Femisida: Gelombang Kekerasan Baru Guncang Turki
17 Oktober 2024Sekitar 300 perempuan muda berkumpul di Kadiköy, Istanbul, Turki untuk memprotes tambah gencarnya pembunuhan terhadap perempuan dan anak perempuan. Aksi tersebut diserukan oleh Federasi Feminis Muda.
4 Oktober lalu, seorang remaja berusia 19 tahun menikam sampai mati dua orang perempuan muda, kemudian memenggal mereka. Pembunuhan kedua ia lakukan pada Tembok Konstatinopel, sebuah benteng dari abad ke-5. Setelah itu ia bunuh diri di depan banyak pejalan kaki.
Sepekan sebelumnya, seorang polisi perempuan muda tewas saat menjalankan tugas. Agustus lalu, kasus menghilangnya seorang murid perempuan membuat seluruh negeri tegang beberapa minggu. Akhirnya tubuhnya ditemukan di sungai di bagian selatan Anatolia.
Di beberapa stasiun televisi dilaporkan berkali-kali dalam sehari rangkaian kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan. Hasil jajak pendapat menunjukkan ketakutan perempuan muda dan kepanikan orang tua jika anak perempuannya terlambat sampai ke rumah.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
"Kekerasan terhadap perempuan bukan hal baru, tapi sekarang sudah memasuki dimensi baru", kata Esin Izel Uysal, pengacara wadah Kami Akan Hentikan Femisida. Kekerasan makin brutal, kata Uysal, dan pelaku serta korbannya semakin muda.
Masyarakat berdiskusi soal kekerasan yang kian meningkat
Kelompok itu sudah mencatat 295 pembunuhan dan 184 kasus kematian yang mencurigakan dalam sembilan bulan terakhir. 2023 terjadi 315 pembunuhan dan 248 kasus mencurigakan. Kategori "kematian mencurigakan" diberikan misalnya untuk kasus di mana perempuan jatuh dari balkon atau jendela, tanpa alasan jelas, dan katanya bunuh diri.
Menurut Uysal, kasus kematian yang mencurigakan meningkat drastis. Antara 2017 dan 2023 jumlahnya naik 82%. Kekerasan biasanya terjadi di rumah, tetapi di jalanan juga semakin sering. Biasanya pelakunya adalah pacar, mantan pacar atau anggota keluarga. Tahun ini 65% pelaku pembunuhan mengatakan, penyebabnya adalah karena si perempuan ingin pisah, atau menolak menjadi partner atau menjadi istri.
Para feminis muda mengatakan, sistem partriarki yang mencegah terbentuknya kesetaraan hak antara pria dan perempuan menyebabkan kekerasan. Itu juga yang mereka serukan dalam aksi protes di Istanbul. Mereka menuduh pemerintah yang Islam konservatif ikut bertanggungjawab dengan politik keluarga dan perempuan yang mereka lancarkan.
Partai-partai yang berkoalisi di bawah Presiden Recep Tayyip Erdogan kerap menyerukan agar undang-undang perlindungan perempuan dihapuskan. Selain itu, pemberian uang tunjangan setelah perceraian juga harus dibatasi waktunya.
Akibat tekanan kelompok-kelompok ini, 2021 Turki keluar dari Konvensi Istanbul untuk perlindungan dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan serta kekerasan rumah tangga. Langkah itu diambil dengan alasan, kesepakatan dari Dewan Eropa itu mendorong terbentuknya homoseksualitas dan mengancam nilai-nilai keluarga tradisional.
Masyarakat murka karena tidak adanya penghukuman
Menurut Presiden Erdogan, hukum yang berlaku sudah memberikan cukup perlindungan bagi perempuan, tanpa adanya Konvensi Istanbul. Setelah kritik yang tak kunjung henti, pekan lalu ia mengumumkan akan memperketat undang-undang penghukuman.
Banyak aktivis HAM menilai undang-undang hukuman cukup, masalahnya terletak pada penggunaannya. Mereka mengkritik pemerintah, yang dinilai hanya menyasar oposisi politik dalam pengejaran hukum di tahun-tahun lalu, dan tidak menempatkan fokus pada pelaku tindak kekerasan yang berbahaya.
Kenyataanya, pemerintah Turki terutama menyasar kritikus politik sejak upaya penggulingan kekuasaan 2016 lalu. Penjara penuh dengan tahanan politik yang ditahan karena katanya anggota organisasi teroris atau melakukan propaganda teror, atau duduk dalam tahanan selama bertahun-tahun tanpa proses apapun.
Untuk menciptakan ruang di penjara, pemerintah Turki sudah mengubah undang-undang pelaksanaan hukuman beberapa kali. Banyak pelaku kekerasan bebas dari tahanan dengan syarat tertentu. Selama pandemi Corona, pemerintah melepas 100.000 tahanan akibat ancaman infeksi, kecuali tahanan politik. Masyarakat menanggapi praktek ini sebagai situasi tidak adanya hukuman.
Misalnya kasus seorang mantan polisi, yang menculik bekas pacarnya, dan menyiksa perempuan itu berhari-hari. Ia kemudian melepas perempuan itu dengan ancaman agar berhati-hati, karena jika dia tidak bisa memiliki perempuan itu, tidak ada pria lain yang boleh.
Pria berusia 51 tahun itu dijatuhi hukuman penjara dua tahun dan enam bulan. Setelah menjalani hukuman dua bulan di penjara, ia bebas dengan syarat. Ia kemudian kembali mengancam bekas pacarnya, yang menyebarkan permintaan tolong lewat media sosial. Pria itu mengambil tindakan pelarangan penyebaran postingan di media sosial itu, karena katanya melanggar hak pribadinya.
Situasi tidak adanya hukuman itu mendorong pria untuk terus melakukan kekerasan terhadap perempuan, demikian dikatakan aktivis hak perempuan, Esin Izel Uysal. "Karena mereka tahu, setelah beberapa hari atau bulan, mereka akan kembali bebas".
Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman