Di Tengah Darurat Iklim, UE Berharap Pada Green Deal
9 Desember 2019Peringatan keras tentang lambatnya menangani kerusakan iklim didapat Ursula von der Leyen di minggu pertamanya sebagai Presiden Komisi Uni Eropa yang baru.
Sebagai pemimpin untuk lima tahun ke depan, salah satu tantangan utama von der Leyen adalah tanggapan dari negara-negara UE terhadap krisis iklim. Seruan dari sejumlah kelompok atas target penanggulangan lingkungan yang lebih ambisius pada tahun 2030 dan seterusnya membuat rancangan Kesepakatan Hijau Eropa yang akan dirilis pada Rabu mendatang (11/12) berada di bawah tekanan besar.
Pada April 2019, sebuah jajak pendapat yang dirilis oleh Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa dan YouGov menemukan bahwa hampir dua pertiga orang Eropa berpendapat "perubahan iklim adalah ancaman utama yang harus diprioritaskan daripada sebagian besar masalah lainnya." Menanggapi keprihatinan mereka dan tekanan dari ratusan juta orang yang turun ke jalan dalam satu tahun terakhir, anggota Parlemen Eropa mengeluarkan resolusi pada 28 November lalu dan menyatakan "darurat iklim dan lingkungan".
Langkah ini akan memberikan tekanan tambahan pada pembuat kebijakan untuk mencapai target lingkungan yang diusulkan UE dan memastikan konsistensi dengan seluruh peraturan UE, dari perdagangan ke pertanian hingga transportasi.
Rancangan Green Deal Menuai Kritik
Langkah Parlemen Eropa mendukung penanganan darurat iklim dengan cara menyerukan Komisi UE "untuk memastikan bahwa semua proposal legislatif dan anggaran yang relevan sepenuhnya sejalan dengan tujuan membatasi pemanasan global hingga di bawah 1,5 derajat Celcius".
Beberapa ahli telah memperingatkan bahwa dunia saat ini tengah menuju peningkatan suhu lebih dari 3 derajat Celcius. Kelompok-kelompok lingkungan menyerukan UE untuk mengurangi emisi karbon dioksida setidaknya 65% pada tahun 2030, sementara target UE yang diharapkan dalam proposal antara 50-55%.
Ketua Komite Lingkungan, Pascal Canfin mengatakan anggota parlemen harus realistis. "Hari ini, jelas tidak ada mayoritas yang mendukung 65%," katanya kepada DW. "Kita perlu menyerang mayoritas, dan mayoritas di parlemen adalah untuk 55%."
Canfin mengatakan prioritas utama untuk Green Deal akan menjadi target yang mengikat secara hukum untuk 2030 dan 2050. Tanpa itu, maka hanya akan menjadi "rencana aksi dan akan dilihat sebagai kemunduran yang mengecewakan."
Baca Juga: Ambisi Perlindungan Iklim Pemimpin Baru Uni Eropa, Ursula von der Leyen
Komisi Eropa tidak akan menanggapi kritik terhadap rancangan agendanya sebelum laporan dirilis. Namun, seorang juru bicara mengatakan kepada DW bahwa komisi tersebut bermaksud untuk menyajikan rencana yang akan membantu Eropa mencapai "ambisi iklim", sementara mendorong tindakan serupa di seluruh dunia. "Kami akan mendorong mitra kami untuk melangkah lebih jauh dan lebih cepat, karena kami akan melangkah lebih jauh dan lebih cepat," kata juru bicara itu.
Uni Eropa perlu 'meningkatkan ambisi'
Direktur Friends of the Earth Europe di Brussels, Jagoda Munic mengatakan kepada DW bahwa masih "terlalu dini" untuk menilai apakah Green Deal akan menjadi dorongan untuk perubahan.
Berdasarkan sebuah laporan yang diterbitkan oleh Badan Lingkungan Eropa (EEA) awal bulan ini, UE siap untuk melewatkan sebagian besar target iklim dan energi 2020. Lebih lanjut, dikatakan bahwa "tanpa tindakan segera selama 10 tahun ke depan" langkah-langkah yang ada menempatkan UE pada jalur untuk mengurangi emisi CO2 hanya 30% pada tahun 2030.
"Dalam lima tahun ke depan kita harus meningkatkan ambisi," tegas Munic. UE perlu memperkenalkan mekanisme untuk memotivasi negara-negara anggota yang enggan menindaklanjuti kebijakan lingkungan, menegakkan aturan, dan peraturan yang ada. ha/hp