Berbhinneka Bila Perlu
19 Desember 2016Bayangkan sebuah expo sebagaimana yang wajar Anda temui. Hal-hal menarik berjajar dan mencegat penerawangan Anda sepanjang perjalanan menyelusuri areal pameran. Satu per satu penjaja berusaha menata agar apa yang ditampilkannya lebih gemerlap dan memikat dibandingkan penjaja lainnya.
Hanya saja, bayangkan pula, ini bukan expo otomotif, elektronik, perumahan, maupun expo lainnya yang bisa Anda temui hari ini. Ini adalah expo kolonial. "Exposition coloniale internationale”—pameran internasional kolonial yang dihelat di Paris, tahun 1931. Anda, tentu saja, tak akan menjumpai lapak-lapak menawarkan teknologi termutakhir, konsep bisnis menggiurkan atau lisensi makanan unik. Apa yang bisa Anda temukan adalah negara-negara Barat memamerkan kekayaan budaya negeri jajahannya.
Di anjungan Belanda, misalnya, Anda dapat menjumpai bangunan dengan ornamen rumit bermotif Jawa. Gerbangnya merupakan gapura khas Bali. Atapnya merupakan atap rumah gadang yang megah. Dalam areal anjungan, terdapat lumbung padi, kandang ternak, serta perkakas pencaharian yang menunjukkan keseharian orang-orang negeri jajahan. Pada waktu-waktu yang telah diatur, para seniman negeri jajahan akan mementaskan tari legong dan musik gamelan.
Dan di anjungan Perancis, tuan rumah dan penyelenggara yang harga dirinya paling dipertaruhkan dalam pameran ini, Anda dapat menemukan Angkor Wat direkacipta beserta segala kemegahannya. Replika Angkor Wat tersebut bukan hanya setara ukurannya dengan bangunan aslinya di Kamboja. Dari satu ujung ke ujung yang lain, pada replika ini terukir secara teliti pula relief nan kompleks candi aslinya.
Dalam pameran yang melibatkan Prancis, Belanda, Belgia, Portugal, Italia ini, para seniman sekaligus orientalis terandal didatangkan dan diminta merekacipta secara akurat ekspresi kebudayaan dan artistik adat negeri jajahan. Persiapannya memakan waktu 25 tahun. Hasilnya, tulis sebuah iklan yang dimuat harian Prancis L'Echo de Paris, adalah "Perjalanan paling indah menjelajahi dunia!” Pusparagam keunikan yang memotret kehidupan eksotik negeri kolonial—dari makanan, kerajinan, musik, potret kehidupan sosial dan ekonomi, flora dan fauna—tersaji dalam pameran yang berlangsung sepanjang enam bulan tersebut.
Terlepas dari cibiran sejumlah jurnalis, pameran ini memperoleh ulasan media yang marak. "[Pameran ini merupakan] sebuah negeri dongeng, sebuah kota magis yang teramat unik di dunia ini, di mana warga Paris dibius dengan pemandangan yang menakjubkan dan eksotik,” tulis koran Le Petit Journal, 8 Mei 1931. Ia mempengaruhi budayawan disegani Eropa seperti Antonin Artaud dan mengundang ekspo tandingan dari kelompok kiri yang kritis. Pada saat pameran ini ditutup pada 15 November 1931, tak kurang dari 9 juta orang mendatanginya.
Jelas bukan sebuah expo yang bisa Anda dapati hari ini, bukan?
Namun, pertanyaan pentingnya, apa yang menggugah pihak-pihak bersulit-sulit memindahkan dunia jajahan yang dianggap masih biadab itu ke jantung metropolitan Prancis? Apa yang tetap menguatkan tekad para penyelenggara kendati mereka harus menantinya terselenggara sepanjang lebih dari dua puluh tahun?
Jawabannya barangkali tersurat pada tujuan mulia yang dibayangkan Marshal Lyautey, salah satu komisioner pameran akbar ini. Banyak orang, dalam anggapannya, tak menyadari atau bahkan bebal dengan arti penting penjajahan Barat bagi negeri-negeri jajahannya. Jerman, yang tak memiliki lagi negeri jajahan seturut kekalahannya di Perang Dunia Pertama, bahkan secara terbuka mengkritik Perancis mengeksploitasi masyarakat jajahannya dan menyebabkan mereka tertinggal. Pameran ini dengan demikian merupakan pembuktian—yang sangat mahal, tentunya—bahwa kolonialisme merupakan anugerah bagi negeri-negeri jajahan. Berkat keberadaan bangsa penjajah, kearifan paripurna masyarakat pribumi tak koyak oleh waktu. Adat mereka tetap utuh dan murni.
Dan pembuktian yang amat menghamburkan ini tak sia-sia belaka. Anjungan Belanda, yang acap mendatangkan elu-elu media massa, toh, dipuji karena arsitekturnya yang memadukan secara padan pusparagam kebudayaan negeri jajahannya. Ia dianggap merupakan cerminan kecakapan luar biasa negeri Holland yang kecil menjaga keutuhan politis bentangan kepulauan yang dimukimi puluhan juta penduduk dari etnis, tradisi, keyakinan yang beragam.
Penguasa tak memedulikan kemajemukan itu sendiri
Penjajah merupakan penjaga kemajemukan dan kesatuan bangsa. Inilah yang sedari awal digagasnya pameran kolonial Paris 1931, gigih ingin mereka sampaikan. Terdengar aneh? Tujuh dasawarsa selepas Indonesia merdeka, tentu saja ia terdengar aneh.
Persoalannya, kita sadar, penguasa bersangkutan tak pernah sejatinya memedulikan kemajemukan itu sendiri. Ketika anjungan Belanda disabot dan Bonaficius Cornelis de Jonge, Gubernur Jenderal Hindia Belanda meresmikan anjungan baru pada bulan Agustus 1931, ekspresi tersebut mengemuka tanpa tedeng aling-aling. Tampak geram dengan kekuatan nasionalis dan komunis yang mulai bertumbuh di Hindia, ia menegaskan bahwa kekuasaan Belanda di Nusantara merupakan sebuah tanggung jawab moral. "Belanda mesti mempertahankan pengaruh dan kekuatannya di Hindia,” ujarnya, "demi masyarakat pribumi, demi Belanda, dan selaku kewajiban kita kepada dunia.”
Inilah motif penjajah mengemban kewajiban menjadi penjaga kemajemukan negeri jajahannya. "Demi Belanda." Demi penguasa. Kemajemukan menjadi tak lebih dari yel-yel tidak masuk akal yang mengimbuhkan, Anda, rakyat, membutuhkan penguasa untuk menjaga Anda dari diri Anda sendiri, ketika pada kenyataannya di balik kemajemukan tersebut bersemayam rasisme jahat dan sistematis yang memungkinkan segelintir kelompok yang diunggulkan menghisap dari kesengsaraan kelompok yang dinistakan.
Berselang tiga puluh tahun dari kemerdekaannya, lucunya, pemerintah Indonesia dengan prakarsa Ibu Tien Suharto mendirikan Taman Mini Indonesia Indah. Meski Ibu Tien mengaku terinspirasi Disneyland, konsepnya tak seberbeda itu dengan expo kolonial. Kemajemukan kebudayaan Indonesia dipajang melalui anjungan-anjungan, dan orang-orang dapat menjumpai betapa kayanya Nusantara cukup dengan mengunjunginya.
Namun, yang paling ironis, ia tidak pula seberbeda itu dengan expo kolonial dalam hal keduanya menjadi monumen yang memoles kekuasaan dengan citra arif tak terperi. Kita seharusnya masih ingat, pada masa Orde Baru, tanah penduduk diserobot, uang negara dikutil lewat berbagai megaproyek tak jelas, sumber daya dan komoditas bahkan dikuasai dengan modus yang digunakan penjajah seabad silam. Semua itu tak tersentuh berkat penekanan-penekanan, NKRI harga mati. Indonesia adalah kesatuan indah yang harus dijaga apa pun pertaruhannya.
Hari-hari ini, kita mungkin lebih mengenal kemajemukan dengan sebutan kebhinekaan. Saya hanya bisa berharap, kebhinekaan yang riuh kita bicarakan itu bukan sekadar perkakas untuk menjaga ketertiban saat penguasa memerlukannya.
Kita perlu berbhinneka, saya sadar. Namun bukan berbhinneka hanya bila perlu.
Penulis:
Geger Riyanto
Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.
@gegerriy
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.