Di Balik Popularitas Pangeran bin Salman di Indonesia
11 April 2022Sebuah lembaga think tank bernama The Lowy Institute meluncurkan hasil survei berjudul "How Indonesians See The World" menyatakan bahwa Mohammed Bin Salman popular di mata 57% orang Indonesia.
Lembaga pemikir kebijakan luar negeri asal Australia tersebut menyelenggarakan survei terhadap sekitar 3.000 responden dari kurun waktu 9 November 2021 sampai dengan 24 Desember di tahun yang sama. Peneliti mengambil sampel dari responden yang berusia 17 hingga 65 tahun di 33 provinsi di Indonesia.
Menanggapi hasil survei ini, Siti Mutiah Setiawati, dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (FISIP UGM) menilai survei tersebut kemungkinan melibatkan lebih banyak responden dari kalangan generasi yang lahir di rentang tahun 1981 sampai 1996 alih-alih generasi sebelumnya. Perubahan sosial yang ditawarkan oleh Mohammed Bin Salman atau kerap disebut MBS oleh media Barat, memang bisa diterima oleh kalangan generasi ini ujar Siti.
MBS berusaha mengubah Arab Saudi yang dikenal konservatif menjadi negara yang mau membuka diri. Sebagai contoh, pangeran mahkota yang lahir pada 31 Agustus 1985, mengizinkan perempuan menyetir kendaraan roda empat sejak tahun 2017. Selain itu, pria yang menempuh pendidikan sarjana hukum di Universitas King Saud ini juga memperbolehkan perempuan mengenakan pakaian sesuai keinginan mereka.
"(Dia) memberi harapan bagi perubahan sosial di Arab Saudi yang sangat konservatif. Kalau dari kacamata kebebasan, ini sangat sesuai dengan repsonden kalangan muda yang menginginkan kebebasan," kata Siti yang memiliki keahlian di bidang politik Timur Tengah.
Citra pangeran muda, kaya, pembawa perubahan
Siti Mutiah Setiawati melihat sosok MBS sebagai orang yang muda, mapan, namun ingin membawa suatu perubahan bagi negaranya. Menurutnya, ini adalah satu nilai yang sangat berbeda dari generasi muda pada umumnya yang ketika sudah mapan akan cenderung tidak kritis.
Dia menilai banyak orang muda terpesona dengan MBS karena kekayaannya. "Kaya, muda, membawa perubahan. Sejauh mana dia mencitrakan demikian yang bukan karena prestasi," kata Siti kepada DW Indonesia.
Berbeda halnya dengan para cendekiawan Timur Tengah lainnya yang karya-karyanya bisa dikenang abadi, Siti mengatakan bahwa putra Raja Saudi Salman bin Abdulaziz dan istri ketiganya, Fahdah binti Falah bin Sultan, ini belum tentu dikenang dalam cukup waktu yang cukup lama.
"(Kepopuleran) MBS hanya sesaat. (Dia) tidak menghasilkan karya yang konkret. Kekaguman sesaat tidak akan lama," ujar Siti.
Persoalan HAM yang belum tuntas
Di tengah kekaguman tersebut, masih menjadi persoalan utama yang membayangi MBS. Salah satunya yakni persoalan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).
Siti Mutiah Setiawati dari UGM mengatakan langkah Arab Saudi memusuhi Yaman juga sungguh memprihatinkan dunia Islam. Sejak 2015, Arab Saudi terlibat dalam konflik Yaman. Perang saudara berkecamuk di Yaman sejak 2014 saat Houthi didukung pemerintah Iran yang beraliran Syiah. Pemeluk agama Islam di Arab Saudi mayoritas beraliran Sunni.
"Ini adalah perkembangan yang kurang menggembirakan dan berimbas pada politik internasional," ujar Siti. Hubungan antara Arab Saudi dan Iran memang tidak harmonis, tambah Siti.
"Di kawasan sendiri saja bergejolak bagaimana memikirkan nasib dunia Islam yang lainnya seperti Rohingya di Myanmar atau Uighur di Cina," kata Siti kepada DW Indonesia melalui sambungan telepon.
Tingkatkan posisi tawar hak pekerja migran
Khusus bagi Indonesia, minimnya perlindungan bagi buruh migran Indonesia (BMI) juga masih membayangi hubungan antara kedua negara. Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care, Anis Hidayah, mengkalkulasikan sekitar satu setengah juta BMI yang bekerja di Arab Saudi dan didominasi perempuan. Para buruh ini di Arab Saudi umumnya bekerja sebagai pekerja domestik.
Arab Saudi termasuk dalam lima negara penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) menurut data resmi yang dikutip DW Indonesia dari Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) periode Januari 2022.
Data tersebut menunjukkan bahwa 165 PMI yang bekerja di negeri petrodollar pada bulan Januari 2022 dari total 6.436 PMI yang tersebar di berbagai negara. Selain itu, BP2MI juga mencatat terdapat 20 pengaduan diterima dari PMI yang bekerja di Arab Saudi dari total 146 pengaduan.
"Mereka memperlakukan TKI tidak selayaknya manusia," tegas Anis seraya menambahkan bahwa sampai hari ini pun Arab Saudi masih melakukan eksekusi hukuman mati. Anis juga menambahkan bahwa angka pengaduan yang diterima Migrant Care tidak menunjukkan penurunan.
Pada tahun 2015, pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Timur Tengah karena belum adanya regulasi yang memproteksi BMI di negara penempatan. Moratorium tersebut merupakan langkah pemerintah Indonesia memberikan perlindungan kepada para BMI.
Negara-negara di kawasan Timur Tengah belum memiliki seperangkat peraturan untuk menyelesaikan masalah pekerja migran. Hal ini merujuk dari tingginya kasus yang menimpa BMI di kawasan tersebut.
Peraturan Menteri Nomor 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia pada Pengguna Perseorangan menyebutkan negara kawasan Timur Tengah yang tidak menerima BMI. Negara-negara tersebut antara lain, Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Kuwait, Irak, Lebanon, Libia, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Sudan, Qatar, Palestina, Suriah, Tunisa, Uni Emirat Arab, Yaman, dan Yordania.
"Pemerintah Indonesia bisa menunjukkan bargain position dengan Arab Saudi. Sebaiknya tidak asal kirim. Bisa menolak bila tidak ada jaminan (perlindungan)," tegas Anis. (ae)