Gandeng Kamboja, Cina Perkuat Posisi di Asia Tenggara?
3 Juni 2024Hari Kamis (30/5) ini, Cina dan Kamboja merampungkan latihan militer gabungan selama 15 hari yang melibatkan 2.000 personel di darat dan laut.
Kegiatan tahunan yang dibaiat dengan nama "Golden Dragon" atau naga emas itu digelar setelah Cina membantu modernisasi militer Kamboja, termasuk pembangunan fasilitas tambahan di pangkalan laut Ream di Teluk Thailand dan sejumlah sistem persenjataan baru.
Panglima militer Kamboja, Jendral Vong Pisen, secara terbuka berterima kasih kepada Cina dalam upacara pembukaan latihan di barat daya ibu kota Phnom Penh itu pada 16 Mei.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Mark S. Cogan, Guru Besar Studi Perdamaian dan Konflik di Universitas Kansai Gaidai, Jepang, mengatakan kepada DW bahwa latihan tersebut "memperkuat gagasan yang sudah ada tentang meluasnya pengaruh Cina, khususnya dalam isu keamanan.”
Latihan militer Golden Dragon mencerminkan eratnya keterikatan Kamboja dengan Cina. Kemeseraan tersebut sekaligus menyudahi hubungan strategis dengan Amerika Serikat.
Latihan tahunan tersebut telah diadakan secara rutin sejak tahun 2016, tepat sebelum Phnom Penh membatalkan latihan militernya dengan Amerika pada tahun 2017, dengan alasan keterbatasan kapasitas militer jelang pemilu.
AS sebelumnya berulangkali mewanti-wanti, pangkalan di Ream bisa dijadikan batu loncatan bagi angkatan laut Cina untuk menjangkau Teluk Thailand dan Laut Cina Selatan.
Pada bulan Desember 2023, kapal perang Cina untuk pertama kalinya berlabuh di pangkalan Ream, yang kini mampu menampung kapal-kapal besar berkat proyek konstruksi yang ikut dibiayai Beijing. Selama lima bulan kapal korvet Cina menetap di Kamboja, namun Kementerian Pertahanan di Phnom Penh bersikeras penempatan militer Cina hanya bersifat sementara.
Pemerintah Kamboja juga bersikukuh, penempatan militer asing di dalam negeri dilarang oleh konstitusi.
Cina halau AS di Kamboja
Dalam beberapa tahun terakhir, Kamboja menjadi mitra terdekat Beijing di Asia Tenggara. Cina adalah negara tujuan pertama kunjungan Perdana Menteri Kamboja Hun Manet setelah dia dilantik sebagai perdana menteri baru pada Agustus 2023 lalu.
Pada saat yang sama, hubungan AS dan Kamboja semakin merenggang. Washington pun mulai lantang mengecam catatan muram kondisi hak asasi manusia di Kamboja, dan kebijakan otoriter terhadap kelompok oposisi.
Tugas besar memulihkan relasi kedua negara kini diemban Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin yang akan mengunjungi Kamboja pada 4 Juni mendatang, setelah menghadiri Dialog Shangri-La di Singapura. Austin juga bertemu dengan pejabat Cina sebagai bagian dari lawatannya ke Asia.
"Menteri Pertahanan Austin akan berada di Kamboja untuk menyapa Perdana Menteri Hun Manet. Tapi, sebagaimana lazimnya kebijakan luar negeri Presiden Joe Biden di Asia Tenggara, dia akan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan,” kata Cogan.
"Kunjungan Austin harus memadukan hal-hal pragmatis dan normatif, karena ketegasan dalam isu HAM justru mendorong Kamboja mendekat ke Cina, dan keuntungan yang diberikan Beijing dapat dilihat di penjuru negeri,” tambahnya.
Kedekatan regional
Cina saat ini pun sudah merupakan mitra dagang dan investor terbesar bagi Kamboja. Ragam pembangunan infrastruktur yang ikut dibiayai Beijing mencakup, antara lain, jalan raya, bandar udara, hotel dan bangunan pencakar langit.
Kamboja juga bermitra dengan Inisiatif Sabuk dan Jalan, BRI, proyek pendanaan infrastruktur global yang sering dijuluki jalur sutera abad ke-21.
Menurut Oren Samet, kandidat PhD di Universitas California yang meneliti otoritarianisme di Asia Tenggara, dukungan Beijing tidak disertai dengan pengawasan dan kritik terhadap pemerintahan Kamboja seperti yang terlihat di negara-negara Barat.
"Hubungan erat dengan Beijing adalah hasil dari perubahan jangka panjang, yang telah mengukuhkan Cina sebagai pelindung utama Partai Rakyat Kamboja, CPP. di dunia internasional," kata Samet.
"Berbeda dengan donor Barat, Beijing sama sekali tidak peduli dengan pelanggaran hak asasi manusia atau lemahnya demokrasi di Kamboja, dan hal ini berdampak positif bagi pemerintah Kamboja, yang memiliki kebebasan untuk menekan oposisi dan menghindari reformasi yang sulit," katanya kepada DW.
Samet mengatakan, hal ini akan menjadi tantangan bagi Washington dan Phnom Penh untuk "memperbaiki hubungan yang rusak dan memperkuat hubungan strategis setelah beberapa tahun yang sulit."
"Defisit demokrasi dan permasalahan hak asasi manusia akan tetap menjadi batu sandungan. Kamboja belum mengalami perbaikan sama sekali dalam satu dekade terakhir, dan hal ini sepertinya tidak akan terjadi dalam waktu dekat," tambahnya.
Konsolidasi kekuasaan Dinasti Hun
Oleh para pengamat, kepemimpinan di Phnom Penh diyakini sepenuhnya dikuasai "Dinasti Hun." Tidak ada kekuatan lain di Kamboja yang mampu menandingi kekuasaan Partai CPP, terlebih setelah tokoh oposisi ramai dipersekusi dalam beberapa tahun terakhir.
Hun Sen, ayah dari PM saat ini Hun Manet, berkuasa dengan tangan besi di Kamboja sejak hampir empat dekade, dari 1985 hingga 2023. Dia dikenal ringan tangan dalam mengurung rival politik atau memberangus media independen, serta gemar memanipulasi pemilu demi legitimasi palsu.
Kamboja saat ini bertengger di urutan kedua terbawah, 141 dari 142 negara, dalam Indeks Keterbukaan Negara 2023 yang disusun lembaga riset World Justice Project. Ranking tersebut disusun berdasarkan sejumlah indikator, termasuk hak asasi manusia, keadilan sosial dan ekonomi.
Cina dan Kamboja menggambarkan relasi kedua negara yang telah dijalin sejak 1958 "berpondasi kokoh."
Dalam lawatannya ke Beijing pada bulan September lalu, PM Manet menjanjikan hubungan yang lebih kuat dan mengungkap harapan akan kerja sama yang lebih erat dalam isu-isu internasional dan regional.
"Saya skeptis bahwa banyak hal akan berubah di bawah pemerintahan Hun Manet. Meskipun dia secara dangkal lebih berorientasi Barat dibandingkan ayahnya, Manet memimpin rezim yang secara fundamental masih sama seperti sebelumnya,” kata Samet.
Suara Cina di ASEAN?
Pengaruh Beijing di Kamboja juga terlihat di forum regional seperti ASEAN, di mana Cina hanya berstatus mitra strategis "komprehensif". Dalam pertemuan ASEAN, Kamboja acap mendukung kebijakan Cina, termasuk dalam konflik Laut Cina Selatan.
Filipina, Malaysia, Brunei, Indonesia dan Vietnam, menentang klaim maritim yang dilayangkan Beijing. Dalam hal ini, Kamboja berperan sebagai penghubung dan sekutu bagi Beijing.
"Persaingan dan konflik di Laut Cina Selatan telah mendorong sklerosis lebih lanjut di ASEAN," kata Samet. "Beijing membuat pengaruhnya terasa di seluruh kawasan, namun Kamboja sangat terkena dampaknya," pungkas Samet.
rzn/as