Perempuan Afganistan Berinisiatif Sendiri Perjuangkan Hak
16 Juli 2024Saban pekan, sekelompok perempuan mengadakan protes damai terhadap ketimpangan gender di Afganistan. Mereka ingin membangkitkan kesadaran masyarakat akan hak-hak sipil dan demokrasi.
Mereka mendirikan organisasi "Gerakan Sabtu Ungu” di ibu kota Kabul setelah Taliban berkuasa pada Agustus 2021. "Kami hanya bisa mengandalkan diri kami sendiri,” kata Maryam Maroof Arvin, salah satu pendiri "Gerakan Sabtu Ungu” yang berusia 30 tahun, dalam sebuah wawancara dengan DW.
Arvin merupakan salah satu aktivis perempuan yang masih berada di Afganistan dan belum mau menyerah. Dia dan perempuan dalam jaringannya tidak hanya mengorganisir protes. Mereka diam-diam mengajar gadis-gadis di rumah yang tidak lagi diizinkan bersekolah sejak kelas 6 SD, mengumpulkan bantuan untuk perempuan lajang, dan keluarga yang membutuhkan atau mengasuh anak yatim.
Kemandirian perempuan
Sejak Taliban berkuasa di Afganistan, kelompok masyarakat yang paling rentan terpaksa harus berjuang sendiri. Hampir semua organisasi bantuan internasional telah hengkang karena Taliban secara sistematis melanggar hak asasi manusia dan khususnya hak-hak perempuan.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Sejak Agustus 2021, mereka telah memperkenalkan serangkaian undang-undang dan kebijakan yang mengabaikan hak-hak dasar perempuan dan anak perempuan di seluruh negeri. Karyawan perempuan dipulangkan, sekolah menengah untuk anak perempuan ditutup, dan perempuan dilarang masuk universitas.
Arvin belum menyelesaikan gelar masternya ketika Taliban melarang perempuan masuk universitas pada Desember 2022. Seperti hampir semua perempuan Afganistan, baik di dalam maupun di luar negeri, dia marah dengan PBB dan inisiatifnya untuk bernegosiasi dengan Taliban tanpa perwakilan perempuan. "Kami tahu bahwa, seperti pada pertemuan di Doha, mereka mengupayakan pembicaraan dengan Taliban untuk membuka jalan bagi pengakuan kekuasaan Taliban di Afganistan. Dengan melakukan hal tersebut, mereka mengabaikan rakyat Afganistan dan khususnya perempuan,” tegas Arvin.
Atas inisiatif PBB, perwakilan Taliban pekan lalu membahas masa depan Afganistan dengan diplomat dari 25 negara bagian dan organisasi internasional di Doha. Bahkan sebelum pertemuan di Doha dimulai, juru bicara Taliban Sabihullah Mujahid menegaskan bahwa isu hak-hak perempuan adalah "masalah internal” di Afganistan dan tidak akan menjadi isu di Doha. Negara-negara lain harus mengakui nilai-nilai agama dan budaya Afganistan.
"Hak-hak perempuan bukanlah masalah internal di Afganistan,” bantah diplomat AS Rosemary DiCarlo dalam wawancara dengan DW. DiCarlo adalah Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Politik. "Kami ingin berbicara dengan Taliban dan harus memulainya.”
Pertemuan tersebut merupakan dorongan awal yang bertujuan untuk memulai proses langkah demi langkah. Tujuannya adalah agar Taliban "hidup damai dengan tetangganya dan mematuhi hukum internasional, Piagam PBB, dan hak asasi manusia,” tegas Rosemary DiCarlo.
"Taliban tahu bagaimana menggunakan panggung internasional untuk keuntungan mereka sendiri,” analisis penulis dan pakar pendidikan Afganistan Hazrat Vahriz sebelum pertemuan Doha. "Taliban selalu mengambil bagian dalam pembicaraan rekonsiliasi dan bahkan bertemu dengan Ahmad Shah Massoud atau kelompok oposisi lainnya di Turkmenistan sebelum pengambilalihan kekuasaan pada tahun 2021,” lanjut Vahriz dalam sebuah wawancara dengan DW.
"Anda tidak boleh meremehkan mereka. Mereka memiliki diplomat-diplomat ulung yang tidak peduli apa pun selain menegakkan persyaratan mereka. Di Afganistan, Taliban mengharapkan rakyatnya menjadi rakyatnya dan menerima mereka sebagai penguasa.”
Sanksi, krisis ekonomi, kemiskinan
Taliban sedang berjuang untuk mendapatkan pengakuan internasional dan pada berkampanye menuntut pencabutan sanksi. Tujuannya adalah mengakses aset Afganistan yang dibekukan oleh AS. Afganistan terjerumus ke dalam krisis ekonomi yang parah akibat pembekuan rekening bank, sanksi internasional yang luas, dan brain drain. Menurut PBB, 97 persen penduduk Afganistan hidup dalam kemiskinan.
"Afganistan bukan satu-satunya negara di mana hak asasi manusia dilanggar,” kata Hazrat Vahriz. "Beberapa orang di Afganistan percaya bahwa ini adalah tanggung jawab komunitas internasional untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh salah urus dan salah urus para elit negara kita. Hal ini hanya akan terjadi jika Taliban tidak mengancam kepentingan negara-negara kuat, terutama Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Namun, hal itu tidak akan terjadi karena Taliban akan tetap setia pada janji mereka agar Amerika menepati tuntutan mereka.”
Perempuan berada di garis depan. "Kita harus menggabungkan kekuatan,” tegas Maryam Maroof. Salah satu pendiri "Gerakan Sabtu Ungu” ini mengimbau semua aktivis hak asasi manusia, intelektual, dan pembangkang untuk membentuk koalisi dan mengorganisir perlawanan terhadap Taliban di dalam negeri dengan lebih efektif.
"Kami berkomitmen terhadap pemerintahan yang sah, demokratis, dan inklusif. Dan kami harus menerima bahwa kami tidak dapat mengandalkan mereka yang menggunakan hak asasi manusia sebagai sarana untuk membuat nama mereka terkenal,” kata aktivis perempuan Maroof.
(rzn/hp)