Deteksi Penyakit Melalui Analisa Suara
7 November 2013Berdekade lamanya perangkat lunak pengenal suara sudah dapat mendeteksi kata-kata dan mengubahnya menjadi teks, atau merespon perintah. Namun sekarang para pengembang menyelam lebih dalam: mereka meneliti kualitas akustik suara untuk mengetahui kondisi medis atau bahkan emosi sang pembicara.
Sebuah peranti lunak tengah dikembangkan untuk mendeteksi apakah seseorang menderita penyakit saraf atau masalah kejiwaan. Bahkan ada apps yang dapat mengetahui apakah seseorang itu lelah, atau depresi.
Sejumlah pakar mengatakan teknologi ini kemungkinan besar dapat diterima dengan baik - tapi tidak semua orang setuju bahwa ini adalah sesuatu yang bagus.
Diagnosa obyektif
Max Little, ahli matematika dan peneliti untuk Institut Teknologi Massachusetts (MIT), telah mengembangkan teknologi analisa suara yang dapat mendeteksi penyakit Parkinson's.
Little dan timnya telah mengumpulkan sampel audio dari orang-orang, yang menderita dan tidak menderita Parkinson, saat berkata "aaah." Kalau suara orang sehat terdengar kuat dan stabil, getaran terdengar pada suara penderita Parkinson
Menggunakan algoritma mesin pembelajaran untuk mendeteksi getaran dalam suara, Little telah mengembangkan model yang dapat mengidentifikasi kualitas suara seseorang yang menderita Parkinson - dengan keakuratan sekitar 99 persen.
Parkinson's Voice Initiative kini mengolah angka dari 17.000 sampel audio yang terkumpul untuk mencoba dan menjawab pertanyaan apakah teknologi ini cocok untuk ponsel.
Little menyebut deteksi Parkinson melalui ponsel "amatlah nyaman dari segi teknologi," karena tigaperempat warga dunia memiliki akses terhadap ponsel. Namun keuntungan lain menggunakan perangkat lunak semacam ini untuk mendiagnosa penyakit adalah menghilangkan subyektivitas manusia.
Tes untuk Parkinson dan penyakit saraf lainnya melibatkan opini pakar klinis. Ini dapat berujung pada jawaban yang berbeda-beda karena berdasarkan penilaian manusia.
Musik otak
Jörg Langner, matematikawan di Rumah Sakit Charité di Berlin, mengambil inspirasi dari musikologi. Ia membuat sebuah model analitis yang membaca enam fitur dalam suara: kenyaringan, artikulasi, tempo, ritme, melodi dan warnanada.
"Semua yang terjadi pada otak mempengaruhi produksi wicara," kata Langner. "Oleh karenanya kami dapat melacak apa yang terjadi pada otak melalui analisa suara wicara."
Riset terkini Langner terkait aplikasi klinis fokus terhadap diagnosa Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada anak-anak.
Berdasarkan analisa suara, Langner menemukan perbedaan ucapan antara anak dengan ADHD dan tanpa, termasuk fluktuasi pada kenyaringan wicara dan melodi.
Tim Langner juga mengklaim berhasil mendeteksi tingkatan depresi. "Ini dapat berguna untuk mencegah tindakan bunuh diri," jelas Langner.
Serba Tahu?
Jarek Krajewski, seorang psikolog di Universitas Wuppertal, telah meriset bagaimana analisa suara dapat digunakan untuk mendeteksi kondisi emosi seseorang.
"Bisa sangat mendasar, seperti amarah, kesedihan atau gembira," tutur Krajewski. "Atau bisa juga sesuatu yang cukup abstrak, seperti kepercayaan diri."
Menurut Krajewski ada ratusan potensi aplikasi, termasuk untuk dunia bisnis, sains, gaming, pemasaran, perawatan kesehatan dan dunia kencan.
Namun Krajewski memperingatkan bahwa teknologi ini juga memiliki risiko.
"Tidak lama lagi mungkin emosi tidak lagi privat di dunia ini," katanya. Pemerintah, perusahaan asuransi, dan lainnya dapat memonitor emosi dan kepribadian, tambah Krajewski, "dan mengambil kesimpulan yang mungkin tidak menguntungkan bagi orang yang dimonitor."