Ilusi Hukuman Mati Kejahatan Narkotika
21 April 2016Melalui Resolusi Majelis Umum Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) No. 67/193 pada tanggal 20 Desember 2012 diputuskan bahwa akan diadakan Sidang Sesi Khusus Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly Special Session - UNGASS) mengenai Narkotika pada tanggal 19 – 21 April 2016 di New York, Amerika Serikat yang hasilnya akan berupa dokumen resmi PBB yang diadopsi secara konsensus.
Selama persiapan menuju UNGASS, berbagai pertemuan penting telah dilaksanakan. Pertemuan Tingkat Tinggi dari berbagai organisasi internasional seperti UNAIDS, WHO, UNODC dan OHCHR bersama dengan Uruguay, Bolivia dan Swiss dilakukan di Jenewa pada bulan Oktober 2015.
Pertemuan tersebut menyepakati bahwa terdapat kebutuhan mendesak untuk mengubah pendekatan yang telah dilakukan berpuluh-puluh tahun yaitu perang atas narkotika yang mengedepankan kriminalisasi penggunaan narkotika, hukuman yang berat hingga hukuman mati serta pelarangan segala bentuk aktivitas yang berhubungan dengan narkotika yang dianggap ilegal. Pertemuan tersebut meminta negara-negara untuk memberikan prioritas pada kesehatan masyarakat dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM).
Indonesia: Negara Anti-Mainstream dalam Penghapusan Hukuman Mati
Indonesia dalam serangkaian pertemuan tersebut selalu mengedepankan pendekatan yang usang, tidak berbasiskan ilmu pengetahuan dan tanpa strategi yang progresif.
Pada tanggal 8 Desember 2015 di Wina, delegasi Indonesia hadir dalam Pertemuan Sidang Komisi Narkotika dan Obat-obatan (Commission on Narcotics and Drugs – CND) sebagai pertemuan yang mencari strategi menuju UNGASS. Dalam pertemuan tersebut, berbagai organ PBB dan bahkan UNODC menyepakati bahwa HAM menjadi sesuatu yang penting untuk dikedepankan.
Sejumlah negara bahkan mendorong penghapusan hukuman mati, akses kepada obat-obatan, hak atas kesehatan dan mencari solusi alternatif atas pemenjaraan pengguna narkotika. Bahkan, Pelapor Khusus PBB hak atas kesehatan, Dainius Puras menyatakan bahwa hukuman mati atas kejahatan narkotika tidak memenuhi standar “kejahatan berat” sesuai dengan Kovenan Hak Sipil dan Politik. Dengan demikian, hukuman mati atas kejahatan narkotika harus dihapuskan.
Namun, dalam pertemuan tersebut, delegasi Indonesia menyatakan bahwa, “Hukuman mati tidak melanggar hukum internasional”.
Pada 19 April 2016 di pertemuan UNGASS, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa hukuman mati tetap harus diterapkan dan mengedepankan pendekatan “zero tolerance” terhadap penggunaan narkotika. Bahkan, Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa “Hukuman mati sebagai komponen penting dalam penegakan hukum”.
Sebaliknya, berbagai negara telah menyatakan kekecewaan mereka pada hasil dokumen UNGASS. Pemerintah Swiss dan Kosta Rika menyatakan kegagalan dokumen tersebut dalam menghapus hukuman mati yang sesuai dengan prinsip hukum internasional, bahkan hukuman mati itu dinilai sebagai pelanggaran fundamental HAM. Brazil juga menyatakan ketidakefektifan hukuman mati dalam kejahatan narkotika.
Uruguay sebagai negara yang paling aktif dalam proses pembuatan hasil dokumen pun kecewa dengan tidak dinyatakannya secara jelas tentang penghapusan hukuman mati dan dekriminaliasi terhadap penggunaan narkotika untuk kepentingan pribadi”.
Uni Eropa juga menyerukan semua negara untuk melakukan moratorium atas hukuman mati menuju penghapusan hukuman mati bagi semua kejahatan”.
Atas berbagai penyataan ini, kesimpulannya adalah Indonesia sebagai negara anti-mainstream dalam penegakan HAM, khususnya hukuman mati. Di saat negara-negara lain mengakui bahwa hukuman mati tidak efektif, tidak efisien dalam menimbulkan efek jera, melanggar HAM dan merendahkan martabat manusia, Indonesia kian aktif mencari rasionalitas tentang efektifnya hukuman mati.
Ilusi bukan Solusi
Dalam agenda lain, pada tanggal 18 April 2016 di Berlin, Presiden Jokowi bertemu dengan Presiden Jerman Joachim Gauck dan Kanselir Jerman, Angela Merkel. Dalam Konferensi Pers bersama,Angela Merkel menyatakan bahwa kerjasama yang erat masih diperlukan dalam persoalan jaminan hukum, HAM dan sistem Hukum.
Dalam pertemuan terpisah, Presiden Gauck menuntut untuk dihapuskannya hukuman mati. Presiden Gauck pun menyatakan bahwa dalam persoalan HAM, pemerintah kadang-kadang harus berada di garis paling depan.
Indonesia tidak mengindahkan berbagai temuan yang telah tersedia tentang bagaimana tidak efektifnya hukuman mati. Efek jera atas hukuman mati adalah sebuah ilusi. Ilusi atas kegagalan negara dalam melindungi masyarakatnya. Kejahatan Narkotika tetap akan ada manakala negara tidak siap dengan alternatif strategi yang komprehensif. Mengedepankan penegakan hukum semata merupakan langkah mundur dalam menyikapi peredaran gelap narkotika.
Penegakan hukum semata seringkali tidak bisa mengikuti kecanggihan perkembangan kejahatan narkotika internasional yang selalu mengubah pola dan bentuk kejahatan mereka. Narkotika pun kian maju perkembangannya.
Solusi yang tersedia saat ini adalah merubah paradigma usang bahwa penegakkan hukum semata dan penerapan hukuman mati akan menghapus kejahatan narkotika.
Dibutuhkan serangkaian strategi lainnya seperti: melindungi hak atas kesehatan, membuka diskusi dan pelaksanaan dekriminalisasi penggunaan narkotika sesuai dengan bukti ilmiah, mengendepankan kerja dengan komunitas pengguna narkotika adalah salah satunya. Perubahan paradigma memang tidak dapat dilakukan sekejap mata, namun hal ini harus segera dimulai, agar negara tidak hidup dalam ilusi yang tanpa solusi.
*Asmin Fransiska adalah Pengajar Hukum Hak Asasi Manusia di Fakultas Hukum Unika Atma Jaya, Jakarta; Kandidat Doktor Hukum HAM Internasional di Fakultas Hukum Justus Liebig University, Giessen, Jerman.