Di Pameran Ini Anak Muda Diajak Bebas Memaknai Karya Seni!
29 Januari 2022Galeri Nasional Indonesia dan Goethe-Institut menggelar pameran yang bertema "Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak" yang mulai dibuka pada 27 Januari hingga 27 Februari 2022 di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Pameran ini merupakan pameran temporer luar jaringan (luring) pertama di Galeri Nasional Indonesia setelah lebih dari setahun hiatus selama pandemi COVID-19. Selain di Indonesia, pameran ini juga diadakan di negara lain seperti Thailand yang dikuratori oleh Gridthiya Gaweewong, Singapura (June Yap) dan Jerman (Anna - Catharina Gebbers). Di Indonesia, Grace Samboh menjadi kurator pameran ini. Ia juga terlibat dalam tim kurator Jakarta Biennale 2021.
Pameran ini menampilkan 78 objek buatan 50 seniman yang terdiri dari arsip bersejarah dan koleksi pribadi. Ada pula beberapa karya dari Museum Seni Rupa dan Keramik dan pengelola museum seni.
Lima babak pameran
Seniman yang karyanya ikut dipamerkan antara lain Agus Suwage, Araya Rasdjarmrearnsook, Basoeki Abdullah, Belkis Ayón Manso, Bruce Nauman, Danarto, Dolorosa Sinaga, Emiria Sunassa, Ary "Jimged" Sendy, Käthe Kollwitz, Marintan Sirait, Nguyễn Trinh Thi, Öyvind Fahlström, Siti Ruliyati, Tisna Sanjaya, dan Wassily Kandinsky.
Menurut Grace Samboh, pameran ini menampilkan narasi baru dari kompleksitas koleksi-koleksi dan pertemuan dari karya seni empat institusi yakni MAIIAM Contemporary Art Museum, Singapore Art Museum, Hamburger Bahnhof (bagian dari Nationalgalerie - Staatliche Museen zu Berlin di Jerman), dan Galeri Nasional Indonesia.
"Saya berharap pameran ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada pengunjung untuk dapat memaknai karya-karya di dalamnya, juga narasi sejarah yang menjadi latarnya," kata Samboh kepada DW Indonesia, di Jakarta, Jumat (28/01).
Samboh menjelaskan pameran dibagi menjadi lima babak yaitu tentang Guyub, kemudian kedua tentang Keberpihakan, yang ketiga adalah tentang Kenduri Festivity, yang keempat soal Kekerabatan, dan terakhir: Daya Kekuatan.
Judul Pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" diambil dari salah satu karya berjudul "Paduan Suara yang Tidak Bisa Berkata Tidak" (1997) oleh seniman S. Teddy D yang dipamerkan dalam babak Keberpihakan. Dalam karya tersebut, ditampilkan puluhan kepala ayam berwarna kuning yang berjejer dan muncul di dalam undak-undakan tangga.
Samboh mengatakan karya ini diciptakan pada tahun 1997 menyoroti politik kala itu yang didominasi dengan Partai Golkar. Partai ini memang identik dengan warna kuning dan cenderung berbentuk barisan yang mengeluarkan satu suara.
"Rombongan yang tidak bisa berkata 'tidak' seperti unggah-ungguh dalam kebudayaan Jawa yang hampir tidak mungkin untuk berkata tidak. Padahal kata 'tidak' tersebut ada," ujar dia.
Bebas mengartikan suatu karya
Namun menurut Samboh, sudut pandang kurator bukanlah satu-satunya cara melihat karya seni. Penonton juga bisa mengartikan suatu karya dengan bebas. "Sudut pandang kuratorial bukanlah satu-satunya cara untuk melihat karya, praktik seniman, dan peristiwa yang menggugah seniman untuk berkarya," kata dia.
Di bagian Daya, terpasang dua karya seni pribadi dari Edhi Sunarso berbentuk patung Torso dan karya istrinya, Kustiyah, yakni lukisan berjudul "Torso". Lukisan Kustiyah ini merupakan lukisan dari patung yang dibuat oleh suaminya.
Kemudian, ada juga lukisan "Kakak dan Adik" karya Basuki Abdullah yang terpajang bersama dengan lukisan "Nenek dan Cucu" karya Fadjar Sidik serta "Father and Daughter" dari Bui Suoi Hoa. Ini, menurut Samboh, saling terkait dan terhubung.
Pengunjung pameran juga dapat menyaksikan karya seni instalasi yang dibuat untuk pameran ini oleh Ho Tzu Nyen dan Cinanti Astria Johansjah.
Targetkan dikunjungi anak muda
Samboh mengatakan pameran ini ditargetkan untuk pengunjung dengan latar belakang bukan dari dunia kesenian, seperti mahasiswa, pekerja, dan pelajar.
Menurut dia, selama ini banyak anak muda ragu menghadiri acara pameran seni karena takut tidak mengerti dengan apa yang ditampilkan. Padahal, ujar dia, setiap penonton bebas mengartikan sebuah karya seni dari sudut pandang masing-masing orang.
"Kemerdekaan hakiki dari sebuah karya seni adalah kebebasan melihat seperti apa, sebagai apa dan mengartikannya bagaimana. Seperti sebuah lagu saja, bebas mengartikannya. Diharapkan dengan pameran ini lebih banyak orang yang penasaran tentang karya seni, lebih banyak orang yang bercerita dengan karya seni," ujar Grace Samboh.
Sementara itu Direktur Goethe-Institut wilayah Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru Dr. Stefan Dreyer menyatakan rasa senangnya atas dibukanya pameran "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak" di Galeri Nasional Indonesia bagi publik.
Ini merupakan pameran pertama di Galeri Nasional selama pandemi dan masuk dalam proyek Collecting Entanglements and Embodied Histories, dengan Goethe-Institut sebagai fasilitator keempat institusi seni di Thailand, Singapura, Jerman, dan Indonesia.
"Saya harap pameran dapat memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk menikmati dan mengenal karya-karya luar biasa dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Hamburger Bahnhof, MAIIAM Contemporary Art Museum, dan Singapore Art Museum," kata Dr. Stefan Dreyer.
Kepala Galeri Nasional Indonesia, Pustanto, menyatakan bahwa "Pameran 'Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak' mengawali program pameran temporer tahun 2022 di Galeri Nasional Indonesia."
Pameran yang melibatkan kerja sama antarlembaga budaya di empat negara ini menjadi media diplomasi tentang karya dan tokoh seni rupa, sekaligus lambang semangat untuk pulih dari masa pandemi. "Pameran ini kami harapkan dapat menjadi sumber informasi dan sarana apresiasi seni rupa bagi publik, serta semakin mempererat jejaring seni rupa internasional," kata dia. (ae)