Indonesia: Surga Hiu dan Para Pemburunya
18 Desember 2014Ekonomi Indonesia yang tumbuh pesat melahirkan kelas menengah baru. Kelompok sosial dengan kesadaran dan tuntutan baru: termasuk menyelamatkan spesies yang kian langka di dunia itu.
Kelas menengah adalah pembela utama hiu Indonesia yang semakin punah. Nicholas Saputra, adalah aktor paling terkenal di Indonesia yang ikut dalam kampanya menyelamatkan hiu.
Awal tahun 2013, sebuah situs berita paling terkenal dipaksa mengubah sudut pandang laporan mereka. Berawal dari sebuah berita di kolom bisnis berjudul “Berburu Sirip Hiu, Bisnis Menggiurkan”. Berita itu menyulut protes di Twitter, karena dianggap bisa mendorong semakin maraknya perburuan hiu. Tekanan itu akhirnya membuat berita itu diganti dengan judul “Memprihatinkan! Perburuan dan Bisnis Sirip Hiu Masih Marak di Papua”.
Perburuan di Raja Ampat
Raja Ampat di ujung timur Indonesia adalah perairan yang dikenal sebagai surga. Perairan jernih dan dalam yang dikelilingi gugusan pulau itu menjadi tujuan utama para penyelam dunia yang antara lain ingin melihat hiu yang populasinya di dunia semakin langka. Belakangan pemerintah lokal menyatakan kawasan itu sebagai wilayah perlindungan bagi hiu dan pari manta.
Kresna Astraatmadja adalah field producer dokumenter bawah laut. Selama menyelam dan mendokumentasikan Raja Ampat di Papua Barat, dia mengaku hanya melihat satu atau dua yang melintas. Tapi ironisnya, di darat dia melihat ratusan hiu, termasuk dari jenis martil yang selama ini paling dia cari dalam petualangan bawah laut.
“Hiu-hiu itu masih segar, tapi sudah tidak ada siripnya,“ kata Kresna kepada Deutsche Welle yang mengaku sejak awal mendalami diving ingin bertemu hiu martil. Ironisnya, dia bertemu dengan spesies langka itu sudah tidak bersirip: mati di sekitar pantai salah satu pulau Raja Ampat.
Di pantai di belakang gubuk, dia menemukan seratusan lebih sirip kering dan daging hiu. Dua nelayan yang dia temui mengaku menjual sirip hiu setiap kilogram seharga Rp 1 juta untuk yang berwarna hitam, sementara yang ujung siripnya berwarna putih sekitar Rp 1,5 juta.
Kresna juga menemukan bangkai-bangkai hiu tanpa sirip bergelimpangan di perairan sekitar pantai. Hiu mati itu dibiarkan beberapa saat di dalam air, dan setelah itu akan diambil dagingnya untuk dijual seharga Rp 15 ribu per kilogram.
Sirip dan daging hiu lantas dikirim ke Sorong, dan di sana sudah ada penadah yang siap membelinya untuk kemudian dikirim ke Jakarta.
Pemasok utama
Perairan Indonesia adalah surga bagi hiu dan para pemburunya. Lebih dari 10 juta hiu dibunuh setiap tahun di perairan Nusantara. Indonesia adalah pemasok utama dalam rantai bisnis yang bertanggungjawab atas kematian 73 juta hiu di dunia setiap tahun.
Perburuan hiu di Indonesia adalah sebuah wilayah abu-abu. Kemiskinan dan ketidaktahuan membuat nelayan miskin terus memburu hiu. Apalagi sirip spesies ini berani dihargai cukup mahal.
“Masalahnya permintaan (sirip hiu-red) terus tinggi. Pasar terbesar sirip hiu sesungguhnya ada di luar negeri,“ kata Abdul Halim, direktur kelautan The Nature Conservancy, yang aktif dalam gerakan menyelamatkan hiu kepada Deutsche Welle.
Terutama di beberapa negara yang memang bisa mengkonsumsi produk biodiversitas yang eksotik, kata Halim sambil menyebut Hongkong dan Taiwan sebagai tujuan utama ekspor diam-diam sirip hiu asal Indonesia.
Lebih mahal jika hidup
Abdul Halim mengingatkan bahwa nilai ekonomi hiu akan lebih tinggi saat hidup bebas di lautan lepas.
“Sudah banyak studi yang mengindikasikan bahwa nilai hiu yang hidup lebih mahal dibanding harga sirip jika dibunuh. Pariwisata membuat orang membayar lebih mahal untuk melilhat mereka hidup di lautan bebas,” kata Halim.
Pada 2011, kajian yang dilakukan Australian Institute of Marine Science menemukan bahwa satu hiu karang di Palau menghasilkan hampir 2 juta dollar dari wisata eko sepanjang hidupnya. Jauh lebih mahal ketimbang jika dia mati dan sirip hiu besar yang dijual dengan harga hanya 250 dollar per kilogram.
Tapi masalahnya kini menurut Kresna Astraatmadja, adalah bagaimana membuat keberadaan hiu di Raja Ampat misalnya, punya dampak ekonomi bagi para nelayan sekitar.
“Biaya wisata ke Raja Ampat itu sangat mahal. Sekali ke Raja Ampat itu ongkosnya hampir sama seperti naik haji (sekitar Rp 30 juta). Itu semua untuk biaya diving, penginapan, makan dan lain-lain. Itu seharusnya ikut dinikmati penduduk setempat."
Seperti di Costa Rica kata Kresna, di mana para nelayan diajak menyelam: diberdayakan, diajari jadi dive guide, dipekerjakan di resor-resor, atau industri yang menunjang wisata menyelam. Itu akan otomatis membuat mereka berhenti bahkan akan ikut menjaga dan memperingatkan kawan-kawannya agar jangan membunuh hiu.