Ekonomi Belarus Masih Sangat Tergantung dari Rusia
26 Agustus 2020Perekonomian Belarus sering digambarkan sebagai sistem ekonomi terakhir dari era Uni Soviet. Sektor industri dan pertanian masih dikuasai oleh pemerintah, yang memungkinkan negara menjamin pemasokan kebutuhan pokok bagi warganya.
Menurut Bank Dunia, antara tahun 2000 dan 2013 angka kemiskinan di Belarus turun dari 60 menjadi hanya 5 persen, jauh lebih baik dari angka rata-rata untuk kawasan Eropa dan Asia Tengah yang mencapai sekitar 14 persen. Bahkan dalam hal ketimpangan antara kaya-miskin, kondisi di Belarus masih lebih baik daripada di Rusia dan Ukraina.
"Bagaimanapun, model ekonomi ini sudah ketinggalan zaman dan tidak efisien," kata ekonom Klaus-Jürgen Gern dari Kiel Institute for the World Economy kepada DW. Dia menekankan bahwa reformasi yang mendalam diperlukan untuk memodernisasi ekonomi Belarus. Namun dia meragukan, apakah reformasi besar bisa terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Alexander Lukashenko.
Ketergantungan besar dari Rusia
Kebergantungan Belarus pada Rusia yang kaya energi semakin terbukti ketika krisis politik meluas setelah panitia pemilu mengumumkan kemenangan besar Presiden Alexander Lukashenko pada pemilu 9 Agustus. Kubu oposisi menuduh pemerintah memanipulasi hasil pemilu. Sulit mengonfimasikan hasil pemilu, karena tidak ada pengamat asing yang diizinkan melakukan pemantauan. Uni Eropa baru-baru ini menyatakan menolak hasil pemilu itu.
Lebih dari 46 persen barang Belarus diekspor ke Rusia, dan hanya 24 persen yang diekspor ke Uni Eropa. Rusia juga merupakan mitra impor utama bagi Belarus, dengan lebih dari setengah barang dan jasa yang masuk ke negara itu setiap tahun. Rusia juga merupakan kreditor terbesar dengan memegang hampir 38% utang luar negeri Belarus.
Dukungan utama dari Moskow adalah subsidi energi yang sangat besar, yang memungkinkan Belarus mengimpor minyak mentah Rusia dengan harga jauh di bawah harga pasar. Belarus kemudian bisa mengolah dan menjualnya di pasar internasional. Kesepakatan serupa juga dibuat untuk bahan bakar gas, yang dikirim dari Rusia melalui jaringan pipa dari era Soviet.
Tantangan besar bagi kepemimpinan baru mana pun
Presiden Rusia Vladimir Putin telah memerintahkan penghapusan subsidi energi untuk Belarus secara perlahan-lahan pada tahun 2024, jika Belarus tidak menjalin penyatuan ekonomi dan politik yang lebih jauh dengan Rusia.
Presiden Belarus, Alexander Lukashenko, sejauh ini menolak integrasi lebih jauh. Pada awal taun ini, Moskow menghentikan untuk sementara pasokan minyak mentah ke Minsk, yang menyebabkan penurunan produksi minyak Belarus sampai 16 persen.
"Subsidi energi adalah alat Rusia untuk terus-menerus menekan Belarus," kata Klaus-Jürgen Gern.
Ancaman kehilangan sekitar 13 miliar dolar AS per tahun dari pendapatan ekspor minyak adalah beban besar bagi setiap pemerintahan baru yang dibentuk jika Lukashenko tidak lagi berkuasa. Siapapun yang menggantikannya, harus bisa merawat hubungan dengan Rusia, sembari membangun hubungan baru dengan Uni Eropa.
Krisis ekonomi dan mata uang membayangi
Ekonomi Belarus diperkirakan akan berkontraksi sebesar 2 persen tahun ini karena pandemi virus korona, menurut Bank Dunia. Sedangkan Rusia juga masih berjuang menghadapi dampak pandemi, sebagai negara keempat yang paling terpukul oleh corona, setelah Amerika Serikat, Brasil, dan India.
Nilai tukar mata uang Rubel Belarus terhadap mata uang Euro sejak awal tahun anjlok sampai 30 persen, dan kemungkinan akan terus melemah dengan tidak adanya stabilitas politik.
Bank Sentral Belarus sudah memastikan tidak akan menerapkan kontrol modal dan mata uang untuk mencegah depresiasi rubel. Anggota dewan bank sentral Dmitry Murin mengatakan langkah itu bersifat kontraproduktif. Tetapi banyak pelaku ekonomi yang mulai menarik uangnya keluar dari Belarus.
"Ada arus keluar simpanan selama dua minggu terakhir yang menyebabkan masalah besar bagi bank," kata Dzmitry Kruk dari Pusat Penelitian IPM yang berbasis di Minsk kepada DW. Dia mengatakan risiko gejolak keuangan "meningkat" dan setiap pemogokan jangka panjang di pabrik-pabrik besar akan merugikan perekenomian negara.
(hp/rzn)