Eropa Kian Prioritaskan Pejalan Kaki dan Pesepeda
7 Juni 2023Groningen adalah surga bagi pesepeda. Di kota berpenduduk 240.000 jiwa di utara Belanda itu, cuma segelintir kendaraan bermotor yang terlihat lalu lalang. Sebagian besar warga sebaliknya lebih suka memanfaatkan jejaring jalur sepeda yang luas dan menjalar di negeri kincir angin tersebut.
"Pada dekade 1970an, pusat Kota Groningen tampak sangat berbeda dibandingkan hari ini," kata Roeland van der Schaaf, pensiunan ahli tata ruang Belanda, ketika mengenang masa mudanya. "Kita memutuskan untuk membagi pusat kota menjadi empat bagian, di mana mustahil untuk berpindah dari satu bagian ke bagian lain dengan mobil, hanya bisa dengan sepeda atau berjalan kaki."
Van der Schaaf mengklaim Groningen termasuk kota pertama di Eropa yang membatasi lalu lintas kendaraan bermotor dan memprioritaskan mobilitas manusia di pusat kota. Hari ini, kota itu termasuk berpenduduk paling bahagia sedunia.
"Kami tanyakan kepada warga, jalan seperti apa yang mereka inginkan, bukan di mana mereka ingin memarkir kendaraan," kata dia. "Kebanyakan ingin agar jalan kota bisa digunakan anak-anak untuk bermain, berpohon rindang, dan menjadi ruang sosial untuk bercengkrama dengan tetangga."
Tren kota ramah manusia
Sejak sepeda merajai jalan-jalan Kota Groningen, angka kecelakaan lalu lintas anjlok drastis, meski hanya segelintir pesepeda yang mengenakan helm pengaman. Ongkos transportasi juga semakin murah, dengan dibangunnya infrastruktur peminjaman atau penyimpanan sepeda, selain transportasi publik yang memadai.
Resep serupa kini ditiru oleh kota-kota lain di Eropa, terutama Barcelona dan Paris. Kedua kota di Spanyol dan Prancis itu giat menutup jalan bagi kendaraan bermotor sejak pandemi COVID-19, demi memprioritaskan pejalan kaki dan pesepeda.
Namun begitu, tren ini dibarengi penolakan sengit pengendara mobil, yang keberatan pada penutupan jalan atau lahan parkir di pusat kota. "Apa yang kita lihat di balik semua perubahan ini adalah bahwa warga mulai memberontak. Dan kita harus menanggapi keluhan mereka secara serius," kata Marco de Brommelstroet, Guru Besar Mobilitas Urban di Universitas Amsterdam.
"Mereka memberontak karena mereka merasa dirugikan," imbuhnya. Namun dia mengakui, dominasi kendaraan bermotor di pusat kota melanggar hak pengguna jalan yang lain. "Terutama anak-anak telah kehilangan kemerdekaan mereka sejak beberapa dekade terakir, tapi suara mereka tidak didengar."
Jalan tengah mobilitas perkotaan
Brommelstroet menilai perdebatan sengit seputar hak pengguna jalan saat ini menyerupai diskursus nasional di Belanda pada dekade 1970 dan 80an. Saat itu, sejumlah kota kecil di Belanda mulai membatasi lalu lintas kendaraan bermotor di pusat kota. Pengalaman tersebut dinilai menyiratkan harapan, bahwa perubahan serupa bisa dilakukan di kota-kota lain di dunia.
"Kita masih harus mengalokasikan lalu lintas kendaraan bermotor bagi warga yang benar-benar membutuhkannya. Tapi Anda tidak lagi punya kebebasan untuk berpergian ke pusat kota secepat mungkin dengan kendaraan pribadi," kata dia.
"Tapi bagi banyak orang lain dan termasuk pengendara mobil sendiri, keuntungan yang didapat jauh lebih besar. Kita harus mendengarkan suara mereka yang tidak punya pilihan, mayoritas senyap yang selama beberapa dekade terakhir telah dirugikan," imbuh Brommelstroet.
Frans Timmermans, Komisioner Iklim Uni Eropa, menyebut tren tata kota ramah manusia sebagai sebuah "revolusi" yang dimungkinkan oleh pandemi. Kewajiban bekerja di rumah yang ikut mengosongkan jalan-jalan kota, mendorong pemerintah mengkaji ulang penggunaan jalan. Kebijakan yang awalnya diniatkan untuk sementara waktu itu kini menjadi permanen di banyak tempat.
Februari lalu, Parlemen Eropa secara aklamasi menyetujui rencana menggandakan jumlah kilometer jalur sepeda selambatnya hingga 2030. Komisi Eropa menindaklanjuti dengan mendeklarasikan tahun 2024 sebagai Tahun Bersepeda di Eropa.
(rzn/hp)