Dua Sisi Media dalam Pemberitaan Terorisme
26 November 2021Ahmed Patel, saudara ipar pelaku bom London tahun 2005, menceritakan tahun-tahun kelam yang dilaluinya setelah insiden yang menewaskan 52 orang tersebut. Ia dan keluarganya yang sama sekali tidak terlibat dikucilkan dan dirisak, termasuk oleh sesama muslim.
"Pagi itu, tanggal 12 Juli, petugas keamanan datang ke rumah kami memberitahu saya bersama seluruh keluarga, bahwa ipar saya adalah salah satu pelakunya. Saat itu tidak ada anggota keluarga kami yang ditangkap atau diinterogasi oleh dinas keamanan," kenang Ahmad Patel dalam rekaman video di webinar internasional Wacana Media: Bagaimana Media Mengkonstruksi Isu Radikalisme dan Terorisme, oleh UIN Sunan Kalijaga dan The Apex Chroniclees, Kamis (25/11).
Meskipun peristiwa itu sudah berlalu lebih dari satu dekade, hingga kini Patel yang menetap di Dewsbury, Inggris, masih harus menghadapi stigma akibat pemberitaan media. Ia dan keluarganya, kerap diintimidasi termasuk dari kelompok muslim. Tak jarang, pengucilan juga datang dari para imam di komunitasnya.
"Saya sendiri harus menghadapi banyak komentar negatif dari umat Islam," keluhnya. Penggunaan istilah islamis atau islamist atau teroris muslim oleh media, juga memperkuat stigmatisasi terhadap umat Islam, ujar Patel.
Riset untuk menghapus stigma
Patel tidak menapik, banyak dari teroris mengucapkan kalimat syahadat dan mengucapkan Allahu Akbar. Seperti ISIS misalnya, menggunakan bendera dengan tulisan kalimat syhadat.
Untuk menghapus stigma yang ada, Patel pun menghabiskan waktu bertahun-tahun melakukan riset atas penulisan dan pemberitaan tentang terorisme di media-media di Eropa dan Inggris. Hasil risetnya ini kemudian ia buka kepada publik pada tahun 2016.
Ia pun mengelompokan media menjadi dua, media sayap kanan dan media sayap kiri di Inggris dan Eropa. Patel mengakui, pada umumnya media di Inggris cukup adil dan seimbang. Namun beberapa surat kabar dan media tertentu memiliki bias sendiri.
Lalu, ujarnya, saat melakukan kesalahan, media akan mengeluarkan permintaan maaf. Sayangnya permintaan maaf ini jarang dibaca oleh publik. Sehingga yang terlanjur tertanam di benak pembaca justru adalah publikasi yang salah atau yang belum diralat, ujar Patel
Manfaatkan sosial media, lawan terorisme
Berbeda dengan Patel, Andrea Toledo, jurnalis investigasi dari Manila Times, Filipina, mengatakan media ibarat dua sisi mata uang, khususnya media sosial justru memiliki peran dalam melawan terorisme. Hal ini ia rasakan sendiri sejak tahun 2017 lalu. Menggunakan media sosial membuat Andrea mampu melakukan kampanye waspada terorisme.
Andrea adalah anak dari teroris Filipina dan hingga saat ini hidup dalam pelarian. Ia memutuskan kabur dari rumah, setelah menyaksikan ibunya dibunuh oleh ayah kandungnya setelah sebelumnya disiksa selama 9 bulan.
Andrea yang punya banyak pengikut di media sosial, mulai memproduksi konten untuk melawan terorisme. Media sosial menjadi alat efektif untuk memerangi terorisme, ujarnya, karena pengguna media sosial di Filipina cukup tinggi. Rata-rata, orang Filipina menghabiskan waktu lebih dari 4 jam per hari menggunakan platform media sosial, seperti Facebook, Twitter, TikTok, dan Instagram.
"Ini tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Konten yang ada menghubungkan dan menjembatani jarak, memungkinkan pembuat konten untuk berbagi informasi melalui media digital," ujar Andrea dalam seminar yang sama.
Namun tingginya akses media sosial juga menjadi ceruk baru bagi teroris untuk melakukan propaganda, rekrutmen, dan penggalangan dana. Menggunakan konten media sosial para pelaku teror memikat orang-orang rentan, merekrut individu dalam kelompok. Termasuk merencanakan dan melaksanakan serangan teror di berbagai belahan dunia.
"Di Filipina, propaganda teroris komunis kuat dan memberikan kontribusi paling besar pada stigmatisasi islamofobia. Ini jelas sangat berbahaya bagi anak-anak kita," ujar Andrea.
Kedepankan pendekatan budaya
Sementara itu Dr. Clarke Jones, kriminolog dan peneliti senior dari Universitas Nasional Australia, mengungkapkan kontraterorisme atau upaya deradikalisasi menjadi isu yang menarik untuk sejumlah media. Sayangnya, menurut dia, jika deradikalisasi dilakukan tanpa pemahaman budaya dan agama, ini malah cenderung menimbulkan masalah.
"Media menggambarkan pemuda muslim dan komunitasnya sebagai orang yang mencurigakan, atau komunitas yang layak dicurigai. Ini dapat menimbulkan masalah, dan bisa mendorong anak muda untuk melakukan tindakan kekerasan dan kejahatan lainnya, akibat stigmatisasi pemuda muslim," kata Dr. Jones.
Menurutnya, gambaran negatif pemuda muslim oleh media akan berdampak pada politisasi ekstremisme kekerasan, sehingga memunculkan islamofobia dari komunitas yang lebih luas seperti di Australia dan negara-negara Barat lainnya.
"Mengatasi segala jenis kejahatan kekerasan di masyarakat sangat penting, tetapi, strategi apa pun yang kita buat tidak boleh malah berkontribusi pada terciptanya lebih banyak lagi kejahatan atau lebih banyak kekerasan. Harus berusaha untuk memahami faktor-faktor penyebab, mengidentifikasi kebutuhan, peka terhadap budaya dan agama, dan memberikan solusi individual yang sesuai," ujar Jones.
Dr. Clarke Jones menghabiskan 4 tahun untuk meneliti komunitas muslim di Sydney dan Melbourne, di Australia serta di Auckland, Selandia Baru. Sebelumnya, selama 15 tahun ia melakukan penelitian di lembaga pemasyarakatan dengan pelaku teror seperti di penjara Filipina. Selama riset tersebut, ia banyak berinteraksi langsung dengan komunitas muslim untuk melihat kehidupan mereka sehari-hari.
"Dengan pendekatan ini, saya berpartisipasi dalam pertemuan komunitas, perkemahan pemuda, kegiatan olahraga, ceramah agama, acara keluarga, dan pertemuan dewan (atau Syirah) untuk mengembangkan hubungan kepercayaan dan kemitraan yang setara," imbuhnya. (ae)