Pertaruhan Brexit bagi Inggris di Bawah PM Boris Johnson
23 Juli 2019Boris Johnson terpilih sebagai pimpinan Partai Konservatif Inggris, menggantikan Theresa May. Mantan Menteri Luar Negeri yang juga pernah menjabat sebagai walikota London itu memenangkan pemungutan suara di kalangan anggota partai dengan 92,153 suara mengalahkan pesaingnya Jeremy Hunt yang mengumpulkan 46, 656 suara. Johnson otomatis juga akan menggantikan PM Inggris Theresa May yang sudah mengumumkan pengunduran dirinya beberapa waktu lalu.
Sebagai politisi, Boris Johnson sering menyulut kontroversi. Dia berjanji akan membawa Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) sampai 31 Oktober mendatang, tenggat waktu yang ditentukan oleh Uni Eropa, apapun caranya. Boris Johnson beberapa kali menegaskan, dia akan memutuskan Brexit, baik dengan maupun tanpa kesepakatan dengan Uni Eropa (No Deal Brexit).
Justru pernyataan itu yang menyulut kontroversi sengit. Karena berbagai institusi ekonomi di Inggris, termasuk Bank Sentral, sudah memperingatkan bahwa Brexit tanpa kesepakatan akan menjerumuskan Inggris ke resesi ekonomi yang berkepanjangan.
Beberapa menteri dari Partai Konservatif sendiri sudah mengancam akan mengundurkan diri ramai-ramai, jika Boris Johnson benar-benar memutuskan No Deal Brexit.
"Deal or no deal?"
Ke-27 pemimpin Uni Eropa mengatakan, mereka telah membahas semua opsi dalam tiga tahun terakhir untuk meperlancar Brexit, sekalipun sedih dengan keputusan Inggris meninggalkan blok itu. Uni Eropa menegaskan, Kesepakatan Brexit yang sudah disetujui pemerintah Inggris di bawah Theresa May adalah tawaran terbaik dan tidak akan ada lagi negosiasi ulang.
Perjanjian 585 halaman itu memang berulangkali dibawa Theresa May ke sidang parlemen, namun tidak pernah mendapat mayoritas. Banyak pengamat juga meragukan bahwa Boris Johnson akan berhasil meloloskan kesepakatan itu, karena dia adalah tokoh utama yang menolak kesepatan tersebut dan turut menjatuhkan Theresa May.
Hambatan utama dalam negosiasi adalah soal perbatasan antara Irlandia, yang anggota Uni Eropa, dan Irlandia Utara, yang merupakan bagian dari Inggris. Uni Eropa menuntut tidak boleh ada kontrol di perbatasan itu, karena khawatir ketegangan akan kembali muncul, yang dulu telah menyulut perang saudara selama puluhan tahun.
Masalahnya, Inggris bersikeras ingin tetap berada dalam pasaran bersama Eropa, jika pengawasan di perbatasan ingin ditiadakan. Tuntutan itu ditolak oleh Uni Eropa, karena itu berarti Inggris akan menikmati semua kemudahan ekonomi yang menjadi hak anggota Uni Eropa, padahal ingin keluar dari Uni Eropa.
Meratifikasi "yang terbaik"
Boris Johnson mengatakan pemerintahnya akan meratifikasi "bagian-bagian terbaik" dari Kesepakatan Brexit yang sudah ada, termasuk soal hak-hak warga Uni Eropa di Inggris dan sebaliknya, perluasan berbagai pakta keamanan dan kerja sama diplomatik.
Pada saat yang sama dia mempertanyakan, apa Inggris memang harus melunasi tunggakan iuran sebesar 43 miliar euro. Boris Johnson mengatakan, semua urusan Brexit sudah akan rampung "jauh sebelum" pemilu baru yang dijadwalkan pada Mei 2022.
Apakah Uni Eropa akan menyetujui proposalnya, atau Inggris benar-benar akan keluar tanpa kesepakatan sama sekali, masih belum jelas. Yang pasti, jika terjadi No Deal Brexit, hal itu akan menjadi kegagalan diplomatik yang spektakuler, yang mungkin membuat Inggris dikucilkan oleh banyak negara dan hubungan negara itu dengan Eropa di masa depan jadi makin sulit.
hp/ml (rtr, afp, dpa)