Akhir Riwayat Bollywood?
22 Juli 2022Festival Film India di Stuttgart, Jerman, belum lama ini kembali dibuka untuk umum setelah dua tahun harus tiarap akibat pandemi Covid-19. Hingga 2011 lalu, festival ini masih bernama "Bollywood & Beyond.” Namun nama itu diganti sebagai pengakuan terhadap film-film India berbahasa non-Hindi.
"Bollywood” adalah akronim dari nama kota Bombay (Mumbai) dan Hollywood. Nama itu dicetuskan seorang kritikus film pada dekade 1970an sebagai upaya mendekatkan industri film India dengan audiens Barat.
Bollywood hanya memproduksi film berbahasa Hindi dan jarang menggunakan 120 bahasa lain yang aktif dipakai di India, seperti Urdu, Malayalam, Tamil, Sanskrit dan Bengali – yang sebagiannya juga punya industri sinemanya sendiri.
Industri film terbesar di dunia
Berkat keragaman itu, industri sinema India memproduksi lebih banyak film ketimbang negara-negara lain di dunia. Adapun film berbahasa Hindi selalu mendominasi kalender produksi yang mencapai 1.000 film per tahun.
Tahun lalu, industri film India mencatatkan keuntungan sebesar USD 2 miliar.Dari angka tersebut, film-film berbahasa Hindi yang didominasi Bollywood mewakili porsi terbesar.
Industri film Hindi bermula di Mumbai pada dekade 1930an dan menjadi tenar pada 60/70an berkat film-film romantika, drama atau laga. Hampir semua film berdurasi lebih dari tiga jam, selalu diselingi jeda dan seringkali disisipi adegan bernyanyi dan menari.
Bollywood mengembangkan resep kesuksesan yang disebut "sembilan rasa,” yakni perpaduan antara kebahagiaan, ketakutan, amarah, cinta, kesedihan, terkejut, benci dan ketenangan.
Film Bollywood adalah sebuah petualangan emosi. Ia dibuat dengan niat membenturkan rasa, antara tragedi dan komedi, atau romansa dan aksi laga, yang dibalut dalam kisah cinta.
"Bollywood menguasai 95 persen pangsa pasar sinema India saat itu,” kata Stephan Holl, seorang distributor film India di Jerman.
Peluang bagi sineas independen
Namun kesuksesan itu tidak bertahan lama. Bollywood dianggap terlalu bergantung pada segelintir bintang film untuk mendongkrak pemasukan. Industri ini juga dikenal tidak ramah perempuan. Selain itu, langgam bercerita yang itu-itu saja juga mulai dianggap membosankan.
Pada awal 2010an, film-film box office Bollywood mulai merugi. "Apa yang dulu selalu teruji tidak lagi ampuh, ada banyak ketidakjelasan,” kata Holl, yang menilai cita rasa Bollywood mulai hambar dan repetitif
Namun kemunduran itu sekaligus membuka peluang bagi sineas independen untuk memperluas pangsa pasar.
"Tiba-tiba ada banyak sutradara perempuan dan film-film tanpa bintang yang punya cerita bagus, serta mampu mengoptimalkan anggaran yang kecil,” kata Holl lagi. "Tiba-tiba, film India mulai ditayangkan di festival-festival film dunia seperti di Cannes.”
Berakhirnya riwayat Bollywood?
Anu Singh, sineas dan jurnalis India, sebaliknya tidak meyakini perubahan tren pada industri film akan menamatkan riwayat Bollywood. "Sejumlah film paling laku dalam tujuh tahun terakhir merupakan film arus utama,” kata sutradara perempuan itu.
Namun begitu, dia melihat kebangkitan sinema independen membuka peluang bagi keragaman di industri film India.
"Perubahan ini melahirkan kolaborasi yang lebih luas. Bollywood mulai terbuka untuk bahasa dan kini tidak lagi semata sinema berbahasa Hindi,” katanya. "Jika film arus utama mau belajar dari arus yang lebih kecil, ia akan jauh lebih kaya.”
Menurutnya, saat ini industri film Hindi masih mendebatkan gaya bercerita "yang bisa menangkap imajinasi audiens yang terus berubah,” ungkapnya merujuk pada konsumen yang mulai gemar menonton film-film internasional lewat layanan streaming.
Anu Singh meyakini masa depan Bollywood mewajibkan keragaman dan kesetaraan. Hal ini menuntut kualitas kerja yang lebih baik terhadap semua pelaku industri, mulai dari sutradara, pemain film, hingga penulis.
rzn/as