Pakistan Diminta Hentikan Persekusi Ahmadiyah
27 November 2020Tiga organisasi hak asasi manusia internasional meminta pemerintah Pakistan lebih giat melindungi komunitas Ahmadiyah. Dalam sebuah pernyataan bersama, Human Rights Watch, Amnesty International dan International Comission of Jurists (ICJ) mengeluhkan kejahatan atas kemanusiaan yang dialami kelompok minoritas tersebut.
Ahmadiyah yang memiliki 4 juta pengikut di Pakistan termasuk kelompok minoritas yang paling termarjinalkan.
“Cuma ada segelintir komunitas di Pakistan yang menderita sebanyak warga Ahmadiyah,” kata Omara Waraich, Direktur Asia Selatan di Amnesty International. “Gelombang pembunuhan terbaru ini tragisnya tidak hanya menggarisbawahi ancaman yang mereka hadapi, tapi juga sikap jahat otoritas yang gagal melindungi komunitas ini atau menghukum pelakunya.”
Pada 20 Noveber silam seorang pemuda menembak mati Dr. Tahir Mahmood, di kediamannya di kota Punjab. Tiga anggota keluarga lain dikabarkan mengalami luka-luka. Kepolisian melaporkan, tersangka “mengaku digerakkan oleh perbedaan keyakinan.”
Serangan lain terjadi di kota Peshawar yang terletak di dekat perbatasan Afghanistan di Khyber Pakhtunkhwa. Antara Oktober hingga awal November, sudah tiga orang tewas ditembak, termasuk Dr. Naeemuddin Khattak, seorang guru besar di universitas lokal. Keluarga korban mengaku penembakan terjadi “setelah perdebatan panas tentang masalah agama” dengan rekan kerja sehari sebelumnya.
Asosiasi Jemaat-I-Ahmadiyya melaporkan Khattak sudah sering menerima ancaman pembunuhan dan dijadikan target lantaran keyakinannya. Delik penembakan serupa juga terjadi pada bulan Agustus dan Juli.
Menurut ketiga lembaga HAM, kepolisian Pakistan “sering bersekongkol dengan mengubah Berita Acara Pidana atau membiarkan tindak kekerasan terhadap terhadap pemeluk Ahmadiyah,” demikian menurut keterangan pers.
Persekusi Ahmadiyah
Sejak pemisahan dari India, Pakistan menghadapi arus kebencian terhadap pemeluk Ahmadiyah. Puncaknya terjadi pada 1974, ketika warga Ahmadiyah di Rabwah diserang oleh sekelompok warga muslim.
Kerusuhan berdarah itu memaksa perdana menteri saat itu, Zulfikar Ali Bhutto untuk tunduk pada tekanan kaum radikal. Dia lalu mengamandemen konstitusi yang memvonis ajaran Mirza Ghulam Ahmad tersebut bukan bagian dari Islam.
Sejak itu warga Ahmadiyah dilarang menyebut diri muslim, atau menamakan rumah ibadah mereka sebagai masjid. Mereka juga dilarang menggunakan kalimat sapaan “Assalamualaikum” atau melamar untuk jabatan publik di pemerintahan.
Pada 1985, pemerintah membagi daerah pemilihan di Pakistan menjadi wilayah “muslim” dan “nonmuslim.” Hak memilih bagi warga muslim hanya diberikan jika dia menerima Nabi Muhammad sebagai rasul terakhir. Sebabnya sejak 1985, sebagian besar warga Ahmadiyah tidak lagi memilih, lapor the Conversation.
Sikap politik anti-Ahmadiyah di Pakistan diyakini turut membayangi persekusi di tingkat akar rumput. Sejak 1984, sebanyak 260 warga Ahmadiyah tewas dibunuh dalam serangan atas nama agama. Insiden terakhir terjadi akhis Agustus lalu, ketika massa membakar sebuah masjid Ahmadiyah di kota Faisalabad.
Bulan lalu Komisi untuk Kebebasan Beragama Internasional di Amerika Serikat dalam laporan tahunannya mendeklarasikan Pakistan sebagai “negara yang mengkhawatirkan". Laporan tersebut mendesak pemerintah di Islamabad mengakhiri larangan publikasi bagi buku-buku atau tulisan milik warga Ahmadiyah, dan mengkaji ulang kasus dakwaan penistaan agama.
“Pakistan menyepakati konsensus Sidang Umum PBB untuk secara aktif melindungi minoritas agama dan menjamin kebebasan fundamental, tanpa diskriminasi,” kata Ian Seiderman, Direktur Hukum di International Comission of Jurists. “Tapi pemerintah Pakistan sepenuhnya gagal dalam kasus Ahmadiyah.”
rzn/as (dpa, ap, conversation, ft)