Deforestasi Gandakan Potensi Bencana di Rwanda
11 Mei 2023Setidaknya 130 orang meninggal dunia akibat bencana banjir dan longsor awal Mei di Rwanda.
Ribuan penduduk terpaksa mengungsi dari desa-desa yang terendam air. Sebanyak 5.000 rumah penduduk, 17 ruas jalan, 26 jembatan penghubung, dan sebuah rumah sakit dikabarkan rusak berat.
Banjir datang ketika penduduk mengharap hujan demi menyudahi kekeringan berkepanjangan. Negeri pegunungan yang acap dijuluki "negeri seribu bukit" itu adalah salah satu negara berpenduduk terpadat di dunia.
Kerentanan di Rwanda bersumber pada penggundulan hutan demi menggenjot pertanian yang menghidupi 65 persen penduduk, lapor Program Pembangunan PBB (UNDP). Akibatnya, lahan subur rentan mengalami erosi.
Bencana diperparah perubahan iklim
Di seluruh dunia, ilmuwan mencatat peningkatan angka bencana alam yang diperkuat krisis iklim sebanyak 134 persen antara 2000-2023, menurut UNDP. Dan Rwanda berada di kawasan yang tergolong paling rentan.
"Seluruh kawasan terlihat seakan baru saja dilintasi sebuah tornado," kata Simone Schlindwein, wartawan di ibu kota Uganda, Kampala. "Desa-desa hanyut terbawa banjir. Situasinya sangat parah," imbuhnya.
Richard Munang, Wakil Direktur Afrika di badan lingkungan PBB (UNEP), meyakini kenaikan rata-rata temperatur menciptakan kondisi yang ideal bagi cuaca ekstrem. Menurutnya, kenaikan suhu di Afrika "lebih cepat dua kali lipat ketimbang rata-rata dunia" sebesar 1,1 derajat Celsius.
"Suhu rata-rata di Afrika Timur saja meningkat 1,7 derajat Celsius," kata dia. "Ini berarti konsekuensi pemanasan global, termasuk curah hujan ekstrem, akan terus bereskalasi."
Solusi pada manajemen lingkungan
Pada 2021, Presiden Rwanda Paul Kagame berjanji merespons maraknya becana alam dengan antara lain melakukan renaturalisasi.
"Di Rwanda, perubahan iklim sudah tiba dengan curah hujan yang tinggi dan bencana banjir," kata dia kepada media. "Perubahan ini juga berdampak pada pertanian. Kami merespons dengan berinvestasi pada manajemen sumber air, restorasi area tangkapan air, dan kawasan basah."
Penghijauan kembali dan perlindungan hutan termasuk area yang harus diperhatikan, kata Damascene Gashumbla, Direktur REDO, sebuah LSM Rwanda. Menurutnya, penanaman pohon bisa mencegah erosi tanah dan mencegah bencana longsor.
Erosi tanah di Rwanda tidak hanya mengancam keragaman hayati, tapi juga lahan pertanian. Setiap tahun, area pertanian di Rwanda kehilangan hampir 600 juta ton tanah akibat longsor, terutama di kawasan perbukitan.
Gangguan pada siklus panen akibat curah hujan ekstrem bisa memperkuat potensi "bencana kelaparan," kata Gashumba.
"Pemerintah Rwanda terlalu fokus pada adaptasi dan ketahanan terhadap perubahan iklim, tapi itu saja tidak cukup," imbuhnya, merujuk pada minimnya bantuan mitigasi dari negara-negara industri maju.
Ketahanan kolektif di Rwanda
Salah satu solusinya sedang dikerjakan di sebuah dataran tinggi di utara Rwanda. Di sana, proyek Green Gicumbi melatih petani mengembangkan metode pertanian yang lebih tahan banjir atau kekeringan.
Proyek yang dibiayai Dana Iklim Dunia melalui pemerintah Rwanda itu berlokasi di kawasan tandus yang kembali dihijaukan dengan membangun sengkedan dan kolam air untuk musim kemarau.
"Panen tahun ini akan menjadi keajaiban," kata Jacqueline Nyirabikari, seorang petani yang terlibat. "Lahan ini sebenarnya tidak bisa lagi dipakai. Tapi sejak ada proyek ini, krisis iklim tidak lagi menghalangi kami untuk bercocok tanam."
Kendati demikian, Richard Munang dari UNEP mewanti-wanti solusi berkelanjutan tetap tidak ampuh jika warga dan pelaku bisnis di Rwanda masih "mengeringkan lahan basah seperti rawa dan daerah tampungan air di sekitar kota-kota."
(rzn/hp)