Desainer Karpet Peduli Fair Trade
1 Agustus 2011Kath mempekerjakan sekitar 2 ribu orang di negara-negara tersebut. Pemasukannya mencapai 10 juta Euro pertahun. Kliennya termasuk keluarga kerajaan Arab Saudi, raja media Rupert Murdoch, dan bintang rock Anthony Kiedis dari Red Hot Chili Peppers.
Karpet multinasional
Di sebuah gudang bekas pabrik di Bochum, sebuah paket baru saja tiba dari Nepal. Para pekerja dari Mongolia langsung melakukan pengendalian mutu terhadap karpet yang dikirim. "Karpet ini datang dari Nepal. Desainnya pasti Masaka," ujar salah seorang pekerja. Paket dikirim untuk sang desainer karpet, Jan Kath. Salah satu desainer karpet ternama di dunia. Perusahaannya mempekerjakan sekitar 2500 orang untuk membantu Kath mewujudkan seni ke dalam hasil karya buatan tangan.
"Produksi kami kebanyakan di Nepal. Kami bekerja terutama dengan teknik dan bahan mentah dari Tibet. Tepatnya di daerah perbatasan Tibet dengan Nepal. Kami punya bengkel kecil di pegunungan Atlas di Maroko, tempat kami bekerjasama dengan keturunan Berber dan membuat produk-produk yang sangat otentik," jelas Kath.
Kath juga mengandalkan kemampuan teknis luar biasa dari keturunan Mughal di India. Fasilitas produksi lainnya terletak di Thailand. Bahan yang digunakan juga berasal dari berbagai penjuru dunia. Karya tersohor terakhirnya, yakni karpet merah sepanjang 200 meter dengan pinggiran putih serta sulaman tangan, terbuat dari wol Selandia Baru, sutra dan bambu. Karpet yang baru-baru ini mendapat sorotan dunia di bawah kaki pasangan kerajaan Monako.
Perdagangan yang adil
Yang terpenting, Kath selalu mementingkan para pekerjanya untuk mendapat upah yang adil. Kath menjadi salah satu perintis kerjasama dengan organisasi Label STEP di Swiss. Label fair trade atau perdagangan yang adil STEP diberikan bagi pedagang karpet yang menunjukkan komitmen sosial dengan menyediakan kondisi kerja yang layak bagi para pekerja.
Di usia 38 tahun, Kath tampak awet muda. Ia mengakui belajar mengenai karpet dari kakek dan ayahnya yang menjalani bisnis karpet oriental di Bochum pada pertengahan 80-an. Kath bernostalgia, "Kenyataan bahwa saya tumbuh di lingkungan bisnis keluarga, sebagai anak kecil saya menggilai tumpukan karpet. Saya beserta ayah ke Iran menghadiri beragam bazar dan mengunjungi para penenun."
Namun kenyataan bahwa ia kini seorang desainer karpet, datang secara kebetulan. Kath tengah menjalani wisata beransel selama 2 tahun di Asia, saat ia tiba di Kathmandu untuk bertemu dengan seorang penyuplai bagi ayahnya. Penyuplai tersebut mengundangnya minum kopi dan merasa cocok, menjadikan Kath sebagai pengelola perusahaan hingga menyerahkan kunci pabrik secara simbolis seraya berkata, "Ini anak muda, coba lah.. Pameran berikutnya dalam 6 bulan, mulai berpikir dari sekarang."
Sejak itu, Jan Kath menyimpan ide-idenya dalam kepala dan komputer. Berlembar-lembar ide yang berusaha diwujudkan Kath beserta tim hingga tiga kali dalam setahun. "Inspirasinya mulai dari erosi, gambar-gambar satelit. Atau bisa juga bermain dengan material. Contohnya saya banyak bermain dengan serat daun jelatang yang dipadukan dengan sutra. Dua bahan mentah yang sangat bertentangan. Friksi semacam ini menarik bagi saya. Cara menyelaminya tergantung naluri," tukasnya.
Ekspansi pasar
Inspirasi yang ia tuangkan ke dalam karpet-karpet karyanya berhasil merebut perhatian global. Dengan kisaran harga 1300 Euro permeter persegi, kualitas yang ditawarkan ratusan simpul, Kath tetap memandang diri sendiri sebagai seniman dan pengrajin tradisional. Dalam industri yang digelutinya, yang penting bukanlah angka, namun berapa meter persegi. Sekitar 16 ribu meter persegi karpet berkualitas premium dihasilkan para pekerjanya setiap tahun. Pelanggannya mulai dari hotel mewah, kaum selebritas, hingga butik-butik mahal di Perancis.
Tanpa bermaksud arogan, Kath menilai perusahaannya terdepan dalam hal desain tekstil kontemporer. Tentu ini mendatangkan kepuasan tersendiri baginya. Belum lagi tahun ini perusahaannya untuk pertama kali menembus angka penjualan 10 juta Euro. Kini perusahaan Kath memperluas fokus pasar ke Amerika Serikat. Langkah pertama, membuka kantor di New York.
Klaus Deuse/Carissa Paramita
Editor: Ayu Purwaningsih