Demonstrasi Para Biksu Myanmar; Merkel Terima Dalai Lama
24 September 2007Menyangkut protes para biksu di Myanmar setelah penguasa militer menaikkan harga bahan bakar, harian TAGES-ANZEIGER di Zürich menulis: "Senjata biasanya dilawan dengan senjata yang lebih baik, lebih cepat dan lebih mematikan. Itu banyak dimiliki penguasa militer di Myanmar. Tetapi dengan apa doa bisa dilawan? Para biksu muda yang bertelanjang kaki berhadapan dengan militer bersenjata lengkap. Para biksu mengatakan akan terus berbaris dan berdoa sampai militer yang berkuasa ambruk. Para jendral masih membisu. Menunggu, bimbang, hampir tak berdaya."
Harian Belgia LE SOIR yang terbit di Brussel mengemukakan: "Bagaimana akhir revolusi ini? Ada yang mengingat pembantaian tahun 1988 ketika militer melepaskan tembakan ke arah demonstran dan para biksu, setelah sebelumnya demonstrasi dibiarkan terjadi berhari-hari. Yang berbeda hanya kaitannya dengan luar negeri. Bahkan Cina sebagai sekutu Myanmar, sudah menunjukkan sikap tidak sabar. Jadi kalau Myanmar sekarang menggunakan senjata, maka dukungan minim yang masih ada baginya pun dapat lenyap."
Sementara harian LA CHARENTE LIBRE di Angoulême barat daya Prancis berpendapat: "Penguasa militer selama ini bisa memperhitungkan dukungan Cina dan Rusia dan dapat mengeluarkan veto dalam Dewan Keamanan PBB. Sidang umum PBB minggu ini di New York hendaknya menangani masalah Myanmar yang memberikan dukungan konkrit bagi pihak oposisi. Kalau tidak, revolusi damai yang dicetuskan oleh para biksu itu akan dapat berakhir dengan pertumpahan darah."
Kita beralih tema. Kanselir Angela Merkel tetap menerima Dalai Lama di kantor kekanseliran, walaupun Beijing melancarkan kritik tajam. Kementrian Luar Negeri Cina memanggil dutabesar Jerman dan sebuah simposium Jerman Cina menyangkut soal hukum yang sedianya diselenggarakan di München, dibatalkan secara mendadak. Sikap tegar Kanselir Merkel umumnya mendapat tanggapan positif di dalam dan luar negeri. Harian CORRIERE DELLA SERA di Milano, Italia mengulasnya sbb: "Merkel tidak goyah, walaupun ada anjuran sebaliknya dan ia tidak mempedulikan tekanan politik dari Beijing. Berbeda dengan para kepala pemerintahan lainnya kanselir Jerman menunjukkan sikap yang sesuai dengan apa yang selalu dia tandaskan: HAM –dalam hal ini di Tibet– tidak boleh dikorbankan demi harapan ekonomi di pasaran Cina."
Sebaliknya harian DER STANDARD yang terbit di Wina memberikan penilaian kritis: "Kepentingan ekonomi di Cina jauh lebih penting dari 'romantika Tibet' seperti yang ingin dipacu oleh mantan guru Dalai Lama, Heinrich Harrer atau aktor AS Richard Gere. Apa yang disebut sebagai pertemuan pribadi untuk bertukar pendapat dengan Kanselir Merkel atau kanselir Austria Gusenbauer, hanyalah sekedar basa basi belaka demi hati nurani umum. Menjelang penyelenggaraan Olympiade 2008, protes dari Cina tidak akan menimbulkan krisis besar dengan dunia barat. Tetapi Cina sudah selalu dapat memperhitungkan kelenturan pemerintahan di UE."
Harian AUGSBURGER ALLGEMEINE memuji Merkel: "Tentunya tidak boleh terjadi, bahwa kepala pemerintahan Jerman harus meminta ijin dari Cina, siapa yang dapat menjadi mitra biacaranya. Apalagi itu menyangkut seseorang yang cinta damai. Mungkin saja ada bisnis milyaran yang ditangguhkan atau batal. Tetapi itu harga yang memang harus dibayar bila kita membela kebebasan."
Terakhir, harian OSTSEE-ZEITUNG yang terbit di Rostock, menonjolkan sikap konsekuen Merkel dalam soal HAM: "Ciri-ciri Merkel pastilah sudah dirasakan oleh pemimpin negara-negara lain. Presiden Bush, menyangkut kondisi di Guantanamo. Presiden Polandia Kaczynski terkait perubahan dalam konstitusi UE. Presiden Rusia Putin dalam soal HAM. Kanselir Jerman tidak bisa diperas dan membedakan tema-tema yang ditanganinya."