada semua nilai produksi di dalam atau di luar negeri hanya sebesar rata-rata 2,2 persen pada semua cabang industri.”
Jepang dan AS lebih bergantung
Berbeda dengan Jerman, industri di Jepang misalnya jauh lebih bergantung kepada Cina. Pada negara jiran di Asia Timur itu, Cina mewakili hampir 20 persen nilai ekspor nasional. "Rusia sebesar 16,5 persen, Amerika Serikat sebesar 13,9 persen dan Republik Ceko 11,8 persen,” demikian menurut studi IW.
Kebergantungan sebanyak setidaknya "rata-rata dua diigit dicatat pada sebelas negara industri maju.”
"Secara umum, peran Cina sebagai pemasok dan pembeli barang dan jasa dari Jerman secara rata-rata memang bisa dirasakan, tapi tidak dalam dimensi yang besar,” menurut hasil riset.
Seperti pada kasus raksasa Chip, Aixtron, kebergantungan industri elektronik kepada Cina memang dianggap tinggi. Hingga saat ini, negeri tirai bambu itu masih dianggap sebagai pemasok dan pasar penjualan produk elektronik paling besar.
Produsen Chip Jerman, Infineon, dalam beberapa tahun terakhir menggandakan pendapatan dari Cina dan Taiwan yang kini berkisar 40 persen pada total keuntungan.
Kedekatan itu mulai merenggang sejak invasi Rusia terhadap Ukraina dan eskalasi ancaman serangan Cina terhadap Taiwan. Kini industri di Jerman mulai mengupayakan diversifikasi agar meleas kebergantungan.
Berebut logam tanah jarang
Direktur Badan Energi Internasional (IEA), Fatih Birol, sebabnya mengkhawatirkan bahwa Eropa akan jatuh ke jerat lain setelah berhasil melepaskan diri dari kebergantungan energi dari Rusia.
"Adalah kebijakan yang keliru untuk bertaruh selama itu hanya pada satu negara untuk mengamankan pasokan bahan bakar yang sangat penting seperti pada gas,” kata dia.
"Jika kita melihat energi terbarukan, muncul situasi yang sama,” imbuhnya, merujuk pada sekitar 70 persen baterai mobil elektrik yang diproduksi di Cina. Eropa sekarang harus menemukan pemasok baru dan ikut turun tangan menambang bahan mentah secara langsung.
Jerman saat ini sangat bergantung pada Cina untuk membeli logam tanah jarang yang diperlukan bagi produksi teknologi tinggi. Sepertiga logam langka itu didapat dari Cina. "Pada sejumlah komoditas logam tanah jarang, nilai impor dari Cina masih sangat tinggi,” terutama Skandium dan Yttrium yang mencapai 95 persen, menurut laporan terbaru Badan Statistik Jerman.
rzn/hp