Kenapa Banyak Dokter Beremigrasi dari Timur Tengah?
28 Januari 2023Pada pertengahan tahun lalu, seorang pria bersenjatakan pisau dilaporkan menusuk seorang dokter dan sejumlah staf rumah sakit. Insiden di sebuah rumah sakit dekat Terusan Suez di Mesir itu dipicu kemarahan seorang suami terhadap dokter ahlu kandungan, lantaran tidak bisa memastikan tanggal kelahiran bagi anaknya yang sedang dikandung.
Di selatan Tunisia, seorang pasien melempar kursi ke arah seorang dokter muda, dan memaksa dokter perempuan itu mengunci diri di kantornya sampai polisi datang. Dokter perempuan itu sebelumnya memerintahkan sang pasien mendaftarkan diri di departemen rawat jalan, bukan ke bagian darurat.
Laporan serupa juga muncul di Irak, di mana anggota keluarga terbiasa menemani pasien ke rumah sakit. Di sana, dokter acap melaporkan munculnya tindak kekerasan dari keluarga, terutama jika kondisi pasien tidak membaik.
Sebuah survei terhadap dokter di hampir semua rumah sakit di Baghdad pada 2021 mencatat sebanyak 87 persen mengaku pernah mengalami kekerasan verbal atau fisik selama enam bulan terakhir. Pada 94 persen kasus, pelaku merupakan pasien atau keluarganya.
Kekerasan di sarana kesehatan merebak
Jajak pendapat lain di Timur Tengah menemukan, antara 67 hingga 80 persen tenaga kerja kesehatan mengaku pernah menjadi korban tindak kekerasan dalam pekerjaannya. Survei juga membenarkan, bahwa dokter muda yang berusia di bawah 40 tahun paling rentan mengalami serangan kekerasan.
Fenomena ini kian meluas selama tiga tahun sejak pandemi corona merebak. Hal ini disimpulkan sebuah survei oleh Dewan Keperawatan Internasional pada 2022 silam. Mereka menemukan adanya "peningkatan frekuensi insiden kekerasan sejak pandemi corona.”
Otoritas kesehatan di Timur Tengah menyepakati, bahwa pandemi menempatkan sistem kesehatan di banyak negara di ambang kebangkrutan dan kolaps. Dampaknya antara lain bisa dilihat pada menguatnya arus emigrasi dokter ke luar negeri.
Sindikat Medis Mesir (EMS), sebuah serikat buruh yang mewakili ribuan dokter, belum lama ini menyimpulkan jumlah dokter yang mengundurkan diri di Mesir pada 2022 silam merupakan yang tertinggi sejak tujuh tahun terakhir.
Tahun lalu, sebanyak 4.261 dokter mengundurkan diri dan mengambil sertifikat internasional yang memungkinkan mereka bekerja di luar negeri.
Ambruknya sistem kesehatan
Asosiasi Medis Turki (TMA) melaporkan pada 2021 sebanyak 1.405 dokter melamar ke luar negeri. Adapun di Tunisia, angkanya mencapai 2.700 dokter pada 2022.
Situasi di Lebanon lebih parah. Pada 2021 lalu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan sebanyak 40 persen dokter telah beremigrasi ke luar negeri. Kisah serupa bermunculan dari Irak, Maroko, Yordania, Iran dan Kuwait.
"Jika menyangkut kekerasan terhadap dokter muda, saya kira penyebab utamanya adalah faktor yang sama seperti yang menggerakkan para dokter ini untuk pergi ke luar negeri,” kata Dr. Omaima al-Hassani, dari asosiasi dokter muda Tunisia.
"Masalahnya adalah minimnya sumber daya, perlengkapan dan staf. Pasien dan keluarganya seringkali mendapati diri dalam situasi yang menyedihkan, terutama di unit layanan darurat.” Semua itu ikut berkontribusi pada eskalasi kekerasan, imbuhnya.
Semakin buruk fasilitas kesehatan di sebuah daerah, semakin tinggi pula angka kekerasan terhadap tenaga kesehatan. "Masalahnya mewabah di sistem kesehatan. Kekerasan ini mendorong dokter untuk pergi, tapi ada alasan lain juga. Jika saya mendapat kesempatan, saya pun akan pergi,” ujar dokter Al Hassani kepada DW.
rzn/as