India: Penyakit Paru Ubah Budhpura Jadi 'Desa Para Janda'
10 Juli 2023Jumma Bai, seorang janda berusia 40 tahun, memegang palu dan pahatan, sembari berjalan menuju tempat dia bekerja di lokasi pertambangan, tempat yang juga merenggut nyawa suaminya dua dekade lalu.
Setiap hari, Jumma bekerja ditemani oleh tiga anak perempuannya dan para janda lainnya. Kepala mereka ditutupi dengan ujung kain sari, saat mereka memukul batu-batuan besar dengan palu, sembari menghirup debu silika halus yang memenuhi udara di sekitar mereka.
Dengan tangan kosong, Jumma dan rekannya mengukir serta memecah batu-batuan pasir itu selama hampir 10 jam per hari. Secara tragis, para janda ini kehilangan suami mereka karena silikosis, penyakit paru-paru yang mematikan dan tidak dapat disembuhkan, akibat dari menghirup debu silika tersebut.
"Ada banyak perjuangan setelah kematian suami saya. Ada saat-saat ketika tidak ada tepung di rumah untuk memasak makanan. Kami biasa tidur dalam keadaan lapar," kata Jumma kepada tim DW sembari memecah batuan.
"Ketika anak-anak perempuan saya sudah besar," kata Jumma, "saya meminta mereka untuk belajar, tetapi mereka berkata 'ibu, bagaimana ibu akan memberi makan kami sendirian,' dan memutuskan untuk ikut bekerja dengan saya," jelasnya.
Tambang, satu-satunya mata pencaharian
Karena terlalu lama terpapar debu silika halus tersebut, Jumma bangun setiap harinya dengan rasa nyeri di kepala dan dadanya. Meski mengalami masalah kesehatan, dia tetap pergi bekerja untuk menafkahi keluarganya, karena tidak ada pilihan lain.
Jumma tidak sendirian. Tetangganya, Kaushalya Bai, 38, juga didiagnosis menderita silikosis tiga tahun yang lalu. Kaushalya baru berusia 16 tahun saat dia mulai bekerja di tambang batu pasir tersebut.
Kini, Kaushalya sakit kronis dan terlihat begitu lemah. Penyakit silikosis membuatnya kesulitan untuk berbicara. Para dokter menyarankan untuk berhenti bekerja dan menjauhi debu-debuan, tetapi dia masih pergi ke tambang tiga hari dalam seminggu karena dia harus memberi makan empat orang anaknya.
Bahkan putra sulungnya, Mahaveer, 16, baru-baru ini turut mengambil tanggung jawab untuk menghidupi keluarganya. Dia sampai harus putus sekolah dan kini bekerja sebagai penambang penuh waktu. Suami Kaushalya Bai, Kanhaiya Lal, juga meninggal akibat penyakit paru silikosis pada tahun 2015.
Pusat industri batu pasir di India
Desa Budhpura, yang terletak di Negara Bagian Rajasthan, merupakan pusat industri batu pasir India. Hampir seluruh populasi laki-laki di sana meninggal karena penyakit silikosis.
Kini, wilayah itu pun dikenal sebagai "desa para janda". Ironinya, para janda itu juga terpaksa melakukan pekerjaan yang sama, yang merenggut nyawa suami mereka.
Kurangnya perlindungan kesehatan menjadi kekhawatiran utama bagi pekerja perempuan di industri ini, karena hak-hak mereka diabaikan dan hukum hampir tidak ditegakkan, kata para penambang kepada tim DW.
Diperkirakan ada 2,5 juta pekerja tambang di Rajasthan, di mana mayoritas berisiko terkena penyakit silikosis. Namun, jumlah pasti orang yang menderita penyakit itu masih belum diketahui.
Sebuah laporan setebal 40 halaman, "Blood Stone 2022," mencatat bahwa Jerman termasuk salah satu dari 10 negara teratas yang mengimpor batu pasir dari India. Laporan itu secara eksklusif dibagikan kepada tim DW oleh Mine Labor Protection Campaign (MLPC), yakni sebuah lembaga nirlaba yang mengadvokasi hak-hak pekerja tambang.
Kelompok ini memperkirakan bahwa nilai ekspor batu pasir dari India ke Jerman bernilai sekitar €4,06 juta (setara Rp67,6 miliar) pada tahun 2021-2022.
Memperjuangkan hak keselamatan pekerja tambang
MK Devarajan, mantan anggota Komisi Hak Asasi Manusia Negara Bagian Rajasthan, menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memperjuangkan hak-hak dan keselamatan para pekerja tambang.
Selama masa jabatannya, dia mendesak Direktur Jenderal Keselamatan Tambang (DGMS) pemerintah India untuk memperketat peraturan, dengan membatalkan izin penambangan bagi pihak yang melanggar peraturan.
Pemerintah Rajasthan kini menangani masalah kesehatan silikosis ini dengan menawarkan kompensasi finansial, dengan memberikan 200.000 rupee (setara Rp36,8 juta) kepada penyintas silikosis dan 300,000 rupee (Rp55,3 juta) kepada keluarga yang ditinggalkan.
"Ini bahkan bukan puncak gunung es. Masalahnya jauh lebih besar. Jika pemerintah tidak melakukan intervensi dengan benar, seiring berjalannya waktu kita akan menyaksikan peningkatan jumlah penderita silikosis secara besar-besaran," kata Devarajan kepada tim DW dalam sebuah wawancara telepon. "Pemerintah perlu menegakkan dan menindak tegas tambang-tambang ilegal untuk menghentikan krisis ini," tambahnya.
Kurangnya akses pelayanan kesehatan
Setiap harinya, puluhan pekerja tambang penyintas silikosis berdatangan ke rumah sakit setempat di kota Bundi. Hanya ada beberapa dokter yang merawat pasien dan mereka tidak memiliki peralatan untuk mendiagnosis atau mengobati penyakit pernapasan.
Menurut petugas kesehatan rumah sakit tersebut, Dr. Jitendra Kumar, kurangnya sumber daya manusia serta pelatihan yang tidak memadai, telah mengakibatkan banyak kesalahan diagnosis terkait penyakit silikosis ini selama bertahun-tahun.
Selama kunjungan tim DW, terlihat Dr. Kumar tengah memeriksa seorang pekerja tambang penyintas silikosis sejak dua tahun lalu, yang mengeluhkan nyeri dada ekstrem dan sesak napas. Dr. Kumar mengatakan bahwa paru-paru pasien itu telah rusak total.
"Di rumah sakit ini, kami memiliki 50-60 pasien yang menderita masalah pernapasan setiap harinya dan di antara mereka, 50% adalah penderita silikosis. Ini adalah penyakit yang sangat mengkhawatirkan. Ada beberapa kasus yang sudah mencapai tahap ketiga dan berada di zona berbahaya," tambah Dr. Kumar.
Meski demikian, Jumma dan para perempuan lainnya tetap mempertaruhkan nyawa mereka tanpa dukungan atau perlindungan kesehatan yang memadai. Mereka bekerja di tambang meskipun sakit kepala dan paru-paru mereka sesak. (kp/hp)