Gebuk Sebagai Senjata Pamungkas
27 Juni 2017
Selalu ada yang linier dalam sejarah. Kosakata gebuk (pukulan sangat keras) kembali terdengar, ketika Presiden Jokowi mengucapkannya baru-baru ini, sebagai peringatan pada pihak yang ingin mengganti ideologi Pancasila. Di masa Orde Baru kata gebuk juga sempat membahana, sebagai cara mantan Presiden Soeharto untuk meredam lawan-lawan politiknya.
Soeharto dulu mengeluarkan kata tersebut, sebagai respons langsung atas perlawanan warga sekitar proyek Wadung Kedungombo (Jateng), pada awal 1990-an. Warga setempat memprotes pembangunan waduk, dengan cara tetap bertahan di lokasi proyek, sementara waduk akan segera digenangi. Pada kesempatan yang sama, Soeharto juga mengeluarkan kosakata (jawa) lain yaitu mbalelo (membangkang).
Jadi dua kata tersebut, gebuk dan mbalelo, digunakan dalam satu tarikan nafas. Mengingat warga Kedungombo mbalelo, maka perlu dikeluarkan jurus berikutnya yaitu gebuk. Seperti halnya dalam tradisi politik elite kita, yang penuh simbol, makna dua kosakata itu juga bersayap. Warga Kedungombo hanya dijadikan dalih guna meluncurkan dua kata bernada ancaman tersebut, sebagai media pembawa pesan pada pihak lain, yang di mata Soeharto lebih berbahaya.
Apa yang dilakukan Jokowi juga mirip, selain ditujukan kepada kelompok yang kurang menghargai pluralisme, kata gebuk itu dimaksudkan sebagai sinyal pada pihak – yang dengan berbagai cara – ingin melengserkannya. Sudah menjadi cerita umum di Jakarta, bahwa upaya "kudeta senyap” terhadap Jokowi terus berjalan. Kita sebagai warga biasa tetap bisa tenang, Jokowi mengeluarkan kata itu sebagai upaya pembelaan diri, berbeda dengan Soeharto yang pada dasarnya memang otoriter. Dalam amatan saya, Jokowi tidak memiliki bakat otoriter.
Presiden Sehari
Bagi komunitas politik di Jakarta, isu upaya melengserkan Jokowi berhembus demikian kencangnya, sebagaimana tergambar dalam media sosial. Memang teks dalam media sosial acapkali berlebihan (hoax), namun itu sudah cukup menjelaskan, bahwa memang tekanan pada Jokowi. Dan bagi yang sempat terjun ke lapangan, konflik elite di Jakarta bisa disaksikan secara kasat mata. Saya tidak akan menjelaskan gerakan itu secara detail, namun secara singkat bisa disebutkan, inilah sumber ketidaknyamanan kehidupan masyarakat akhir-akhir ini.
Pilkada Jakarta sudah cukup memberi pelajaran, bagaimana politik SARA dieksploitasi sedemikian rupa, demi ambisi kekuasaan sebagian kecil elite. Residu sosial sebagai dampak pertarungan di pilkada itu masih terasa sampai hari ini, meskipun calon gubernur (baru) sudah siap dilantik. Bagi orang kebanyakan, ambisi para elite seolah sudah di luar nalar, sebegitu menarikkah kekuasaan, sehingga seseorang tega merekayasa konflik berlarut di antara rakyat, bahkan dengan kerabatnya sendiri.
Metafora paling pas untuk menggambarkan perilaku elite pemburu kekuasaan adalah "Raja Sehari” yang biasa kita lihat dalam panggung kesenian tradisional, seperti ketoprak atau lenong. Kini muncul fenomena menjadi "Presiden Sehari”, maksudnya yang penting bisa menjadi presiden, meskipun hanya sehari. Meskipun hanya sehari atau sesaat, namun sudah bisa tercatat dalam sejarah, kira-kira begitulah angan-angan para elite pemburu kekuasaan tersebut.
Narasi di atas merupakan konteks yang menjadi latar belakang, mengapa Jokowi terpaksa harus mengeluarkan jurus pamungkas. Dalam bacaan saya, penggunaan gebuk merupakan cara Jokowi mendorong revolusi mental, yang dia dengungkan saat kampanye menjelang Pilpres 2014 dulu. Tentu Jokowi paham, soal kecenderungan masyarakat kita, khususnya bagi elite yang sangat menyanjung kekuasaan. Fenomena ini memunculkan dua perilaku antara atasan dan bawahan yang saling melengkapi: atasannya cenderung megalomania, sementara bawahannya bermental "cecunguk” (inferior syndrome).
Jokowi sudah sampai pada batas kesabarannya. Tidak ada pilihan lain, mungkin inilah momentum untuk meluncurkan kalimat keras, mengingat tenggat waktu Jokowi selaku Presiden sudah semakin dekat.
Unsur Penyangga
Gebrakan Jokowi melalui kosa kata gebuk, ada pada tataran gagasan, yang harus memiliki pijakan di lapangan. Dalam hal ini Jokowi bisa tenang, di segala sektor masyarakat selalu ada dukungan. Jokowi masih populer di mata rakyat, yang biasa diistilahkan sebagai mayoritas diam. Termasuk dari partai politik pendukung.
Dari parpol pendukung, justru Partai Golkar terlihat lebih proaktif ketimbang PDIP, partai dari mana Jokowi dibesarkan, terlepas apa motivasi Golkar di balik itu. Sementara PDIP acapkali terlambat mengantisipasi perkembangan isu mutakhir, seperti munculnya radikalisme dan maraknya gerakan intoleran. Ketika gerakan radikalisme sudah mulai mengancam posisi Jokowi, PDIP justru seolah "mati angin”. Kekalahan telak pasangan Ahok-Djarot dalam Pilkada Jakarta baru-baru ini, juga bagian dari lemahnya unsur PDIP dalam membaca dinamika di lapangan.
Kekuatan penyangga lain yang patut disebut adalah Korps Marinir, satuan yang sejak lama dikenal apolitis, selain loyalitas penuh pada pimpinan negara. Korps Marinir memiliki hubungan historis dengan Bung Karno, sementara Jokowi bisa disebut "anak ideologis” Bung Karno. Hanya terjadi di masa pemerintahan Megawati (2001-2004) dan Jokowi, Komandan Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) dua kali secara berturut-turut dipegang perwira yang berasal dari Korps Marinir.
Sejak awal sebenarnya saya khawatir, mirip dengan saat Soeharto mengeluarkan kata gebuk dulu, bahwa itu lebih ditujukan pada pihak atau figur yang mulai menentangnya, yang sebelumnya dianggap sangat dekat, seperti Jenderal Benny Moerdani. Demikian juga yang dilakukan Jokowi sekarang, pesan itu justru untuk orang-orang di lingkaran Istana sendiri, dan siapa figur yang dimaksud, baru akan kita ketahui kelak di kemudian hari.
Penulis:
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis