Genangan dan Hal-Hal Yang Belum Selesai di Kota Depok
Apabila Puan dan Tuan melintasi jalan raya Tapos arah Depok/Cibubur di perempatan tol Cimanggis sehabis hujan, akan Puan dan Tuan temui genangan setinggi betis orang dewasa dan membuat kendaraan yang melintas harus berjalan pelan-pelan.
Kemudian lanjutkan perjalanan menuju Gas Alam, genangan tidak akan lekang meninggalkan Puan dan Tua begitu saja. Dan apabila Puan dan Tuan sedang banyak waktu, silakan saja susuri seluruh ruas-ruas jalan di Kota Depok baik arah Cibinong ataupun Margonda di musim hujan, akan banyak Puan dan Tuan sekalian temui genangan air.
Genangan air dan jalanan berlubang adalah ciri khas kota Depok, di samping belimbing sebagai penanda kota. Setiap tahun di musim penghujan, ruas-ruas jalan di kota kami tercinta dikepung genangan air yang terus mengikis aspal. Tapi ah, biarkan saja, tinggal pasang pelepah pisang, kursi atau balok kayu supaya pengemudi lebih hati-hati dan besok bisa ditambal dengan aspal kembali supaya air bisa tergenang kembali di tahun berikutnya.
Mengapa jalan-jalan di kota Depok terus-terusan rusak? Mungkinkah pemerintah sengaja memelihara kerusakan jalan demi anggaran yang cukup besar? Mari Tuan dan Puan baca selengkapnya dalam artikel ini.
Berikan air hak untuk mengalir
Sudah sepuluh tahun lamanya saya tinggal di kota Depok dan selalu saja pada setiap bulan penghujan permasalahan menyangkut air dan drainase menghantui. Belum lagi dampak yang ditimbulkan akibat genangan air, terkikisnya aspal dan munculnya lubang-lubang yang membahayakan pengendara juga genangan air yang menjadi sarang nyamuk dan menyebabkan penyakit khas musim hujan: demam berdarah dan diare.
Namun kerusakan jalan dan genangan sepertinya dilakukan secara sengaja oleh pemerintah. Contohnya saja seperti diberitakan Radar Depok, jalan Jengkol di kecamatan Cimanggis sudah bertahun-tahun di bawah pemerintahan Nur Mahmudi Ismail dua kali periode sejak 2006 dan 2016 dibiarkan rusak padahal jalan tersebut penting bagi warga untuk akses ke Jakarta Timur.
Mengapa saya katakan perusakan jalan dilakukan dengan sengaja oleh pemerintah? Karena pemerintah abai terhadap hak air yang turun dan mengalir pada setiap musim penghujan.
Pembangunan terus menerus dilakukan dan perbaikan jalan yang dilakukan setiap tahunnya adalah solusi instan dengan sekadar menambal jalan berlubang dengan aspal atau membangun dengan beton. Drainase tempat air mengalir tidak digubris. Beberapa warga bahkan menyumbat drainase dan menjadikannya lahan parkir sehingga air tidak bisa mengalir dan menggenangi jalan.
Wali kota bertanggungjawab atas warga Depok atas hak akses jalan raya dan tata kota yang tidak berpihak kepada air. Air memang bukan warga Depok tetapi dia adalah sumber kehidupan umat manusia termasuk warga Depok, air harus dikelola baik air bersih maupun air hujan.
Kota Depok yang memiliki curah hujan 2684 m/th tergolong tinggi dan harusnya pengelola kota memikirkan bagaimana drainase yang bisa dibuat seiring dengan pertumbuhan kota yang tiada henti. Bulan November hingga Februari adalah musim penghujan yang tidak bisa ditampik dan air akan terus mengalir hingga menuju tempat yang lebih rendah melewati segala macam aspal dan cor-coran semen.
Pemerintah kota Depok harusnya memerhatikan normalisasi drainase di sekitar jalan sebelum menambalnya. Atau jangan-jangan drainase sengaja digubris supaya anggaran perbaikan jalan terus muncul? Pasalnya, pemerintah Depok pada tahun 2018 ini telah menganggarkan 1,5 miliar untuk perbaikan jalan dan itu hanya terbatas pada wilayah Gas Alam Sukatani. "Untuk tahun ini dapatlah Rp 1,5 miliar kurang lebih bisalah (memperbaiki) 500 meter lebih sampai 1 kilometer," ujar Kepala Dinas PUPR Depok Mantho Jorgi saat diwawancara wartawan. Padahal, akibat tidak digubrisnya drainase dan tata kota, Depok menjadi kota yang berlangganan berbagai epidemi yang disebabkan oleh nyamuk seperti DBD (Demam Berdarah Dengue) dan Kaki Gajah sejak tahun 2005 hingga saat ini.
Anjuran Makan Tangan Kanan dan Korupsi di Tangan Lainnya
Di sisi terus menerus rusaknya jalan akibat drainase yang tidak diurus, Depok adalah sebuah kota yang sangat menakjubkan di mana mantan pemimpinnya Nur Mahmudi Ismail pada masa pemerintahannya gemar menganjurkan program-program kerja bersifat moral khas partai pendukungnya. Di tahun 2013 pada masa pemerintahannya yang kedua, terpampang baliho besar anjuran makan dengan tangan kanan oleh Wali Kota yang sekarang berstatus koruptor tersebut.
Selain itu, peraturan kota sangat tidak sesuai dengan kebutuhan penduduk, misalnya saja Depok adalah lokasi kampus terbesar Universitas Indonesia dan Universitas Gunadarma tetapi café dan toko serba ada dilarang buka 24 jam dan Depok menerapkan jam malam. Peraturan daerah ini sama sekali tidak mengakomodir kebutuhan mahasiswa/i yang harus beraktivitas di malam hari seperti bersih-bersih kosan, mengerjakan tugas dan berkumpul dengan teman-teman.
Belum lagi peraturan-peraturan dan himbauan diskriminatif pemerintah seperti sebuah spanduk anti-LGBT di depan kantor kecamatan Pancoran Mas, tepat di sebelah stasiun Depok Lama yang terang-terangan mengecam LGBT. Nampaknya selain penyakit menular yang disebabkan nyamuk seperti DBD dan Kaki Gajah, kota Depok juga tertular penyakit psikologis homofobia. Penyakit homophobia ini menjangkiti beberapa kota dan daerah yang gemar memberikan peraturan-peraturan yang bersifat moral, sebagai ciri dari infeksinya selain Depok sebut saja Padang, Sukabumi dan Aceh.
Peraturan-peraturan daerah yang bersifat moral dan mengabaikan masalah-masalah yang riil seperti drainase yang jelas-jelas menyebabkan penyakit menular seperti demam berdarah. Saya sendiri kehilangan seorang sahabat semasa kuliah karena penyakit ini. Penyakit DBD lebih harus diperhatikan penyebab dan pencegahannya daripada HIV/AIDS melalui perbaikan drainase dan perbaikan jalan yang menyeluruh bukan sekadar menambal dengan aspal atau membangun beton. Perhatikan hak air untuk mengalir sebagaimana pemerintah kota Depok harus memperhatikan kebutuhan penduduknya. Sepanjang pengalaman saya tinggal dan berkuliah di Depok, lebih banyak mahasiswa/i meninggal karena demam berdarah daripada HIV/AIDS.
Lagipula, jika ingin menangani dan mengendalikan laju epidemi HIV/AIDS pemerintah kota Depok tidak bisa mengeluarkan peraturan bersifat moral apalagi homofobik dengan menyebarkan stigma kepada pengidapnya. Sudah cukup kota Depok dipimpin oleh wali kota yang makan dengan tangan kanan tetapi korupsi di tangan lainnya. Pemimpin kota Depok harus belajar dan bebenah.
Penulis @Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis
*Bagaimana komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.