Benarkah Iran Manfaatkan Pandemi untuk Tingkatkan Nuklir?
3 April 2020Iran saat ini menghadapi dua krisis. Sanksi yang memutus akses Iran dari pasar global, telah membuat ekonomi negara itu bertekuk lutut. Iran juga menghadapi bencana kesehatan masyarakat akut imbas epidemi virus corona yang terus menyebar.
Beberapa ahli bahkan memperkirakan COVID-19 berpotensi membunuh sebanyak 3,5 juta orang di Iran.
Namun, terlepas dari adanya belenggu keadaan ekstrem ini, Iran tampaknya tetap melanjutkan program nuklirnya.
Organisasi Energi Atom Iran (AEOI) baru-baru ini mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan alat pemisah (centrifuge) yang lebih canggih untuk pengayaan uranium, jauh melampaui level yang diizinkan oleh kesepakatan nuklir 2015 atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA).
Pada Mei 2018 lalu, Amerika Serikat (AS) mundur dari perjanjian itu dan memutuskan penerapan kembali sanksi ekonomi terhadap Iran dan mitra dagangnya. Sebagai tanggapan, Iran mengatakan bahwa negaranya tidak akan lagi mematuhi batasan-batasan pengembangan nuklir yang tertuang dalam kesepakatan itu.
Sanksi AS menyulitkan Iran dalam mengimpor barang-barang yang dibutuhkan, termasuk peralatan medis. Bank tidak bersedia membiayai transaksi perdagangan yang berhubungan dengan Iran karena khawatir terkena denda dari AS.
Untuk mengatasi hal ini, trio Eropa yaitu Prancis, Jerman dan Inggris akhirnya mendirikan INSTEX, atau Instrumen untuk Mendukung Pertukaran Perdagangan. Ini menjadi semacam mekanisme pembiayaan “jalur belakang” yang memungkinkan perusahaan-perusahaan Eropa melakukan bisnis dengan Iran, dan menghindari sanksi AS. Pada Selasa (01/04), INSTEX untuk pertama kalinya telah digunakan untuk memfasilitasi ekspor perangkat medis ke Iran.
Manfaatkan pandemi untuk tingkatkan program nuklir?
Ketika bantuan asing datang untuk membantu Iran yang menderita akibat COVID-19, ada indikasi bahwa negara tersebut mulai menggunakan krisis virus corona sebagai pembenaran untuk mengembangkan bahan bakar nuklirnya.
Kepala AEOI, Ali Akbar Salehi mengatakan bahwa agensi tersebut menggunakan sinar gamma untuk disinfeksi masker, sarung tangan dan peralatan medis lainnya. Ia menyebut sinar gamma tersebut hanya dapat diproduksi di reaktor nuklir saja.
Namun, mantan penasihat Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan fisikawan Iran Behrooz Bayat, mengatakan disinfeksi perangkat medis tidak dapat dijadikan alasan sah bagi Iran untuk melanjutkan program nuklirnya.
“Meskipun benar bahwa radiasi gamma dapat digunakan untuk mensterilkan masker dan sarung tangan medis, sejauh mana penggunaanya bisa efektif dalam melawan COVID-19 secara langsung masih dipertanyakan,” kata Bayat.
“Strategi Salehi adalah untuk memperlihatkan bahwa program nuklir rezim ini digunakan untuk tujuan yang baik,” tambahnya.
Di saat yang sama, Salehi tahu bahwa minat publik Iran dalam program nuklir semakin berkurang. Iran terus bersikeras bahwa teknolog nuklir ini hanya difokuskan pada penggunaan sipil.
"Pada prinsipnya, alat pemisah yang bekerja lebih cepat tidak bertentangan dengan penggunaan sipil, tetap mereka melanggar perjanjian nuklir internasional,” kata Bayat.
Ancaman ‘rahasia’ nuklir Iran
JCPOA berjanji memberikan keringanan sanksi sebagai imbalan jika Iran membatasi pengayaan uraniumnya ke tingkat yang lebih rendah. Keringanan sanksi juga akan diberikan jika Iran mengizinkan inspeksi internasional untuk memverifikasi bahwa Iran benar-benar tidak mengembangkan senjata nuklir.
Ditandatangani pada tahun 2015 oleh Jerman dan lima kekuatan permanen di Dewan Keamanan PBB, JCPOA ini dimaksudkan untuk memastikan Iran tidak dapat mengembangkan senjata nuklir di masa mendatang. Sebagai gantinya, kelonggaran sanksi akan diberikan untuk membuka jalan bagi Iran kembali ke ekonomi global.
Namun, satu tahun setelah AS secara sepihak mengakhiri perjanjian di tahun 2018, dan mengembalikan sanksi ekonomi terhadap Iran dan mitra dagangnya, Iran mengumumkan bahwa mereka akan menarik diri sebagian dari perjanjian tersebut. Dengan absennya manfaat ekonomi yang dijanjikan di tahun 2015, Iran pun memberikan tekanan bagi negara-negara penandatangan lainnya.
“Program nuklir Iran dirancang sebagai pencegah. Rezim sekarang tidak memiliki cara untuk melawan pelanggaran AS terhadap kewajiban dalam kesepakatan,” kata Bayat. Menurut fisikawan itu, percepatan program melalui modernisasi fasilitas sentrifugasi dapat dilihat sebagai “ancaman terselubung untuk mengejar pengembangan bom atom”.
Centrifuge atau alat pemisah yang lebih cepat akan membuat proses pengayaan uranium Iran lebih efektif, dan waktu yang dibutuhkan ntuk menghasilkan senjata uranium pun menjadi lebih singkat.
Sedikit kerja sama
Menurut laporan terbaru Komisi Energi Atom (IAEA), Iran telah memperbanyak hampir tiga kali lipat total jumlah uranium hasil pengayaan level rendahnya, yang awalnya 372,3 kilogram pada November tahun lalu, menjadi 1020,9 kilogram pada 19 Februari.
Jumlah ini melebihi batas 300 kilogram yang ditetapkan dalam JCPOA. Para ahli mengatakan kondisi ini memampukan Iran untuk memproduksi uranium yang cukup dalam pengembangan senjata nuklir.
Kepala IAEA Rafael Grossi meminta Iran untuk melanjutkan kerja sama penuh setelah Iran menolak akses pengawas ke dua instalasi nuklirnya pada Januari, demikian menurut laporan terbaru IAEA.
Sementara, otoritas Iran menyatakan bahwa pihaknya tidak memiliki kewajiban apapun untuk memberikan informasi.
“Kami telah menjawab pertanyaan IAEA,” kata duta besar IAEA Iran pada 20 Maret.
Ia menambahkan bahwa Iran akan terus bekerja sama secara intensif dengan IAEA. Meski begitu, duta besar tersebut mengatakan bahwa Iran tidak akan menerima tuduhan ketidakpatuhan yang dilakukan bersama-sama dengan AS dan Israel. (gtp/pkp)