Membuat Jalan dari Sampah Plastik
21 November 2017Dalam Konferensi Iklim Internasional COP 23 yang berlangsung di Bonn, Jerman bulan November 2017, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut B. Pandjaitan berbincang dengan reporter DW Rizki Nugraha mengenai upaya pemerintah dalam membersihkan sampah plastik di laut.
DW: Bagaimana upaya pemerintah dalam menangani sampah plastik?
Luhut B. Pandjaitan : Sekarang kita tahu 80 persen sampah plastik yang ke laut itu datangnya dari darat. Saya telah berbincang dengan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bahwa kita akan membersihkan Citarum. Kita akan mengurangi sampahnya di sana. Kemana sampah akan dibuang? Misalnya untuk kantung plastik jinjing itu, kita sudah lakukan ‘pilot project', dengan mencampur aspal dengan kantung kresek bekas tadi. Kita sudah menerapkannya di jalanan-jalanan di Bekasi dan di Bali. Pada tahun 2018 kita akan mencampur aspal dengan kantung plastik bekas itu di daerah-daerah lainnya. Bukan di jalan tol, melainkan di jalan-jalan provinsi hingga ke kotamadya/kabupaten. Jika berjalan lancar, maka akan besar dampaknya. Karena untuk 1 kilometer dengan lebar 7 meter jalan, bisa mendapatkan 3-5 ton sampah plastik. Biaya produksinya berkurang 10 persen, namun kekuatan jalanan lebih kuat 40 persen. Biaya pemeliharaan jadi turun. Jadi biaya pemelihraan dan pembuatan jalan lebih murah.
DW: Bagaimana respon dari masyarakat terhadap upaya penanggulangan sampah plastik?
Luhut B. Pandjaitan: Orang tidak tahu bahwa sampah plastik itu jika menjadi plastik mikro yang dimakan ikan dan ikannya mungkin saja dimakan oleh perempuan hamil. Dampaknya akan besar bagi generasi yang akan datang. Ini yang harus kita perbaiki. Sekarang kita telah temukan sampah plastik itu hingga ke kedalaman air 2000 meter. Masalah itu harus kita hadapi bersama, karena masalah sampah itu tidak mesti semuanya datang dari Indonesia. Kita berada di lautan silang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Sehingga sampah dari mana-mana juga hinggap di kita. Dibutuhkan kedisplinan dari masyarakat, demikian pula dibutuhkan program yang baik pemerintah, sehingga kita bisa integrasikan hal ini dengan program internasional. Jika semua ini kita jalankan, saya yakin program pembersihan laut dan sungai dari sampah plastik ini akan berhasil.
DW: Sejauh mana kekuatan Indonesia dalam menggalang kerjasama di bidang kemaritiman dan pada sektor apa saja?
Luhut B. Pandjaitan: Dari timur ke barat, jika terbang butuh delapan jam, pertumbuhan ekonomi kita 5% lebih, kita anggota G20, international rating agency memberikan kita taring investasi, inflasi rendah, semua indikasinya bagus. Kita tidak seperti minta-minta. Saya juga bilang ke Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), bahwa jangan anggap kami bukan minta kalian, melainkan ingin kerjasama. Luas Indonesia yang besar 70 persennya laut. Jika laut kita tidak dikelola dengan bagus, akan menimbulkan dampak lingkungan. Siapa yang menajdi korban? Semua. Karena sampah-sampah di laut itu bukan hanya dari kami, dari negara-negara lain juga.
DW : Apa saja program yang sudah dilakukan?
Penanaman mangrove, karena mangrove ini penting. 3,1 juta hektar mangrove dunia itu ada di Indonesia. Berarti 25%. Mangrove berkontribusi pada lingkungan secara luar biasa. Kami juga bicara soal sampah plastik, pengolahan limbah, energi dan lain-lain. Jadi ada banyak sekali yang bisa kita kerjakan dan mereka meminta kita jadi pemimpin. Kita negara kepulauan terbesar dunia sehingga harus menunjukkan bisa menjadi pemimpin.
DW: Selain kerjasama dengan Jerman soal maritim, dengan negara mana lagi Indonesia bekerjasama?
Jerman punya banyak teknologi. Belanda juga. Belanda menunjukkan bagaimana cara mengambil sampah di laut. Begitu pula seorang ilmuwan di Amerika yang punya inisiatif dan menunjukkan cara untuk membersihkan sampah di laut. Kita akomodasi semua inisiatif itu.
Wawancara dengan koordinator bidang kemaritiman Luhut B. Pandjaitan dilakukan oleh reporter DW, Rizki Nugraha