Chitra Subyakto: Jadilah Bagian dari Solusi Bukan Polusi
22 Juni 2021Pada 6 Maret lalu, Sejauh Mata Memandang, sebuah brand fesyen dalam negeri menggelar sebuah pameran bertajuk ‘Sayang Sandang, Sayang Alam”. Bukan hanya sekadar pameran biasa, melainkan juga menjadi salah satu gerakan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa sampah fesyen adalah salah satu penyumbang polusi terbesar di Bumi.
Dalam pameran tersebut, masyarakat diajak untuk ambil bagian dalam mengurangi polusi, dengan menyumbangkan pakaian/produk tekstil, baik yang masih layak pakai maupun yang tidak terpakai lagi untuk nantinya disumbangkan atau didaur ulang.
Dalam sebulan pameran digelar, Sejauh Mata Memandang berhasil mengumpulkan lebih dari 35 ribu lembar pakaian. Lebih dari 19 ribu diantaranya masih layak pakai sehingga akan didonasikan dan diolah menjadi produk lain, sementara lebih dari 16 ribu pakaian tidak layak akan didaur ulang.
Apa gagasan di balik terselenggaranya pameran ini? Dan mengapa isu sampah fesyen penting mendapat perhatian? DW mewawancarai Founder dari Sejauh Mata Memandang, Chitra Subyakto, terkait hal ini.
DW: Apa gagasan utama digelarnya pameran Sayang Sandang, Sayang Alam ini?
Chitra Subyakto: Sebenarnya lebih untuk membuka mata lebih luas lagi. Karena sekarang, kita hidup di masa krisis iklim dan waktu kita tidak banyak. Mungkin belum terlalu banyak orang yang sudah hidup beradaptasi di masa krisis iklim ini. Namun, masih banyak pula yang belum sadar dikarenakan aktivitas kesibukan dan kesehariannya. Itulah mengapa, kami menggelar pameran ini di tempat umum. Supaya akan semakin banyak orang yang melihat gerakan ini. Karena tidak semua orang melihat media sosial, atau bahkan mungkin media sosial yang dilihat bukan tentang gerakan-gerakan kegiatan seperti ini.
Jadi, kami berkeinginan untuk membuka seluas-luasnya isu mengenai sampah ini ke banyak orang, agar mereka tahu bahwasanya, sampah itu bukan hanya plastik, tapi tekstil dan fesyen, itu juga masuk ke dalam 5 besar penyumbang polusi di dunia.
Faktanya, barang fesyen itu 90% masih bisa di upcycle (modifikasi nilai guna) dan didaur ulang.
Apa yang bisa dilakukan masyarakat awam agar bisa turut ambil bagian dalam mengurangi sampah tekstil ini?
Kita memang perlu memulai dari diri sendiri dulu, dari rumah. Yang terpenting adalah, kita harus bisa memilah-milah sampah, mulai dari sampah fesyen, plastik, kertas, dll.
Untuk fesyen, misalnya kita membeli baju, kalau memungkinkan, perpanjanglah masa pakai baju itu selama mungkin. Kalau ada baju yang robek, jangan langsung dibuang, tapi lebih baik dijahit atau diperbaiki dahulu. Ada kancing yang terlepas, dijahit kembali. Lalu, mungkin bisa juga diberikan ke sanak saudara.
Kalau saya, ada baju dan kaos robek, saya suka bikin jadi hal lain, seperti dijadikan tas belanja. Sekarang pun kita kan memang lebih baik menghindari kantong plastik dalam berbelanja. Selain itu, bisa juga dijadikan sarung bantal, mainan untuk binatang peliharaan, pokoknya sampai benar-benar sudah tidak layak lagi, mungkin barulah kita kirim untuk didaur ulang.
Dan kebanyakan orang masih bingung mereka harus kemana, bila ingin mendaur ulang sampah fesyen mereka. Kalau baju masih bisa didonasikan, tapi kalau kaos kaki, pakaian dalam, baju olahraga, handuk, itu belum tentu. Di sinilah kami ada untuk memberikan opsi tersebut, supaya sampah fesyen ini sebisa mungkin tidak langsung terbuang ke TPS atau TPA di Indonesia.
Apa pesan yang ingin Anda sampaikan kepada masyarakat terkait pentingnya merawat Bumi dan menjaga lingkungan?
Manusia itu bagaikan tamu di rumah orang, kita bertamu ke planet Bumi. Kalau kita bertamu, kita harus sopan dan sadar diri. Kalau nantinya kita harus pulang, sebisa mungkin kita tidak meninggalkan sampah dan merusak hal-hal yang tuan rumah miliki. Mungkin kita tidak merasakan langsung efek perubahannya, namun generasi yang akan datang, anak dan cucu kita, mereka akan merasakan dampaknya.
Semakin kita tidak berbuat sesuatu untuk mengatasi masalah ini, semakin cepat pula proses dampaknya. Bahkan di 2030 bila kita tidak melakukan apa-apa, akan terjadi perubahan udara ekstrem. Dengan adanya pandemi ini, seharusnya bisa membuat kita berpikir ulang, apa saja yang telah, belum dan bisa kita lakukan sebelum semuanya terlambat. Sebenarnya, banyak yang bisa kita lakukan, asalkan kita melakukannya bersama-sama. Jadilah bagian dari solusi, bukan polusi.
Apa yang mendorong Anda begitu peduli dengan masalah lingkungan?
Memang sedari dulu, saya sudah mulai mengikuti gerakan-gerakan peduli Bumi di media sosial. Kemudian di tahun 2018, terdapat berita mengenai paus yang ditemukan dengan perut penuh bermacam sampah yang cukup viral di media sosial. Lalu saya membaca kolom komentar, ternyata masih banyak orang yang belum sadar akan pentingnya isu ini.
Saya pun mulai membaca banyak buku. Dari sini saya sadar, bahwa semakin saya banyak tahu, semakin saya tidak tahu bahwa semua hal itu saling berhubungan. Dari buku Extinction Rebellion saya menemukan pendapat seperti ini, walaupun kita hanya punya satu teman atau pengikut kita di media sosial hanya 5 orang, kita tetap harus turut menyuarakan isu krisis iklim ini. Hal ini juga kan demi keselamatan kita bersama. Kita tidak perlu menjadi aktivis lingkungan, saya pun bukan seorang aktivis, hanya seorang penduduk Bumi. Karena itulah saya mulai punya inisiatif untuk berbagi informasi dan menyuarakan isu ini. Siapapuun diri kita, setiap langkah kecil yang kita lakukan itu sangat penting dan berpengaruh.
Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks.