Pada hari-hari menjelang Presiden Abdurrahman Wahid makzul, 2001, saya sedang bekerja di Kantor Berita Radio 68H (KBR). Media ini didirikan oleh Institut Studi Arus Informasi (ISAI), sebuah organisasi nonpemerintah (Ornop) yang berkantor di wilayah Utan Kayu, Jakarta Timur. Selain ISAI, beberapa individu urun modal bagi perseroan terbatas kami. Mereka mengalokasikan bagian terbesar kepada koperasi karyawan, sehingga pekerja memegang saham mayoritas perusahaan.
Wartawan menikmati suasana kerja yang aduhai: kebebasan redaksi, debat, fasilitas kesehatan (termasuk gigi dan kaca mata), dapat dua tunjangan hari raya (Idulfitri dan Natal), dan program dana pensiun. Wartawan dapat mengusulkan liputan ke mana saja. Biasanya proposal diseleksi melalui debat dalam rapat dan grup surat elektronik. Manajemen mendorong pula karyawan untuk berserikat.
Pada hari-hari tegang akibat konflik elite, 2001, itu KBR berjaring dengan lebih dari 500 stasiun radio. Manajemen mengelola sumber pendanaan dari berbagai sponsor tak mengikat dan kerja sama pemasaran. Namun, iklan komersial jarang masuk. Ini bikin gelisah. Manajemen ingin tampil layaknya media kebanyakan yang mengandalkan pemasukan dari iklan komersial. Saya tak tahu apa sebabnya. Seorang kerabat yang bekerja di perusahaan periklanan besar di Jakarta pernah mengatakan: Radio kamu terlalu LSM, Bung!
Saya hanya bisa menduga-duga artinya. Kalau saja si kerabat berkata, tongkrongan kamu terlalu Slank, saya bisa memastikan bahwa maksudnya saya terlalu cuek berpakaian, berambut gondrong, dan suka bicara tanpa basa-basi, padahal bisa amat romantis. Seperti Poison yang bisa menelurkan lagu Every Rose Has Its Thorn. Tapi terlalu LSM, apa maksudnya?
Tiga Tegangan
LSM, kita tahu, kependekan dari Lembaga Swadaya Masyarakat. Istilah ini datang dari pemerintah Orde Baru melalui Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU No. 4/1982). Kelompok-kelompok pembangkang tak peduli dengan istilah resmi itu dan tetap menyebut diri: Ornop.
Mansour Fakih, doktor ahli pendidikan lulusan University of Massachusetts, AS, menyebut ada tiga tipe Ornop (zaman itu). Pertama, kelompok konformis, yakni mereka yang berkelompok dengan niat baik untuk memberi bantuan karitatif (charity) kepada masyarakat.
Tipe kedua adalah kaum reformis yang mendampingi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan melalui pelatihan keterampilan. Tipe terakhir ia beri nama kelompok transformis yang bertujuan melakukan perubahan sosial (transformasi). Itu sebab, transformis turun ke golongan masyarakat yang mengalami penindasan oleh kekuasaan. Mereka melakukan: Pendampingan hukum bagi korban pembangunan, pendidikan politik, penyelidikan atas praktik kesewenang-wenangan penguasa (pusat atau lokal), dan mobilisasi aksi protes. Dari rencana pembangunan waduk Kedung Ombo (1985) hingga rencana pembangunan waduk Bener Purworejo (2022), Ornop ketiga ini yang sering berhadapan dengan negara.
Meski berbeda paradigma dan karakter aksi, ketiganya termasuk unit-unit dalam masyarakat sipil (civil society). Istilah masyarakat madani sering digunakan sebagai padanan masyarakat sipil, terutama setelah diucapkan Anwar Ibrahim saat berpidato dalam Festival Istiqlal, di Jakarta, 1995.
Apa tepatnya pengertian masyarakat sipil dan bagaimana ia diekspresikan, sering kali ditentukan oleh spektrum ideologi pengucapnya. Penentu perbedaan lainnya ialah sejarah dan konteks kehidupan sosial dan ekonomi di tiap-tiap negara (Edward 2008, 3), tetapi sebagaimana dilihat oleh Hegel, beradanya terpisah dari negara (DeLue dan Dale 2021, 230).
Dalam arena demokrasi, masyarakat sipil berada dalam interaksi tegangan dengan masyarakat ekonomi (economic society) dan masyarakat politik (political society). Pada pembagian ini, aktivitas masyarakat sipil berupa inisiatif-inisiatif pemajuan hak-hak sipil, toleransi, kesetaraan gender, orientasi seks, kesehatan, pendidikan, budaya, lingkungan hidup, perdamaian (lokal atau nasional), orang tua, disabilitas, hingga aktivitas hobi. Adapun masyarakat ekonomi, sesuai namanya, diwakili oleh lembaga-lembaga keuangan serta bisnis dan kewirausahaan berskala besar.
Pada ruang politik, diisi oleh elite pemegang/pemengaruh kekuasaan dan koalisi partai politik pemenang pemilu, yang secara langsung atau tidak menentukan interaksi pengambilan keputusan melalui aturan-aturan hukum dan birokrasi negara (J. Linz dan Stepan 1996, 7-15).
Harmoni tiga society itu terjadi manakala kepentingan tiap-tiap mereka dapat diselenggarakan. Kondisi yang sering disebut sebagai kebaikan bersama. Namun, agaknya secara teori pun kondisi itu layak disebut jauh panggang dari api.í Di dalam tiap-tiap gugus selalu berpotensi memiliki tegangan masing-masing berangkat dari perbedaan kepentingan yang ada.
Pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berada dalam masa transisi dari otoritarian Orde Baru ke tatanan demokrasi. Gus Dur secara radikal mendahulukan agenda depolitisasi militer, memberi ruang kebebasan sipil secara luas, dan agenda-agenda lain yang semasa pemerintahan Orde Baru diusung oleh organisasi nonpemerintah dan gerakan mahasiswa. Gus Dur lalu jatuh, akibat benturan di dalam masyarakat politik.
Saya menunggu si kerabat mengulang frasa yang pernah ia sampaikan, ìitu pemerintahan terlalu LSM, Bung, tapi tidak (belum) terjadi.
Mempromosikan Arsiran
Negara kerap diinginkan menjadi penengah benturan kepentingan di dalam dan antara masyarakat sipil-politik-ekonomi. Entah negara semacam itu dipimpin oleh filsuf raja-nya Platon atau raja ideal dalam perspektif Hegel.
Namun, kita mestinya telah lama menyadari bahwa negara yang telanjur menempatkan diri menjadi penentu kepentingan muskil untuk berdiri sebagai penengah. Suatu 'hil yang mustahal' (meminjam Srimulat), sekalipun negara dikelola oleh pemerintahan Uni Politisi-Pengusaha-aktivis Ornop/LSM.
Demokrasi menganjurkan negosiasi dan mediasi untuk mengurai dan mengurangi tegangan. Dalam kehidupan sehari-hari, relasi antara masyarakat politik-ekonomi; ekonomi-sipil; sipil-politik, memunculkan arsiran-arsiran konkret.
Organisasi-organisasi nonpemerintah senantiasa muncul sebagai arsiran dari tiap dua relasi yang terjadi. Ia bisa berupa kelompok-kelompok penekan dari pelbagai isu, asosiasi-asosiasi profesi dan serikat-serikat pekerja. Sedangkan arsiran dari relasi masyarakat sipil-politik-ekonomi adalah media massa (Marc Morjé Howard 2003, 37). Tentu media massa yang berpegang pada kaidah-kaidah dan disiplin jurnalisme, dan bukan organ propaganda dari masing-masing society.
Maka, memperketat ruang gerak dan mengurusi jeroan Ornop terlalu dalam dengan dalih administrasi bukan opsi yang layak dipikirkan. Proyek ini berpeluang melemahkan masyarakat sipil. Kendati semua kita memahami bahwa dalam masyarakat sipil dapat pula muncul potensi-potensi bahaya, semisal kemunculan kelompok-kelompok intoleran. (Lihat, misalnya, Sisi Gelap Demokrasi: Kekerasan Masyarakat Madani di Indonesia oleh Sidney Jones, 2015).
Namun, mereka juga dapat dipandang sebagai masyarakat nonmadani atau ë(un)civil society seperti ditunjukkan Beittenger-Lee (2010), sehingga pendekatan keamanan dapat dipikirkan menjadi pilihan sepanjang anjuran-anjuran dan aksi-aksi kekerasan mereka lakukan.
Lagi pula potensi bahaya juga muncul dari laku dan retorika megalomania, sauvinis dan xenofobia masyarakat politik; atau favoritisme, proteksionisme bisnis besar, dan konglomerasi keluarga plus primordialisme dalam masyarakat ekonomi. Pembiaran perilaku menyimpang dari masyarakat politik dan masyarakat ekonomi di satu sisi, dan memasuki dapur masyarakat sipil secara berlebihan, adalah upaya meretas demokrasi.
Selain administrasi, keselamatan pegiat-pegiat Ornop utamanya di lapangan penegakkan hak azasi manusia juga terancam. Media massa melaporkan beberapa aktivis mengalami kriminalisasi, peretasan perangkat komunikasi, pembunuhan karakter, hingga serangan fisik. Lemahnya perlindungan terhadap para aktivis itu menunjukkan tiadanya penghargaan negara terhadap Deklarasi PBB tentang Pembela HAM (UN Declaration on Human Rights Defenders).
Hampir lima tahun setelah kembali menjadi bagian dari masyarakat sipil, Gus Dur datang lagi ke Utan Kayu. Ini kali, ia menjadi narasumber utama dalam siaran langsung Kongkow Bareng Gus Dur. Ia mempromosikan inklusivitas, keterbukaan, juga kritik termasuk ke dalam masyarakat sipil, tanpa menganjurkan pembatasan. Ia hadir saban Sabtu, hingga menjelang wafatnya.
@airlambang, penulis dan bekas tuan rumah Kongkow Bareng Gus Dur
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.