Frustrasi Kelompok Lapisan Menengah Mesir
23 Januari 2013Mahmud Naguib menulis tema kuliah Bahasa Inggris di papan. 25 Januari 2013, tahun kedua peringatan revolusi Mesir. "Hal apa yang tersirat di benak kalian?“ katanya ke peserta kuliah. "Kacau!“, jawab seorang mahasiswa. "Kurangnya keamanan“, kata yang lainnya. Krisis ekonomi, pengangguran, ketakutan adalah jawaban-jawaban lainnya. "Ada apa dengan kalian? Kalian harus berpikiran positif!“, kata Naguib kepada mahasiswanya. Itu juga dorongan bagi dirinya sendiri.
Makin Banyak Kekerasan, Makin Sedikit Uang
Dua tahun lalu guru Bahasa Inggris itu masih dengan penuh harapan ikut berdemonstrasi di Lapangan Tahrir, yang merupakan tempat lahirnya revolusi. Kini ia memandang realita. "Demokrasi sebenarnya belum kami miliki, tapi kekerasan lebih banyak dan uang lebih sedikit,“ keluhnya. 10 Pound Mesir, kira-kira 15 ribu Rupiah penghasilan Naguib per jam untuk mengajar di institut swasta di ibukota Kairo. Lima hari seminggu. Honor itu jauh lebih besar dari guru yang mengajar di sekolah negeri.
Namun, saat upah sejak empat tahun terakhir tidak mengalami kenaikan, harga-harga bahan pangan, transportasi dan pakaian sejak revolusi rakyat terus melonjak. "Sebelum revolusi saya masih bisa menyimpan sedikit uang untuk modal rumah dan rencana pernikahan. Kini saya harus memakai uang simpanan saya,” kata Naguib. Tanpa pendapatan dari restoran milik keluarga, yang dibaginya dengan tiga saudara laki-lakinya, ia sudah akan terlilit hutang.
Kemiskinan Meningkat Pesat
Kondisi seperti Mahmud Naguib banyak dialami banyak warga Mesir dari kelas menengah. Sebelum revolusi kelompok kelas menengah mengharap hak bersuara lebih besar dalam politik dan kondisi kehidupan lebih baik. Tapi kini ancaman kemunduran ekonomi negara itu mengancam eksistensi mereka. Konjungtur dalam 24 bulan terakhir amat buruk, inflasi meningkat.
Data resminya, sementara ini seperempat lebih penduduk Mesir yang berjumlah 83 juta jiwa hidup dalam kemiskinan. Dua tahun lalu jumlahnya masih 21 persen. Separuh penduduk negara itu harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan biaya kurang dari kira-kira 23 ribu Rupiah per hari. Banyak bisnis kecil dan menengah menghemat besar-besaran, dan sementara ini hampir tidak lagi menerima pekerja.
Lapisan kelas menengah adalah aktor terpenting dalam pemberontakan menentang Husni Mubarak. Justru orang-orang ini sekarang yang paling menderita akibat krisis, kata jurnalis Mesir Mohammed el-Naggar kepada harian ekonomi Al Alam Al Youm.
Upaya Penghematan Membebani Kelas Menengah
Tapi kondisi buruk yang sebenarnya masih belum dialami kelas menengah sepenuhnya. Pakar-pakar di Mesir sepakat, bahwa mereka lah yang akan paling parah terkena dampak upaya penghematan pemerintah. Sejak beberapa bulan Kairo melakukan perundingan dengan Dana Moneter Internasional IMF mengenai kredit sebesar 4,8 milyar dollar AS.
Rincian mengenai perjanjian itu selama ini tidak sampai ke publik. Tapi tampaknya disepakati, bahwa IMF mengajukan syarat bagi Mesir yang dililit hutang tinggi dimana pemerintah menghapus subsidi energi serta meningkatkan tingkat pajak. Kedua tindakan itu secara garis besar dirundingkan di belakang punggung kelompok lapisan menengah. "Di kalangan lapisan menengah Ikhwanul Muslimin hanya punya pendukung sedikit. Karena itu kelompok Islamis tidak akan mempertimbangkan mereka.“ Diperkirakan el-Naggar.
Ikhwanul Muslimin "Hilang Akal"
Amr Adly, ketua bidang keadilan ekonomi dan sosial pada Egyptian Initiative for Personal Rights mengritik, bahwa akibat adanya krisis ekonomi kelompok Islamis “tidak mampu bertindak.” Politik Ikhwanul Muslimin hampir seluruhnya terpusat pada masalah identitas Islam. Masalah-masalah ekonomi mendesak, sebaliknya mereka kesampingkan. Ini membuat guncangnya bisnis kelompok lapisan menengah,” kata Adly.
Selain itu yang memberatkan, kubu liberal dan kiri tidak mampu menyampaikan gagasan baru. Kelompok oposisi utama yang terbentuk akhir 2012 di Mesir, Front Penyelamatan Nasional memang menentang politik ekonomi Ikhwanul Muslimin. Tapi anggota-anggota utamanya selama ini tidak menunjukkan alternatif yang nyata, selain janji-janji dan impian-impian semu.
Juga partai-partai sekuler kebanyakan hanya bereaksi terhadap kejadian-kejadian dengan protes di jalanan. Setelah kudeta yuridis yang dilakukan Presiden Mursi November 2012, justru rakyat sendiri yang menyerukan untuk protes massal. Oposisi hanya menyusul ikut dalam aksi protes yang sedang berlangsung.
"Banyak Perkembangan Positif“
Dua tahun setelah tergulingnya Husni Mubarak, kelompok lapisan menengah Mesir masih menjadi suara terlantang dalam perubahan demokratis di Sungai Nil. Tapi berapa lama mereka dapat bertahan terhadap tekanan pemerintah? Sudah sejak era Mubarak persentase mereka dalam penduduk Mesir, berdasarkan prediksi, makin berkurang, sementara jumlah warga miskin meningkat. Ini memperlemah tatanan kekuatan politik masyarakat. Amr Adyl oleh karena itu memperkirakan "meningkatnya frustrasi kelompok lapisan menengah.“
Bagi Mahmud Naguib, sang guru Bahasa Inggris di Kairo, frustrasi kadang memicu kemarahan. Politisi negara itu tidak menarik pelajaran dari revolusi, tukasnya dengan geram. Sebagai protes atas sikap pemerintah, ia tidak ikut memberikan suara untuk referendum konstitusi baru. Sebelumnya, sejak revolusi ia selalu rajin memberikan suaranya.
Namun ia tidak ingin menyerah. “Revolusi banyak membawa perkembangan positif. Murid-murid saya lebih berminat terhadap politik dibanding sebelumnya. Mereka tahu hak-hak, dan mereka punya visi untuk negara ini,” kata Naguib. “Itu memberi saya harapan.”