Impor Uni Eropa dari Myanmar Melonjak Meski Ada Sanksi
27 Juli 2023Uni Eropa (UE) pekan lalu memberlakukan sanksi putaran ketujuh terhadap individu dan perusahaan yang terkait dengan junta militer Myanmar, yang melakukan kudeta berdarah pada Februari 2021. Sanksi terbaru itu berarti bahwa hampir semua menteri Dewan Administrasi Negara (SAC), nama resmi junta militer, telah terpengaruh, begitu pula banyak perusahaan yang terkait dengan rezim militer.
Brussel mengatakan, pihaknya dengan tegas memutuskan segala bentuk interaksi yang dapat dianggap melegitimasi junta yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas terhadap warga sipil. Dewan Eropa mengatakan, sanksi terbaru ini adalah langkah tambahan dari "pembekuan semua bantuan UE yang dapat dilihat sebagai legitimasi junta."
Tetapi kelompok anti-junta yang bersatu di sekitar Pemerintah Bayangan Persatuan Nasional, NUG, mempertanyakan peningkatan perdagangan antara Uni Eropa dengan Myanmar, yang tahun 2022 meningkat hampir 80% dibandingkan tahun 2021.
Beberapa pengamat mengatakan, situasi politik di Myanmar sekarang diabaikan karena perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Sejak kudeta Februari 2021, setidaknya 6.000 warga sipil telah tewas, menurut laporan yang diterbitkan bulan lalu oleh Peace Research Institute Oslo.
Antara perdagangan dan sanksi
Sambil memuji sanksi terbaru Uni Eropa, kelompok kampanye Justice For Myanmar berpendapat dalam sebuah pernyataan pekan lalu bahwa langkah sanksi Barat "terlalu lambat dan kurang koordinasi." Beberapa pengamat mengatakan, peningkatan perdagangan antara Uni Eropa dan Myanmar justru menguatkan posisi junta militer.
Uni Eropa mengimpor barang senilai €4,3 miliar ($4,75 miliar) dari Myanmar pada tahun 2022, meningkat hampir 80% dibanding nilai impor tahun sebelumnya, menurut Komisi Eropa. Sebagai perbandingan, perdagangan AS dengan Myanmar hanya meningkat 4% dari tahun 2021 hingga 2022, menurut data AS.
Ekspor UE ke Myanmar juga meningkat pada tahun 2022, dari sekitar €300 juta menjadi €368 juta.
"Perlu tindakan lebih banyak”
Beberapa perusahaan UE yang tetap aktif di Myanmar mendapat kecaman, karena menyediakan dana untuk junta melalui perpajakan. Selain memberikan pendapatan bagi rezim militer, beberapa analis berpendapat, peningkatan perdagangan dengan Uni Eropa juga secara tidak langsung mendukung klaim junta, bahwa mereka dapat memastikan bisnis akan berjalan seperti biasa di Myanmar.
"Sinyal apa yang dikirim UE kepada para pengunjuk rasa di lapangan? Di mana UE tidak peduli dengan mereka,” kata Kristina Kironska, akademisi yang berbasis di Bratislava yang berspesialisasi tentang Myanmar, kepada DW.
"Meskipun Uni Eropa hanya menyumbang 7% dari seluruh nilai ekspor Myanmar pada tahun 2021, junta menggunakan arus perdagangan semacam itu untuk tujuan propaganda guna menormalkan kekuasaannya," kata Kironska lebih lanjut.
Linn Thant, utusan NUG untuk Republik Ceko, yang merupakan salah satu negara UE pertama yang menjadi tuan rumah kantor NUG, memberi tanggapan lebih diplomatis. "Kami menyambut sanksi yang ditargetkan UE, tetapi perlu untuk bertindak lebih dan lebih banyak lagi,” kata Linn Thant kepada DW.
Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar, baru-baru ini mengatakan kepada media Inggris bahwa komunitas internasional harus "mengambil langkah yang jauh lebih signifikan" untuk mendukung orang-orang yang melawan junta militer.
"Ya, ada banyak ekspresi keprihatinan, tapi orang tidak bisa bertahan dengan ekspresi," kata Andrews. "Mereka membutuhkan bantuan dan dukungan."
(hp/as)