Dampak Kenaikan Suhu 2 Derajat Celsius pada Miliaran Orang
27 Juni 2023Cuaca panas ekstrem di negara-negara Eropa pada tahun 2022 secara tidak proporsional memengaruhi penyandang disabilitas, yang menghadapi risiko tekanan kesehatan fisik, sosial dan mental, dan bahkan kematian akibat suhu ekstrem. Demikian menurut sebuah laporan pengawas HAM terkemuka Human Rights Watch.
Penyandang disabilitas lebih cenderung memiliki kondisi kesehatan atau menggunakan obat yang dapat memengaruhi kemampuan tubuh untuk merespons panas. HRW menyerukan lebih banyak dukungan.
Laporan HRW itu dirilis tidak lama setelah penelitian terbaru lainnya menemukan bahwa 2 miliar orang di seluruh dunia akan hidup dalam kondisi panas yang berbahaya pada akhir abad ini jika kebijakan iklim tak direvisi. Itu mewakili 23% dari populasi global yang diproyeksikan.
Jika iklim menghangat lebih drastis - skenario potensial di bawah kebijakan saat ini - sekitar 3,3 miliar orang dapat menghadapi suhu ekstrem pada akhir abad ini, menurut sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal "Nature Sustainability" pada bulan Mei.
Studi yang dipimpin oleh para ilmuwan di Universitas Exeter Inggris dan Universitas Nanjing di Cina, menemukan sedikitnya 60 juta orang telah terpapar tingkat panas yang berbahaya, ditandai dengan suhu rata-rata 29 derajat celcius atau lebih tinggi.
Bagaimana suhu panas membahayakan kesehatan manusia?
Panas ekstrem dapat menyebabkan berbagai penyakit dan kematian, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Ini termasuk sengatan panas dan hipertermia. Suhu ekstrem juga memperburuk kondisi kronis dan berdampak tidak langsung pada penularan penyakit, kualitas udara, dan infrastruktur penting.
Lansia, bayi dan anak-anak, perempuan hamil, pekerja luar ruangan, buruh kasar, atlet dan orang miskin sangat rentan terhadap suhu yang lebih tinggi.
Membatasi pemanasan- global pada kesepakatan Paris yang lebih rendah yaitu 1,5 derajat celcius, di atas tingkat praindustri, masih akan membuat 400 juta orang terkena tingkat panas yang berbahaya pada akhir abad ini, demikian temuan studi tersebut.
Orang-orang yang tinggal di India, Sudan, dan Niger semuanya akan sangat terpengaruh bahkan oleh kenaikan temperatur global pada kisaran 1,5 derajat. Bila batasan pemanasan global dinaikkan hingga kisaran 2,7 derajat, negara-negara seperti Filipina, Pakistan, dan Nigeria yang akan terdampak paling parah.
Menghitung biaya dampak perubahan iklim pada manusia
Para peneliti mengatakan, studi mereka mematahkan tren pemodelan dampak iklim terhadap ekonomi, bukannya dampak pada manusia.
"Ini selalu mendistorsi nilai kehidupan manusia dan hanya memfokuskan pada kekayaan," kata Ashish Ghadiali, seorang aktivis iklim dan salah satu penulis makalah tersebu kepada DW. Ia menambahkan, pemodelan yang berfokus pada ekonomi "menempatkan nilai lebih pada kehidupan di Negara Bagian New York daripada di Bangladesh."
Sebagian besar model lain juga memprioritaskan populasi saat ini daripada yang akan datang, dengan ketidaksetaraan dalam pemanasan global yang "terdistribusi secara global, tetapi juga antargenerasi," kata Ghadiali.
"Ini pada dasarnya menghargai hidup saya lebih dari hidup anak-anak saya dan tentunya lebih dari hidup cucu saya," katanya.
Melihat dampak di masing-masing negara pada tingkat temperatur yang berbahaya, para peneliti menemukan bahwa emisi saat ini dari 1,2 warga AS mengutuk manusia di masa depan untuk hidup dalam panas yang ekstrem. Meskipun memproduksi emisi yang tidak proporsional, populasi AS menghadapi ancaman yang jauh lebih rendah dari level suhu berbahaya tersebut.
Bagaimana orang bisa terlindung dari panas yang ekstrim?
Studi sebelumnya telah menunjukkan kota-kota sangat rentan terhadap kenaikan suhu yang berbahaya, karena "efek pulau panas." Bangunan, jalan, dan infrastruktur menyerap dan memancarkan panas matahari lebih banyak daripada lingkungan alami seperti hutan dan badan air, meningkatkan suhu perkotaan hingga 15 derajat celcius dalam beberapa kasus, dibandingkan dengan daerah pedesaan.
Kota-kota di seluruh dunia memperkenalkan peran baru, yaitu kepala petugas panas, untuk menghadapi kenaikan suhu yang tak terhindarkan. Salah satunya adalah Cristina Huidobro, yang menjabat di ibu kota Chili, Santiago, pada Maret 2022.
"Banyak kota di dunia menghadapi panas ekstrem, tetapi solusi dan cara Anda mendekatinya sangat, sangat lokal," kata Huidobro kepada DW.
Meski begitu, kata Huidobro, mereka semua secara luas mengikuti strategi tiga arah - kesiapan, kesadaran, dan adaptasi.
Kesiapsiagaan dapat mencakup mengkategorikan gelombang panas dengan cara yang sama seperti bencana alam lainnya, atau menyiapkan ambang peringatan untuk memicu respons kota tertentu.
Huidobro mengatakan meningkatkan kesadaran akan bahaya panas merupakan bagian integral dari peran tersebut.
"Merawat diri sendiri dalam kondisi panas ekstrem sangatlah sederhana — minum air, cari tempat berteduh, dan istirahat," katanya. "Tidak ada yang harus mati karena panas yang ekstrim."
Langkah selanjutnya adalah menyesuaikan kota dengan realitas baru suhu tinggi, sebagian besar dengan menciptakan lebih banyak ruang hijau di kota.
Santiago baru saja meluncurkan proyek reboisasi perkotaan untuk menanam 30.000 pohon di seluruh kota dan mengembangkan strategi yang memperlakukan pohon sebagai bagian dari infrastruktur perkotaan.
"Pohon, pohon, pohon, pohon di mana-mana. Ini membawa lebih banyak hijau ke kota," kata Huidobro.
Namun menanam pohon tidak semudah yang dipikirkan orang.
"Kami menanam pohon di jalan yang sangat padat, seperti di jalan utama kota, di mana Anda memiliki banyak hutan beton. Anda perlu menggali lubang dan benar-benar melakukan beberapa pekerjaan sipil."
Ini juga bukan solusi instan untuk panas perkotaan karena pohon membutuhkan waktu untuk tumbuh.
"Ide keseluruhannya adalah mencoba menanam naungan yang akan kita miliki dalam 20 atau 30 tahun ke depan," kata Huidobro.
Kota-kota AS melawan panas ekstrem
Amerika Serikat - di mana penelitian sebelumnya menemukan 12.000 orang meninggal sebelum waktunya karena panas setiap tahun - sejauh ini telah menunjuk tiga kepala petugas panas, di Phoenix, Miami dan Los Angeles.
Kota Los Angeles di California, yang digolongkan sebagai yang paling rentan terhadap bencana alam termasuk gelombang panas, baru-baru ini meluncurkan kampanye untuk membangun lebih banyak "pusat ketahanan" dengan naungan dan pendinginan yang didukung oleh energi terbarukan di komunitas berisiko tinggi. Mereka sudah memiliki jaringan pusat pendingin terutama di perpustakaan, di mana orang bisa pergi ke sana untuk berlindung dari cuaca panas.
Mereka juga bekerja pada sistem peringatan dini untuk gelombang panas.
Phoenix, sebuah kota di tengah Gurun Sonoran, sedang mengerjakan sejumlah adaptasi, termasuk membangun trotoar pendingin dengan material khusus yang memantulkan sinar matahari. Material itu membuat jalur beberapa derajat lebih dingin saat disentuh dan menjaga udara malam tetap dingin.
Kota Miami di Florida sedang merencanakan kampanye penanaman pohon perkotaan besar-besaran, dan juga telah menghabiskan jutaan dolar untuk unit AC bagi penghuni perumahan umum sambil memberikan bantuan keuangan untuk membantu menutupi tagihan energi rumah tangga berpenghasilan rendah.
Namun Huidobro dari Santiago mengatakan AC umumnya merupakan pilihan terakhir untuk adaptasi karena dampak iklimnya.
Santiago ingin menanam 33 "kantong hutan" yang akan digunakan sebagai pelindung iklim, terutama di dekat sekolah dan fasilitas kesehatan. Ini adalah alternatif untuk pusat pendingin ber-AC yang sedang dikembangkan di AS dan Eropa.
"Selama gelombang panas orang bisa masuk ke dalam pusat pendinginan berbasis alam ini dan berteduh, serta beristirahat dan minum air," kata Huidobro. (yp/as)
Diedit oleh: Jennifer Collins
Artikel ini telah diperbarui pada 26 Juni 2023 dengan penelitian baru yang diterbitkan oleh Human Rights Watch.