Forum Hutan Internasional
27 Maret 2011"Sesuatu yang tidak memakan biaya, tidak ada artinya.“ Itu bisa menggambarkan perlakuan manusia terhadap kekayaan alam berupa hutan di bumi ini. Perusakan hutan menyebabkan sekitar seperlima emisi gas rumah kaca, yang dapat menyebabkan perubahan besar iklim bumi. Untuk itu hutan-hutan diperlukan, karena pohon-pohon dan tanah hutan menyerap CO2 dari atmosfir, sehingga hutan berfungsi sebagai paru-paru hijau planet ini.
Tidak Ada Hutan Liar
Di negara-negara industri sudah hampir tidak ada lagi hutan-hutan liar yang asli. Sebagian besar hutan sudah menjadi korban lahan pertanian dan industrialisasi. Di banyak negara beriklim tropis, di mana kelompok etnis asli memelihara dan bersikap hati-hati terhadap hutan yang menjadi ruang hidup mereka, pembalakan dan perampokan hasil hutan terutama dalam lima dasawarsa terakhir menyebabkan pembinasaan besar-besaran. Ini tidak hanya menyebabkan kebinasaan keanekaragaman hayati yang belum ada sebelumnya, melainkan juga dampak sangat buruk bagi iklim.
“Kita harus menemukan mekanisme untuk memberikan penghargaan kepada orang-orang yang mengurus hutan hingga berada pada kondisi terlindungi seperti sekarang. Sebaliknya, kesediaan untuk membayar kompensasi bagi perusakan hutan lebih besar, seperti yang dapat ditemukan negara-negara industri,” demikian dikatakan Lars Lövold, direktur yayasan perlindungan hutan tropis di Norwegia.
Mendapat Uang dengan Cepat
Pohon-pohon tropis yang sangat berharga ditebang untuk mendapat uang dengan cepat. Lahan hutan yang sangat luas dimusnahkan untuk digunakan bagi ternak, tanaman atau perkebunan, atau juga untuk penggalian bahan mentah seperti minyak. Ekosistem yang rentan dengan keanekaragaman hayatinya dibinasakan, dan tidak akan pernah dapat diperbaiki lagi. Tetapi yang mendapat keuntungan juga ada, yaitu orang-orang yang bertanggungjawab atas perusakan itu.
Lövold menambahkan, "Sampai sekarang orang dihargai, jika menebang pohon dan membalak hutan. Itu menghasilkan uang. Sedangkan kerugiannya tidak pernah dibayar. Melalui REDD akan ada mekanisme untuk memberi hadiah bagi yang melindungi, dan menghukum orang yang merusak hutan.“
Penjualan Emisi
Perundingan mengenai REDD atau Reducing Emissions from Deforestation and Degradation sudah dimulai Desember 2007 lalu dalam KTT soal iklim di Bali. Ide dasar yang dirumuskan adalah: negara-negara industri, yang menghasilkan emisi gas rumah kaca terbesar membayar negara-negara berkembang bagi pembersihan CO2, yang dilakukan hutan-hutannya bagi planet bumi. Jadi pada dasarnya, uang harus ada, jika hutan-hutan ingin dilestarikan. Itu menyangkut uang dalam jumlah sangat besar, karena perdagangan emisi dapat mencapai 30 milyar Dollar per tahun. Demikian perkiraan PBB.
Masalahnya sekarang, pertanyaannya belum terjawab, siapa yang memiliki hutan. Jika uang yang terkait sebesar itu, banyak pihak yang merasa memiliki hak atas hutan dan kegunaannya. Negara, tuan tanah besar dan perusahaan-perusahaan sudah berusaha untuk memaksakan tuntutan mereka terhadap, misalnya, kelompok etnis asli.
Banyak organisasi lingkungan memperingatkan, bahwa peraturan CO2 semacam itu dapat dengan mudah berkembang menjadi perdagangan semata, sedangkan tujuan sebenarnya dilupakan. Misalnya, perusahaan-perusahaan energi besar membeli hak menghasilkan emisi CO2, dengan cara membayar uang untuk perlindungan hutan. Tetapi mereka tetap mengoperasikan pembangkit listrik tenaga batu bara tanpa menggunakan filter yang memadai.
Itu tidak boleh terjadi, demikian ditegaskan Christoph Thies dari organisasi perlindungan alam Greenpeace, "Itu situasi yang paling gawat. Itu harus dicegah. Oleh sebab itu, solusi harus diambil sesuai keadaan sesungguhnya. Pada dasarnya harus ada pembiayaan umum, yang berdasarkan prinsip yang mudah digunakan. Yaitu berapa batu bara dieksploitasi dan disimpan, juga sebanyak apa kegunaan tambahan yang dicapai dengan memperhitungkan biodiversitas dan kegunaan sosial bagi masyarakat di daerah bersangkutan.“
Definisi Hutan
Perundingan REDD internasional tentang perlindungan hutan yang berlangsung selama KTT di Cancun, Meksiko tahun lalu, memang berhasil mengatasi beberapa rintangan. Tetapi sampai saat ini, baik dalam perundingan soal iklim maupun dalam perjanjian tentang keanekaragaman hayati, belum ada kesepakatan tentang definisi yang berlaku secara internasional.
Apa yang bagi satu pihak disebut perkebunan, jadi pertanian monokultur dengan pohon-pohon yang hasilnya dapat dipanen, bagi pihak lain sudah disebut hutan. Bagi Greenpeace sudah jelas, yang disebut hutan adalah sebuah ekosistem yang alami, yang didominasi pohon dan memiliki keanekaragaman hayati.
Definisi lainnya tidak dapat diterima, demikian dikatakan Christoph Thies, seraya menyebutkan alasannya, "Itu bukan saja bencana bagi banyak jenis hewan dan tumbuhan yang tergantung hidupnya pada hutan-hutan tersebut. Untuk manusia juga, yang cara hidupnya tergantung pada hutan, baik masyarakat asli daerah itu atau bukan. Itu juga sebuah penipuan terhadap iklim. Karena tindakan-tindakan yang menyebabkan lebih banyak polusi CO2 pada atmosfir tidak dihindari. Bahkan sebaliknya. Jadi tipu daya seperti itu harus secara meyakinkan dicegah.“
Perundingan mengenai itu terus berlanjut, juga dalam rangka persiapan bagi KTT iklim berikutnya Desember mendatang di Durban, Afrika Selatan. Sementara itu, pembalakan hutan tropis terus berlanjut. Di seluruh dunia, diperkirakan hutan seluas delapan kali lapangan sepak bola dimusnahkan setiap harinya.
Helle Jeppesen / Marjory Linardy
Editor: Ayu Purwaningsih